Lusiana harus mengorbankan dirinya sendiri, gadis 19 tahun itu harus menjadi penebus hutang bagi kakaknya yang terlilit investasi bodong. Virgo Domanik, seorang CEO yang terobsesi dengan wajah Lusiana yang mirip dengan almarhum istrinya.
Obsesi yang berlebihan, membuat Virgo menciptakan neraka bagi gadis bernama Lusiana. Apa itu benar-benar cinta atau hanya sekedar obsesi gila sang CEO?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sept, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Bukan Pencuri
"Maa ... Maaf! Saya sangat lapar," ucap Lusi yang merasa panik karena ketahuan mencuri di kulkas orang. Padahal dia tak pernah mencuri, gara-gara lapar dia sampai melakukan hal yang memalukan seperti ini.
Terlihat sekali Lusi sangat gugup. Karena dia memang bukan pencuri. Coba saja kalau perutnya tak lapar, Lusi tak akan mencuri makanan seperti ini.
Sementara itu, Virgo menatapnya dengan tatapan lumayan dingin. Namun, untuk sesaat ekpresinya berubah. Sedikit datar dan berjalan begitu saja melewati Lusi.
"Duduk!" titah pria berwajah ketus tapi tampan tersebut. Dia meminta Lusi untuk duduk saja.
Dengan takut-takut, Lusi duduk. Meskipun sudah ketahuan, dia akhirnya menundukkan wajahnya, malu juga sebenarnya. Meskipun canggung, ia duduk saja.
"Makan di meja makan! Jangan pernah membawa makanan ke dalam kamar!" ujar Virgo. "Itu dilarang di sini! Apa kamu tidak tahu aturannya?" cibir Virgo.
Lusi pikir dia akan diintrogasi dan diintimidasi, nyatanya dia hanya disuruh makan di meja maka. Meskipun cuma makan pisang hasil curiannya itu. Setidaknya dia tidak dimaki atau dimarahi pemilik rumah tersebut.
"Makan!" perintah Virgo. Matanya melirik meja dan buah yang Lusi curi.
Lusi menelan ludah. 'Lebih baik aku makan saja, daripada dia marah-marah!' batin Lusiana sambil dengan cepat mengupas kulit pisang yang dia sembunyikan di dalam baju. Kepalang tanggung, Lusi pun makan saja di depan Virgo.
Ia makan cepat-cepat, dan matanya tak berani menatap sosok pria yang kini duduk di depannya. Di sisi lain, pikiran Virgo berkecamuk. Sebal melihat tingkah Lusi, tapi dia ingin menatap wajah itu. Cara makannya sangat tidak anggun. Sembarangan, dan tidak enak dipandang.
"Sudah ... bolehkah saya kembali?" tanya Lusi sembari mengangkat dagunya sedikit. Satu pisang sudah habis, satunya lagi diletakkan di atas meja. Mungkin malu, karena tak mau dikira rakus. Meksipun masih lapar.
"Habiskan!" perintah Virgo dengan keras. Ia melirik terus pada Lusi.
"Sudah," kata Lusi menolak. Kepalanya menggeleng pelan.
"Aku tidak suka dibantah!" ujar Virgo. Seperti sebelumnya, sorot mata yang menyalak. Seperti ada kemarahan, tapi juga ada kesedihan di dalam sorotan mata tersebut.
Sampai akhirnya, Lusi terpaksa makan pisang kedua. Kali ini lebih cepat, masih mengunyah, dia langsung berdiri.
"Sudah habis, saya akan ke kamar." Lusi ingin kabur dari sana, karena mulai tidak nyaman.
Baru Lusi berdiri, tapi langsung ditahan oleh Virgo.
"Ambil makanan lagi!" perintah Virgo. Ia minta Lusi mengambil makanan lagi.
"Tidak, terima kasih. Saya sudah kenyang." Lusia menggeleng, ia menolaknya. Rasanya sudah malu, dan untuk sesaat jadi kenyang.
Namun, dengan sekali tatapan. Gadis itu langsung terbirit-birit ke kulkas. Mengambil sebungkus roti gandum serta yogurt. Daripada dimarahi terus karena membatah, Lusi pun mengikuti perintah Virgo.
"Boleh saya bawa ini?" tawar Lusi.
