Pindah sekolah dua kali akibat dikeluarkan karena mengungkap kasus yang tersembunyi. Lima remaja dari kota terpaksa pindah dan tinggal di desa untuk mencari seseorang yang telah hilang belasan tahun.
Berawal dari rasa penasaran tentang adanya kabar duka, tetapi tak ada yang mengucapkan belasungkawa. Membuat lima remaja kota itu merasa ada yang tidak terungkap.
Akhir dari setiap pencarian yang mereka selesaikan selalu berujung dikeluarkan dari sekolah, hingga di sekolah lain pun mengalami hal serupa.
Lantas, siapakah para remaja tersebut? Apa saja yang akan mereka telusuri dalam sebuah jurnal Pencari Jejak Misteri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zennatyas21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Kampung Pamannya Bisma
Usai berhasil keluar dari Desa Pepeling dengan membawa sebuah kabar duka tentang Rangga dan Lita, kini Ratu memutuskan kembali untuk melaksanakan tugas Praktik Kerja Lapangan di desa lain.
Tentunya sudah bermusyawarah dengan teman-temannya untuk berpindah tempat menjadi di sebuah kampung terpencil yaitu di desa pamannya Bisma.
Dikenal namanya Desa Pandjiwa, namun letak rumah pamannya Bisma berada di suatu kampung bernama Sewujiwo.
Pagi hari ini tujuh remaja kota itu telah bersiap akan melakukan perjalanan jauh menuju desa terpencil. Dengan niat yang kuat, mereka berjanji tidak akan berpindah tempat lagi.
"Pokokke opo sing ono nang kana, ojo podho mbalik sebelum rampung masa PKL- e, yo." kata Simbok Ranem, nenek buyutnya Ratu dan Reyza.
Kebetulan Simbok Ranem memang sedang berada di rumah Risa dan Rizky.
"Arep pindah ngendi wae, yen sing lunga kuwi bocah enem iki mestine ana masalah. Ya mbuh masalah apa maning, intine nang kana kudu waspada. Ratu karo Reyza kuwi bocah pilihan, akeh diincer para lelembut."
(Mau pindah ke mana saja, kalau yang pergi itu anak enam ini pastinya ada masalan. Ya entah masalah apa lagi, intinya di sana harus waspada. Ratu dan Reyza itu anak pilihan, banyak diincar para lelembut).
Itulah ucapan dari Mbah Sudirjo.
Panca mengusap bahu Ratu lembut. Lelaki itu memang duduk di samping kakaknya Reyza.
"Kamu hati-hati di sana, ya. Ingat, setiap tempat itu memiliki peraturannya sendiri-sendiri. Jangan bersikap tidak sopan, dan selalu menjaga omongan. Kampung Sewujiwo itu kecil, meskipun memang satu tahun lalu masih menerima anak sekolah untuk membantu para tenaga kerja yang bertugas di kantor desa." Nasihat Panca diangguki oleh Ratu.
"Di sana ada paman gue kok, beliau bukan pengurus kantor desa sih. Cuma beliau hanya seorang juru bersih, tapi ia bisa memasukkan kita untuk melaksanakan PKL di sana." ujar Bisma menjelaskan.
"Oh iya, namanya siapa, Nak Bisma?" tanya Risa hanya sekedar ingin tahu.
"Pamanku namanya Bejo. Kalau istrinya bernama Mirah." jelas Bisma.
Tanpa mengulur waktu perjalanan menuju desa Pandjiwa pun dilakukan secepatnya. Enam remaja termasuk Panca itu diantar oleh Rizky menggunakan mobil keluarga.
"Semoga perjalanan kita kali ini bener ya, gue udah capek kalo harus pindah tempat lagi," ucap Intan merasa lelah.
"Iya, parah juga kalo kita ketahuan gak menjalani PKL selama tiga hari, mana nanti pas balik ke sekolah 'kan dimintai laporannya. Belum lagi buku jurnal PKL nya juga harus diisi sama materinya juga." sahut Ninda mengeluh.
Reyza dan Bisma menghela nafas sabar.
"Namanya juga hidup, guys. Gak ada yang santai aja, apalagi kita, entah kata orang lain berbeda dari anak-anak pada umumnya. Katanya kita anak terpilih lah, atau sebuah circle yang aneh lah." jawab Bisma.
Sementara Cakra sedari tadi hanya diam, membuat Ratu menyenggol lengannya karena terlihat melamun saja.
"Eh, jangan ngelamun lo, nanti kesambet." ketus Ratu mencairkan suasana yang awalnya hanya berisi perasaan putus asa.
Sang adik dari Panca tersebut menoleh dengan tatapan datar. "Aku gak melamun, kamu aja yang ngeliatin aku terus dari tadi. Kasihan Mas Panca loh, kalo cemburu bukan salah aku ya."
Ratu sontak menggeplak pundak Cakra cukup keras. Tetapi, lelaki itu tetap saja bersikap dingin.
"Menurut penglihatan kamu Desa Pandjiwa itu bagaimana, Panca?" tanya Rizky sembari menyetir mobilnya.
Panca yang duduk di sebelahnya juga sebagai kernet itu menatap jalanan sempit ketika sudah memasuki area pedesaan.
"Sebenarnya tetap sama sih, Om. Apapun desa yang mereka kunjungi, selalu ada saja masalah dan gangguannya. Karena ya itu tadi ucapan Mbah Sudirjo, mereka itu anak pilihan." balas Panca.
