Malam itu petir mengaum keras di langit, suara gemuruhnya bergema. Angin mengamuk, langit menangis, meneteskan air dengan deras. Alam seolah memberi pertanda, akan datang suatu bencana yang mengancam sebuah keluarga.
Clara seorang ibu beranak satu menjadi korban ghibah dan fitnah. Sampai mati pun Clara akan ingat pelaku yang sudah melecehkannya.
Akankah kebenaran akan terungkap?
Siapa dalang di balik tragedi berdarah ini?
Ikuti ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yenny Een, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 4 Tahun Kemudian
Setelah kebakaran besar di Desa Ghibah, yang menghanguskan rumah warga pembenci keluarga Clara, keluarga Dilara tidak pernah lagi mengunjungi desa itu. Dilara tinggal bersama Om dan Tantenya di Kota D. Dilara setelah kepergian kedua orang tuanya menjadi anak yang pendiam. Dilara mengalami trauma pasca kejadian 4 tahun yang lalu.
Tante Elma dan Om Cakra rutin membawa Dilara ke Psikiater. Mereka meminta ingatan Dilara 4 tahun yang lalu dihapus. Mereka hanya ingin Dilara mengingat memori indah bersama orang tuanya. Dan seiring waktu, Dilara mulai melupakan kejadian buruk yang menimpa keluarganya. Dilara mulai membuka diri lagi dengan lingkungannya.
Dan hari ini, kampus Dilara mengadakan kunjungan ke suatu desa. Mereka pergi menggunakan dua buah bis pariwisata. Perjalanan yang lumayan jauh memakan waktu sekitar 2 jam perjalanan.
Dilara duduk di kursi paling belakang. Dilara yang sudah biasa sendiri sesekali melihat keseruan teman-temannya di dalam bis. Di dalam hati dia berkata mungkin lebih menyenangkan jika dia berbaur dengan mereka semua.
3 tahun masa SMA dia habiskan hanya berdiam diri. Dilara merasa minder dan takut bergaul. Dilara bukan anak yang sombong, tapi selama 3 tahun terakhir selalu sakit-sakitan. Kondisinya sangat lemah pada saat itu dan jarang masuk sekolah.
Tapi Dilara anak yang pintar, semua ketinggalan pelajaran dikejarnya. Dila panggilan akrabnya mempunyai satu orang teman yang selalu merangkum semua mata pelajaran yang tertinggal untuknya. Dia selalu meninggalkan catatan itu di laci meja Dila. Dan dia juga selalu memberikan susu setiap pagi untuk Dila. Dan dia tidak meninggalkan nama.
Dila meninggalkan catatan kecil, berharap teman yang selalu baik padanya membalas. Dan akhirnya teman misterius Dila membalas pesan dari Dila. Dia memberikan nomor ponselnya kepada Dila.
Dila dan dia selalu berkomunikasi, Dila berterima kasih untuk semuanya. Karena dia, Dila bisa mengejar pelajarannya. Dan Dila berharap suatu hari nanti mereka bertemu. Teman Dila bilang, suatu hari nanti mereka pasti akan segera bertemu. Dila selalu menceritakan kesehariannya kepada teman misteriusnya.
Hanya setahun Dila merasa mempunyai seorang teman, teman Dila yang selalu menemaninya tiba-tiba menghilang. Ponselnya tidak aktif. Dila kembali merasa sendiri. Kelas 11 dan 12, Dila lalui dengan usahanya sendiri mengejar ketertinggalannya. Dan setelah kelulusan Dila meninggalkan buku diary di dalam laci mejanya. Dila berharap temannya akan kembali dan membaca buku diarynya.
"Dira,"
"Iya,"
"Iya,"
Dila memandangi seorang cowok yang ada di sampingnya. Kemudian Dila memandangi seorang cowok yang tadi memanggil namanya.
"Hmmm, maaf. Ini tasnya Dira ketinggalan. Nama kamu juga Dira ya?" tanyanya sambil menyerahkan tas kepada Dira dan duduk di samping Dira.
"Oh, maaf. Nama saya Dila. Maaf, maaf," Dia mengatupkan kedua tangannya.
"Hallo, Dila, namaku Dira." Cowok yang di samping Dila mengulurkan tangannya.
"Hmmm, iya. Aku Dila. Dilara," Dilara membalas uluran tangannya.
"Nama yang cantik seperti orangnya. Btw, kok kamu milih duduk di sini. Biasanya anak Cewek kumpul sama bestienya," Dira menatap ke arah Dilara.
"Hmmmm, gak. Aku gak PD az dekat mereka," jawab Dilara.
"Boleh aku jadi teman mu?"
"Hmmm, boleh, boleh," angguk Dilara.
Dilara dan Dira berbagi nomor ponsel. Dilara merasa nyaman, Dilara dapat teman baru. Dira banyak cerita tentang dirinya kepada Dilara. Dilara merasa lelah, Dilara tertidur. Dira menutup gorden bis yang ada di samping Dilara. Dira juga menaruh bantal kecil di samping kaca bis untuk melindungi kepala Dilara dari benturan kecil yang menggangu istirahat Dilara.
