Perempuan di Balik Topeng
menceritakan kisah Amara, seorang gadis desa sederhana yang jatuh cinta pada Radit, seorang pria kaya raya yang sudah memiliki dua istri. Radit, yang dikenal dengan sifatnya yang tegas dan dominan, terpesona oleh kecantikan dan kelembutan Amara. Namun, hubungan mereka menghadapi banyak rintangan, terutama dari Dewi dan Yuni, istri-istri Radit yang merasa terancam.
Dewi dan Yuni berusaha menghalangi hubungan Radit dan Amara dengan berbagai cara. Mereka mengancam Amara, menyebarkan fitnah, dan bahkan mencoba untuk memisahkan mereka dengan berbagai cara licik. Amara, yang polos dan lugu, tidak menyadari kelicikan Dewi dan Yuni, tetapi Radit, meskipun jatuh cinta pada Amara, terjebak dalam situasi sulit.ujian
Radit harus memilih antara kekayaan dan kekuasaannya, atau menuruti hatinya yang telah jatuh cinta pada Amara. Kisah ini menjelajahi tema cinta, kekuasaan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Idayati Taba atahiu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
Amara berjalan menuju kamarnya, menahan tangis yang ingin meledak. Hatinya berasa hancur. Ia merasa terbuang dan tak berarti lagi di mata Radit. Ia mencari kesempatan untuk menghubungi keluarganya, namun Dewi dan Yuni menghalanginya. Mereka menjaga Amara dengan ketat di rumah Radit. Amara merasa terjebak dalam situasi yang mengerikan.
Amara mulai mengemasi barang-barangnya. Ia merasa tak ada gunanya lagi berada di rumah itu. Ia ingin mencari kebebasan dan menentukan nasibnya sendiri.
"Amara, kau tak perlu menyiapkan sarapan untuk kami," ujar Dewi dengan nada yang kasar. "Lebih baik kau kemasi barang-barangmu dan pergi dari rumah ini."
Amara menatap Dewi dengan kekecewaan. Ia tak menyangka Dewi akan berbicara sekasar itu.
"Aku akan pergi, Dewi," ujar Amara, suaranya bergetar sedikit. "Aku tak akan menganggu hidup kamu lagi."
Amara berjalan meninggalkan meja makan, menahan tangisnya. Ia berjalan menuju kamarnya dan mulai mengemasi barang-barangnya.
Dewi menatap Amara yang berjalan menjauh. Ia tersenyum licik, sangat puas dengan permainannya.
"Cepatlah, minggat dari rumah ini!" bentak Dewi, suaranya keras dan kasar. "Kau tak pantas menginjak rumah mewah ini!"
Amara menatap Dewi dengan tatapan yang tegas. "Mba Dewi dan Mba Yuni, sekarang kalian puas kan? Tapi kalian harus ketahui bahwa suatu hari nanti kebenaran akan terungkap."
Dewi tertawa lepas mendengar kata-kata Amara. "Hahaha! Kamu lebih pantas jadi babu alias pembantu!" ujar Dewi, nada suaranya menghina. "Kau tak akan pernah bisa menyingkirkan ku dari rumah ini!"
Amara menahan tangisnya. Ia berjalan keluar dari rumah Radit, meninggalkan Dewi dan Yuni yang masih tertawa lepas. Amara merasa terpuruk, namun ia bertekad untuk mencari keadilan dan menunjukkan pada Dewi dan Yuni bahwa ia bukanlah wanita lemah.
*******
Amara berjalan menjauh dari rumah Radit. Ia merasa tertekan dan tak berdaya. Ia tak tahu harus kemana dan harus berbuat apa.
Dewi dan Yuni menatap Amara yang berjalan menjauh. Mereka tersenyum saling berpandangan, sangat puas dengan permainan mereka. Mereka berhasil menyingkirkan Amara dari rumah Radit.
"Selamat tinggal, Amara," gumam Dewi, suaranya menghilang di balik senyum liciknya. "Kau tak akan menghancurkan kebahagiaanku."
"Ya, sekarang rumah ini hanya milik kita lagi," timpal Yuni dengan nada yang mengejek.
Dewi dan Yuni berjalan keluar dari rumah. Mereka mencari kesempatan untuk berbelanja dan menikmati kemewahan yang mereka peroleh dari Radit.
"Kita akan berbelanja di mall terbaik di kota ini," ujar Dewi dengan nada yang bersemangat. "Kita akan menikmati kemewahan ini sepenuhnya."
"Ya, segera lupakan Amara!" tambah Yuni dengan nada yang menyeramkan. "Ia tak akan menghalangi kebahagiaan kita lagi."
Dewi dan Yuni berjalan menuju mobil mewah mereka. Mereka meninggalkan rumah Radit dengan senyum licik yang menghantui.
Setelah berbelanja, Dewi dan Yuni kembali ke rumah Radit. Mereka menelpon Radit dengan nada yang sedikit heran dan ketakutan, meskipun senyum licik masih terukir di wajah mereka.
"Mas Radit... Mas Radit... Amara sudah pergi dari rumah!" ujar Dewi, suaranya bergetar, namun suara itu terdengar seperti menahan tawa jahat.
Yuni menimpali dengan suara yang tak kalah dramatisnya, "Iya, Mas Radit! Kami baru pulang belanja dan terkejut melihat kamarnya kosong!"