Rizky mengernyit heran, "Berarti mereka akan mengalami hal yang kurang lebih serupa dengan kejadian di desa Pepeling itu?"
"Kalo soal itu beda, Om. Nama Desa Pepeling itu 'kan dulunya diambil dari kata 'Eling' yang bisa diartikan 'ingat' atau bisa juga 'weling' artinya 'diomongi', dalam Bahasa Indonesianya itu dibilangi, gitu. Kata 'Weling' juga bisa dimaknai sebagai pesan atau pengingat, makanya mereka berlima diganggu saat itu karena tidak nurut dengan apa yang sudah diingatkan." tutur Panca.
Rizky sebagai ayah dari dua anak yang terlahir kembar itu mengangguk mengerti.
"Mas Panca ikut kita beberapa bulan di kampung itu, 'kan?" tanya Ratu.
"Enggak, Ratu. Maafin Mas, ya. Aku gak bisa berlama-lama menemani kamu dan teman-temanmu, karena aku juga akan sibuk dengan ujian sekolah."
Mendengar jawaban itu Ratu seketika berubah cemberut. "Terus Mas Panca mau berapa lama temenin kita?"
"Sekitar dua hari saja, Ratu. Tidak apa-apa, 'kan? Aku tidak mau mengganggu aktivitas belajar kamu juga di sana,"
Ratu mengangguk meski rasanya berat jika tidak ada sosok Panca.
"Tenang aja, Sayang. Panca akan selalu ada buat kamu, kalau terjadi apa-apa dia bisa merasakan energinya." ujar Rizky sambil terkekeh.
Sang anak masih tetap cemberut, namun Panca menoleh ke belakang.
"Gak selamanya cinta itu aku, Ratu. Bisa jadi di sana kamu dapat orang baru." ledek Panca.
"Idih! Ogah amat, sama orang lama aja gak tenang begini. Apalagi ditambah ada orang baru," ketus Ratu kesal.
"Eh, orang baru gak selamanya nyebelin. Ada juga yang masih baru tapi udah bikin jatuh cinta." sembur Reyza ikut meledek kakaknya.
"Reyza! Ih! Kamu mah ikut-ikutan deh!"
Selama perjalanan berjam-jam akhirnya mereka semua sampai di Desa Pandjiwa. Karena jalur untuk masuk ke kampung Sewujiwo hanya ada jalanan setapak, Rizky membatasi pengantaran anaknya beserta teman-teman dari kedua anaknya tersebut.
"Udah, hati-hati di sana. Jaga sikap kalian semua, ya. Om langsung pamit, ya? Awas loh, kalau kalian pulang sebelum selesai masa PKL nya." kata Rizky kepada dua anaknya.
Semua mengangguk sambil menebar senyuman.
"Ayah juga jangan lupa hati-hati di jalan. Sampai ketemu ya, Yah!" seru Ratu.
Selama menyusuri alas untuk bisa masuk ke kampung kecil bernama Sewujiwo itu mereka membahas sedikit rencana pada saat nanti sampai di rumah pamannya Bisma.
"Oh iya, guys. Kita di sana gak perlu takut ya, karena Pak Bejo bakal selalu lindungin kita. Soalnya 'kan beliau bekerja bersih-bersih di kantor desa ini." ucap Bisma memulai obrolan ringan.
Seraya menjinjing koper masing-masing, keperluan milik Ratu dibawa oleh Panca, sebab lelaki tersebut hanya membawa satu tas nya saja. Itupun berada di punggungnya.
"Nah, kalau Bu Mirah itu kerjanya apa, Bis?" tanya Ratu hanya sekedar ingin tahu.
"Bu Mirah itu kerjanya di kantin sekolah. Jadi, kantor desa ini deket sama Sekolah Dasar gitu. Oh iya, satu lagi, ya. Nanti kita kayaknya dikasih tempat tinggal dekat balai desa, tapi juga mepet banget sama salah satu gedung sekolah. Kira-kira kalian pada keberatan gak?" tanya Bisma.
Teman-temannya saling menatap satu sama lain. Beberapa detik kemudian, Reyza menyahut, "Gak masalah soal itu mah, justru kita yang makasih karena lo udah mau bantu cariin tempat." jawabnya.
Bisma terkekeh.
"Ya siapa tahu anak kota gak mau 'kan buat tinggal di rumah sempit terus di area sekitar sekolah yang pastinya berisik."
Sambil terus berjalan di tengah banyaknya daun bambu yang kering, mereka berhenti sejenak untuk berisitirahat.
Tepatnya di sebuah gubug pos ronda, mereka semua memberi waktu tubuh mengurangi rasa lelah.
"Berarti nanti kita langsung tinggal di rumah dekat sekolah itu?" Setelah hanya menyimak, kini Cakra mulai bertanya.
"Terus biaya buat tinggal di rumah itu berapa, Bis? Biar nanti gue bisa bantu bayarin." sahut Panca.
"Eh, enggak. Kayaknya paman gue gak mungkin sih tega suruh kita langsung tinggal di rumah itu. Kayaknya bakal diajak tinggal sementara di rumahnya. Gak jauh kok, dulu sih gue ingetnya gak begitu jauh banget lah. Kalau soal biaya buat tinggal di rumah tersebut gak ada, Bang. Alias gratis aja itu mah, soalnya gue udah hubungin Pak Bejo dan tanya-tanya."
"Oh gitu, ya udah, udah pada kumpul tenaganya belum? Kita lanjut sekarang masih kuat gak?" ujar Panca.
"Masih kuat, Bang. Yuk, gas kita lanjut."