Buku ini adalah lanjutan dari buku Tabib Kelana.
Menceritakan perjalanan hidup Mumu yang mengabadikan hidupnya untuk menolong sesama dengan ilmu pengobatannya yang unik.
Setelah menikah dengan Erna akan kah rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada onak dan duri dalam membangun mahligai rumah tangga?
Bagai mana dengan Wulan? Apa kah dia tetap akan menjauh dari Mumu?
Bagai mana dengan kehadiran Purnama? Akan kah dia mempengaruhi kehidupan rumah tangga Mumu.
Banyak orang yang tidak senang dengan Mumu karena dia suka menolong orang lain baik menggunakan ilmu pengobatannya atau menggunakan tinjunya.
Mumu sering diserang baik secara langsung mau pun tidak langsung. Baik menggunakan fisik, jabatan dan kekuasaan mau pun melalui serangan ilmu yang tak kasat mata.
Akan kah hal tersebut membuat Mumu berputus asa dalam menolong orang yang membutuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wildan Vs Mumu
Mumu berjalan dengan tenang menuju tempat yang dijanjikan, sebuah lapangan kosong di pinggiran Yogyakarta yang dikelilingi oleh pepohonan tua.
Angin sore berhembus dingin, menyapu tanah kering dan dedaunan yang berserakan.
Suasana sepi itu membuatnya semakin waspada.
Mumu tahu bahwa pertemuannya dengan pria itu hari ini tidak akan berakhir baik.
Oleh karena itu Mumu mengesampingkan persoalan foto istrinya terlebih dahulu untuk fokus ke masalah ini.
Di kejauhan, Mumu melihat sosok Wildan berdiri, tubuhnya tegang. Mata Wildan menatap tajam ke arahnya, seperti binatang buas yang siap menerkam mangsanya.
Begitu Mumu mendekat, Wildan melangkah maju dengan gerakan cepat, wajahnya penuh kemarahan yang ditahan.
"Saya sudah datang ke sini sesuai permintaan Bapak. Apa sebenarnya 'keluhan' yang ingin Bapak sampaikan? Oh iya, hingga kini Bapak belum memperkenalkan diri Bapak sehingga saya tidak bisa memanggil nama Bapak dengan benar."
Wildan mengepalkan kedua tangannya, napasnya tersengal-sengal oleh kemarahan yang dia rasakan selama ini.
Tidak ada lagi kesabaran yang dia tunjuk kan sewaktu di Poli Akupuntur tadi.
"Jangan kamu terus berpura-pura, Mumu!" Wildan menggeram.
"Aku tidak ingin mendengar obrolanmu yang tak ada faedahnya. Kamu tahu kenapa aku memanggilmu ke sini?"
Mumu mengerutkan alisnya. Dia menatap Wildan dengan tenang, meskipun dia tahu suasana ini bisa berubah menjadi kekerasan kapan saja.
"Jika Bapak tidak mengatakan bagai mana saya bisa tahu, Pak. Sebenarnya siapa Bapak dan apa masalahnya dengan saya. Seingat saya, kita belum pernah berinteraksi sebelumnya."
"Kamu kenal Pak Evan yang tinggal di jalan Pramuka, Bengkalis kan?"
"Pak Evan yang mempunyai penyakit di dalam kepalanya? Saya kenal beliau dan saya pernah mengobatinya walau pun tidak tuntas. Apa hubungan Bapak dengan beliau?"
"Dia ayahku. Dia kini sudah meninggal. Semua ini gara-gara kamu!"
Mumu tidak terkejut saat mendengar Pak Evan sudah meninggal. Karena penyakitnya memang sangat berbahaya waktu itu.
Tapi Mumu heran mengapa ia yang harus disalahkan.
"Kenapa saya yang harus disalahkan, Pak?"
Mata Wildan menyala seperti api. "Kamu tidak mau bertanggung jawab? Apakah kamu bercanda? Karena ulahmu, ayahku meninggal! Kamu pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja setelah semua itu?"
Mumu menghela napas, mencoba meredakan ketegangan.
"Pak, saya sudah menjelaskan berkali-kali. saya sudah mencoba menolong ayahmu, tapi saat kunjungan terakhir, Ayah mu tidak mau menemui saya karena dia merasa sudah sehat. Itu bukan salahku. Jika Bapak mau membuka pikiran Bapak..."
"BOHONG!" Teriak Wildan, suaranya bergetar oleh amarah.
"Aku tidak percaya kata-katamu! Setiap kali aku melihat wajahmu, yang kulihat hanya kematian ayahku! Kau adalah penyebab semua penderitaan keluargaku!"
"Jika Bapak tidak percaya, silahkan lihat...."
Wildan tidak mau mendengarnya, dia maju dengan cepat, mengayunkan pukulan keras ke arah Mumu.
Refleks Mumu yang terlatih dalam seni bela diri membuatnya mampu menghindari serangan pertama itu dengan mudah, tapi dia tahu perkelahian ini tidak bisa dihindari lagi.
Wildan, yang selama ini menguasai ilmu bela diri yang cukup tangguh, menyerang dengan penuh kebencian.
Pukulan demi pukulan dilancarkan Wildan, masing-masing lebih keras dan lebih cepat.
Mumu lebih banyak menghindar dan menangkis sebisa mungkin ia tidak membalasnya, tapi Wildan terlalu bersemangat dalam kemarahannya.
Setiap serangan datang tanpa henti, menandakan betapa dalam dendam yang dia simpan selama ini.