Dilara terlelap, Dilara bermimpi berada di sebuah tempat yang panas membara. Terdengar suara jeritan, tangisan, rintihan kesakitan, minta tolong dari banyak orang. Orang-orang itu terbakar, badannya melepuh, tercium aroma daging panggang. Mereka keluar dari kobaran api dan ingin mengejar Dilara.
"AAAAAAAAAAAAA!" dengan napas yang yang tersengal Dilara bangun dari tidurnya.
Dira tersentak saat Dilara refleks memeluk dan menyembunyikan wajahnya ke dalam dadanya. Dira dengan lembut mengusap bagian kepala Dilara dan menenangkannya.
"Dila, bangun, bangun, kamu sudah ada di dunia nyata. Dila, sadarlah,"
Dilara perlahan membuka mata dan mengatur irama napasnya. Dilara tersadar, dia memeluk erat Dira. Perlahan Dilara melepaskan pelukannya dan sedikit menjauh dari Dira. Dilara mengucap maaf. Dira mengusap lembut keningnya dengan senyuman.
"Dila, Dira, kalian berdua tau gak desa yang baru saja kita lewati?" tunjuk Pasya.
Dila maupun Dira menggelengkan kepalanya.
"Konon itu namanya Desa Ghibah. Desa penuh dengan gosip, isu, rumor yang gak jelas. Ada sebuah keluarga yang jadi korban fitnah mereka. Dan katanya mereka meninggal dengan cara yang mengenaskan." lanjut Pasya.
"Desa Ghibah? Apa masih ada penghuninya?" Dira penasaran.
"Katanya sih masih ada. Dulu desa itu hampir terbakar habis rata dengan tanah. Yang anehnya, yang rumahnya terbakar dan yang menjadi korban adalah orang-orang yang berbuat jahat kepada keluarga itu saja," jawab Pasya.
Dilara merasakan sakit luar biasa di area kepalanya. Dilara dengan gemetar mengambil tas ransel dan membukanya. Dira membantu mencari sesuatu di dalam tas Dilara. Dira menemukan botol obat di sana. Dira mengambil dan memberikannya kepada Dilara.
Dira juga mengambil air mineral yang sudah disediakan bis untuk Dilara minum obat. Dilara meminum obatnya. Dilara kembali menyenderkan badannya ke kursi bis.
"Dila, kamu kenapa?" bisik Dira.
"Aku hanya perlu istirahat," jawab Dilara.
Dira menyeka keringat dingin di wajah Dilara. Entah apa yang sebenarnya terjadi pada Dilara, yang jelas saat ini Dira sangat mengkhawatirkan Dilara. Dira melirik ke arah jalan. Dan Dira melihat seseorang berdiri di perbatasan desa. Orang itu berambut panjang, tidak jelas apakah dia pria ataupun wanita. Yang pasti dia berbadan hitam, bungkuk dan dari wajahnya melepuh terlihat seperti gosong terbakar api.
Dira berdiri dan kembali memandangi orang itu dari balik kaca belakang bis. Tiba-tiba saja orang itu menghilang. Dira memperjelas pandangan matanya dan memang benar orang itu sekejap hilang dari pandangan mata. Dira duduk kembali dan memandangi Dilara yang memejamkan mata.
Bis mereka berhenti. Mereka disambut Kepala Desa dan warga setempat. Tempat peristirahatan untuk para mahasiswa sudah disiapkan Kepala Desa di Aula Desa. Mereka langsung dijamu untuk makan siang.
Dilara sungguh menikmati pemandangan desa yang masih asri. Udaranya yang sejuk, asli, tidak tercampur asap dan suara bising kendaraan.
"Dila, ayo makan dulu, nanti kamu tambah sakit. Bagaimana? Sudah baikan?" Dila tiba-tiba memegang kening Dilara.
"Eh, hmmm, iya. Kamu jangan terlalu baik, Dira." Dilara sedikit menjauh dengan wajah merah semu.
"Lho kenapa? Apa gak boleh?" Dira mengikuti Dilara yang mulai menikmati makan siangnya.
Dilara, Dira dan para mahasiswa menikmati masakan khas Desa Damai yang khusus disuguhkan untuk mereka. Setelah makan siang berakhir, Pak Kades dan para warga sedikit memberikan informasi tentang Desa Damai kepada mereka. Semua dengan serius mendengarkan dan para mahasiswa tidak lupa mencatatnya.
Di tengah sesi tanya jawab seputar Desa Damai, Dilara mendengar seseorang memanggil namanya. Suaranya dengan jelas terdengar. Dilara juga melihat seorang wanita cantik melambaikan tangan kearahnya jauh di seberang jalan sana.
"Dila, Dila, kemarilah," panggilnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...