"Siapa yang menyuruhmu makan di kamar? Ini tempatku! Kau harus mematuhi peraturan di tempat ini." Bicaranya sangat tegas, sampai Lusi tersentak kaget.
Lusiana mengusap wajahnya dengan satu tangan, gara-gara perut keroncong, dia kena marah orang yang bahkan tidak dia kenal seumur hidupnya. Ingin kabur dari sana, tapi sementara sepertinya di sini tempat yang aman.
Dengan canggung, akhirnya Lusi makan roti di depan Virgo. Cara makan yang lumayan berantakan, banyak remahan, bahkan sempat menjilath jemarinya yang terkena yogurt, pasti tidak pernah belajar table manner yang benar. Sangat jauh sekali dengan mendiang istrinya. Kelas mereka benar-benar sangat jauh. Seketika Virgo langsung ilfill.
'Apa yang kau cari dari gadis ini? Dia bukan Revalina ... Dia bukan Reva,' batin Virgo yang terusik dengan hatinya yang tak pernah bisa melupakan sang istri.
Cintanya seperti sudah habis pada diri Reva, perempuan cantik, berkepribadian menarik dan Virgo sangat mencintainya. Sayang, cinta itu seketika hancur tatkala kecelakaan besar merenggut nyawa Reva.
"Boleh saya kembali ke kamar?" tanya Lusi lagi.
Pertanyaan Lusiana membuyarkan lamunan Virgo. Lelaki itu langsung berdiri dan meninggalkan Lusi begitu saja.
Tidak mau buang-buang kesempatan, mumpung Virgo pergi, Lusia bergegas ke kamar dan langsung mengunci kamar itu dengan segera. Lumayan, ia bisa tidur nyenyak setelah perutnya kenyang. Urusan besok, dia akan pikirkan belakangan.
***
Pukul enam pagi lewat beberapa menit.
Matahari sudah menampakkan sinarnya, Lusi terbangun saat seseorang mengetuk pintunya. Gara-gara tengah malam terbangun karena lapar, kini Lusi jadi kesiangan. Pertama di rumah orang malah bangun kesiangan.
KLEK
Begitu dia membuka pintu, seorang wanita berpakaian pelayan langsung menyodorkan tas besar berisi pakaian yang sama dengan yang dipakai pelayan tersebut.
"Ini baju kerjamu! Pakai dari jam 5 pagi sampai 9 malam. Selalu pakai seragam setiap bekerja, tidak ada libur di sini. Jika mau libur, seminggu sebelumnya harus ijin terlebih dulu. Tugasmu nanti akan aku jelaskan. Sekarang kau siap-siap dulu!"
Wanita itu langsung berbalik, sementara Lusi dia dibuat membantu untuk sesaat. Apa maksudnya semua ini? Baju seragam ini? Apa ini? Dia pun langsung bertanya-tanya.
"Tunggu ... Apa ini? Aku pakai ini? Aku pelayan ...? Aku ..."
Pelayan tadi tidak mendengar Lusi, karena Luis juga bicaranya pelan dan pelayan tersebut juga sudah berlalu begitu saja. Karena masih banyak pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan.
Lusi masih menatap setelah baju pelayan. Dia lumayan kaget, karena harus pakai itu. Artinya dia dijadikan pelayan di sana? Kok bisa? Tidak ada perjanjian kerja apapun. Kenapa bangun-bangun dijadikan pelayan.
Luis juga tak melamar jadi pembantu di rumah besar itu. Kenapa harus begini? Lalu bagaimana dengan kuliahnya? Tiba-tiba dia tersenyum getir. Malah memikirkan kuliah, dia selamat dari Edo saja sudah bagus. Dia selamat dari penjualan ke laki-laki hidung belang saja itu lebih dari sebuah keberuntungan.
***
Beberapa saat kemudian.
Lusi sudah pakai baju pelayan seragam yang sama dengan para pelayan yang lain. Gadis itu para akhirnya pakai seragam pelayan di kediaman Virgo. Entah bagaimana ceritanya, bisa-bisanya dia dijadikan pelayan di sana.
Begitu Lusi sudah ganti, seorang pelayan lain datang.
"Lusi, sekarang kamu adalah bagian dari tim pelayan di rumah ini. Kami semua punya job masing-masing. Khusus untuk kamu, tugasmu khusus memperhatikan kebersihan di kamar pak Virgo, menyiapkan segala keperluan beliau, serta melakukan semua perintahnya. Satu lagi, jangan pernah membatah, atau kamu akan dipecat."