"Ayo, Mumu!" Teriak Wildan, nadanya penuh kebencian.
"Tunjukkan padaku apa yang kau bisa! Tunjukkan padaku kenapa kau pantas hidup sementara ayahku mati!"
Dengan raungan yang menggema, Wildan kembali menerjang maju, melepaskan pukulan beruntun dengan teknik yang dia pelajari dari latihan militer.
Pukulan pertama mengarah langsung ke wajah Mumu.
Mumu dengan cekatan mengelak ke samping, membuat pukulan Wildan hanya menghantam udara.
Wildan tidak berhenti di sana, serangkaian tendangan dan serangan bertubi-tubi dilancarkan tanpa henti, setiap gerakannya menunjukkan keahlian yang tajam.
Ditambah amarah yang menyala-nyala membuat setiap serangannya sangat berbahaya.
Namun, Mumu tetap tenang. Ia hanya bergerak cukup untuk menghindari serangan itu, terkadang menangkis dengan gerakan halus, seolah angin yang mengalir tanpa hambatan.
Setiap kali Wildan menyerang, Mumu tidak pernah membalas. Dia hanya mengelak dan menangkis, seperti seorang seniman yang menari di tengah badai tanpa sedikit pun tersentuh oleh kekacauan di sekitarnya.
Wildan semakin frustrasi.
“Lawan aku, Mumu! Kenapa kamu hanya menghindar saja?!”
Mumu tetap diam, matanya tetap fokus, tubuhnya bergerak gesit. Ia tahu bahwa jika dia membalas, Wildan akan semakin terbakar oleh amarah, dan itu tidak akan menyelesaikan apapun.
Mumu bukan tipe orang yang suka kekerasan, terutama ketika ia tahu bahwa lawannya dipenuhi oleh salah paham dan kebencian yang tidak berdasar.
Wildan terus menyerang, kali ini lebih ganas. Pukulan-pukulan yang lebih cepat, tendangan yang lebih keras.
Nafasnya semakin terengah-engah, tapi semangatnya untuk membalas dendam terus membara.
Dalam pikirannya, satu serangan telak pada Mumu akan membuatnya puas, akan membayar semua penderitaannya.
Namun, meskipun dengan segala kekuatan dan keterampilan yang dimiliki Wildan, Mumu tetap mengelak dengan mudah.
Tubuh Mumu seolah tidak tersentuh, meskipun setiap serangan datang dengan kekuatan penuh. Ketenangan Mumu semakin mengesalkan Wildan.
“Ayo! Lawan aku seperti laki-laki! Jangan jadi pengecut!” Teriak Wildan, seraya melancarkan sebuah pukulan ke perut Mumu dengan sekuat tenaga.
Kali ini, pukulan Wildan hampir berhasil mengenai sasarannya. Namun, di detik terakhir, Mumu melangkah mundur, membuat Wildan kehilangan keseimbangan.
Wildan terhuyung ke depan, namun segera bangkit, memaksakan dirinya untuk tetap berdiri tegak.
Keringat mulai membanjiri wajahnya, nafasnya semakin berat, tetapi dia tidak mau berhenti.
Tidak sekarang, bukan sebelum dia berhasil membalas dendam.
Serangan berikutnya Wildan bahkan lebih brutal, tendangan melingkar diikuti oleh pukulan siku yang mengarah ke kepala Mumu.
Namun, lagi-lagi, Mumu hanya menangkis dengan tenang, membuat Wildan semakin lelah dan frustasi.
“Kamu sudah terlalu jauh, Pak.” Ujar Mumu dengan nada tenang.
“Ini bukan tentang balas dendam, ini tentang keadilan. Kamu marah pada orang yang salah.”
“Diam!” Wildan tidak bisa lagi mendengar apapun. Hanya dendam yang ada di pikirannya.
Dengan jeritan kemarahan, dia mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa untuk sebuah tendangan terakhir.
Tendangan itu diarahkan tepat ke dada Mumu, serangan mematikan yang, jika mengenai, bisa saja menghancurkan pertahanan Mumu.
Namun, sekali lagi, Mumu mengelak dengan gerakan halus, tubuhnya bergerak secepat angin.
Wildan, dengan seluruh tenaganya terkuras, kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke tanah.
Dia terengah-engah, kelelahan begitu parah hingga dia kesulitan untuk sekadar bangkit.
Mumu berdiri di depannya, masih dengan ketenangan yang sama.
“Sudahlah, Pak. Ini tidak akan membawamu ke mana-mana. Saya tahu Bapak terluka, saya tahu Bapak merasa kehilangan. Tapi ini bukan caranya.”
Wildan memandangi Mumu dengan mata penuh kemarahan, namun dia tidak punya lagi kekuatan untuk berdiri.
Tangannya bergetar saat mencoba menopang tubuhnya yang lemas, tetapi tubuhnya sudah tidak sanggup lagi.
Nafasnya memburu, dadanya naik-turun dengan cepat.
“Kamu tidak mengerti...” Gumam Wildan, suaranya melemah.
“Aku harus membalas dendam... Ayahku mati... Dan itu semua salahmu...”
Wildan mengambil sesuatu dari pinggangnya yang ternyata adalah sebuah pist*l.
"Kamu memaksa aku sejauh ini, Mumu..."
Dia membidik tepat di jantung Mumu.
"Dor...dor...dor...!!!"
Dan semuanya pun menjadi gelap.
Kalau cuma dipukul tidak sampai babak belur tidak akan kapok.
padahal masih bisa dilanjut....😄👍🙏
bersambung...