Lusi nampaknya masih bingung, karena dia memang tak berniat bekerja jadi pembantu di rumah yang besar itu. Lalu kenapa dia harus mengurus keperluan Virgo? Siapa juga yang melamar jadi pembantu? Ingin speak up, tapi lidahnya seperti terkunci rapat.
"Maaf ... Boleh saya bertanya?" akhirnya Lusi mampu bicara.
"Ya, silahkan." Pelayan itu mempersilahkan.
"Kapan saya bisa mendapatkan hari libur?" Lusi bertanya karena ingin merencanakan ancang-ancang untuk kabur. Kalau dilihat-lihat, penjagaan di sana kok lumayan ketat. Rasanya akan sulit keluar dari rumah itu. Makanya Lusi bertanya hari libur.
Pelayan yang lain merasa kesal, baru juga akan bekerja. Kok malah tanya hari libur. Lusi sama sekali tidak bersyukur, bekerja di sana itu lumayan gajinya. Harusnya semangat bekerja, bukan tanya hari libur.
"Tidak ada libur, hanya jika kamu sakit. Itupun dokter yang akan datang ke sini." Kelihatan kalau pelayan itu mulai tidak ramah, mungkin karena kesan awal yang sudah menjengkelkan.
"Saya punya keluarga ... Saya harus kuliah." Lusi mencoba menjelaskan. Namun, langsung disanggah oleh pelayan itu.
"Saya tidak tahu, dan itu bukan urusan saya. Sekarang jam 7 lebih 5 menit. Silahkan siapkan keperluan pak Virgo untuk main golf pagi ini. Jadwal pak Virgo selalu up-to-date, jadi kamu harus selalu memeriksanya. Sekarang silahkan bekerja, karena saya juga harus melanjutkan pekerjaan saya."
Lusi ingin bertanya lagi, tapi pelayan senior itu malah langsung pergi. Tidak mau mendengar pertanyaan atau keluhan sepele Lusi. Masih baru, bukannya rajin tapi aneh-aneh saja.
"Astaga!" Lusi mengusap wajahnya dengan pasrah. Kok ceritanya jadi begini. Dia malah jadi pembantu di rumah orang kaya? Ini pemaksaan, kenapa harus jadi pembantu di sana. Tanpa perjanjian kerja yang jelas pula.
Kini, Luis hanya bisa pasrah. Biar nanti dia pikirkan lagi jalan keluarnya. Sekarang dengan pakaian pelayanan, rok selutut tapi rapi dan modis, ia pun berjalan ke lantai dua. Menaiki tangga dan mencari kamar Virgo sambil mempelajari apa yang ada di tablet. Ya, dia sudah dapat satu tablet berisi job serta apa sayang yang perlu dia perhatikan.
Tok tok tok
Tidak ada sahutan.
"Pak Virgo?"
Tetap tak ada sahutan. Lusi menggigit bibir bawahnya, kemudian mengetuk lagi. Hingga akhirnya ada pelayan lain berpapasan.
"Apa pak Virgo di dalam?" tanya Lusi.
"Mungkin beliau mandi, silahkan siapkan segala keperluannya. Jika tidak, kau akan kena marah. Kau anak baru, harus lebih disiplin!"
Lusi langsung lesu. Ia pun membuka pintu, benar saja tak dikunci. Tak ada orang juga di sana. Lusi melihat tablet, melihat apa yang harus dia lakukan. Ia kemudian membuka salah satu lemari, mengambil pakaian ganti untuk Virgo. Sesuai jadwal yang tertera, pagi ini main golf dengan salah satu kolega bisnisnya.
Usai menyiapkan pakaian untuk Virgo, Lusi cepat-cepat keluar kamar, sayang dia terlambat keluar setelah Virgo sudah muncul dari balik pintu kamar mandi.
"Maaf," kata Lusi langsung membuka pintu.
"Tetap di tempatmu!" seru Virgo. Pria itu kemudian jalan mendekati Lusi yang berdiri membelakanginya.
Lusiana seketika panik saat merasakan tangan dingin Virgo yang mendarat di pinggangnya dan langsung bersambung.
terimakasih juga kak sept 😇