Radit yang sedang berada di kantornya terkejut mendengar itu. Ia menatap ponselnya dengan heran.
"Apa? Amara pergi?" tanya Radit, suaranya bergetar dengan kebingungan.
"Iya, Mas Radit! Kami juga bingung bagaimana ini bisa terjadi!" jawab Dewi dengan suara yang sedikit menyesatkan, namun ia tetap tersenyum licik.
"Kita tak tahu, Mas Radit," Yuni menimpali, suaranya berusaha menunjukkan kebingungan, namun senyum jahat masih terpancar di wajahnya. "Mungkin ia menyesal telah berbohong padamu."
Radit merasa tak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia mencoba untuk mengingat perilaku Amara selama ini.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Radit, suaranya bergetar dengan kecemasan.
*******
Radit mencoba menenangkan dirinya. Ia merasa sangat bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Ia ingin mencari Amara, namun ia tak tahu harus mencarinya di mana.
Saat Radit masih berada dalam kekacauan pikirannya, ponselnya bergetar. Ia melihat pesan WhatsApp dari Amara. Radit langsung membuka pesan itu dengan rasa penasaran.
"Jangan cemas, Mas Radit. Aku tak bersalah. Orang dalam foto itu bukanlah selingkuhanku. Siapa dia? Tanyakan pada Mba Dewi dan Mba Yuni."
Radit terkejut membaca pesan itu. Amara mengatakan bahwa ia tak bersalah. Apakah ini berarti Dewi dan Yuni menjebaknya? Radit menyesali perbuatannya yang telah memarah Amara. Ia menyesal telah mempercayai Dewi dan Yuni tanpa menanyakan kebenaran pada Amara.
Radit mencoba menghubungi Amara melalui telepon, namun tak ada jawaban. Ia merasa takut dan kecewa. Ia ingin mencari Amara dan membenarkan kesalahannya.
Radit merasa terjebak dalam dilemma. Ia tak tahu harus percaya pada siapa. Ia ingin menghubungi Dewi dan Yuni untuk menanyakan kebenaran, namun ia takut akan tertipu lagi.
Radit merasa seolah-olah dunianya berantakan. Ia tak tahu harus berbuat apa.
"Sial! Aku sudah melakukan kesalahan besar!" gumam Radit, suaranya menurun hingga hanya ia yang mendengar. "Aku harus mencari Amara. Aku harus membenarkan segalanya."
Radit menutup ponselnya, mencoba menenangkan dirinya. Ia bertekad untuk mencari kebenaran dan menemukan Amara.
*******
Radit mengunci pintu rumahnya dengan rasa tak tenang. Ia merasa kecewa dan kebingungan. Amara telah meninggalkannya. Ia mencoba mengingat percakapan telepon dengan Dewi dan Yuni tadi. Ada sesuatu yang tak beres dengan cerita mereka.
Radit berjalan menuju ruang tamu, di mana Dewi dan Yuni sedang duduk di sofa, berbincang dengan santai.
"Dewi, Yuni," panggil Radit, suaranya bergetar dengan kemarahan. "Ada yang ingin aku tanyakan."
Dewi dan Yuni bertukar pandangan, wajah mereka menunjukkan rasa cemas.
"Ya, Radit? Ada apa?" tanya Dewi, mencoba menenangkan diri.
Radit menatap kedua istrinya dengan tatapan yang tajam. "Apa yang kalian sembunyikan dariku? Apakah benar bahwa foto yang berada di ponselku, foto Amara bersama pria itu, adalah perbuatan kalian?"
Dewi dan Yuni berusaha menenangkan Radit.
"Tidak, Radit. Kami tak pernah melakukan itu," ujar Dewi dengan nada yang yakin. "Kami tak akan menghancurkan hubungan kita."
"Ya, Radit. Kami cinta padamu," tambah Yuni dengan nada yang lembut.
Radit masih merasa curiga. Ia merasa ada sesuatu yang tak beres.
"Kenapa Amara meninggalkan rumah ini?" tanya Radit, suaranya menurun.
"Kami tak tahu, Mas Radit," jawab Dewi dengan nada yang menyesatkan. "Mungkin ia menyesal telah berbohong padamu."
Dewi mulai menjelek-jelekkan Amara di depan Radit. Ia menceritakan keburukan Amara dengan nada yang menghina. Namun, Radit tak menghiraukan Dewi. Ia merasa sangat kecewa pada Dewi.
"Dewi, aku tak ingin mendengar cerita itu," ujar Radit, suaranya bergetar dengan kecemasan. "Aku hanya ingin mengetahui kebenaran. Apa yang terjadi pada Amara?"
Dewi terdiam, tak dapat menjawab pertanyaan Radit. Ia merasa takut jika kebenaran terbongkar.
"Radit, aku akan mencari Amara," ujar Radit, suaranya bergetar dengan kekhawatiran. "Aku harus menemukan Amara. Aku harus mengetahui kebenaran."
Radit meninggalkan Dewi dan Yuni yang terdiam menatap Radit dengan rasa cemas. Mereka takut jika kebenaran terbongkar.
*******
"Amara, di mana kau?" gumam Radit, suaranya bergetar dengan kecemasan. "Aku ingin bertemu denganmu. Aku ingin menjelaskan segalanya."
Radit mencoba menghubungi Amara lagi. Ia terus mencoba menghubungi Amara, namun tak ada jawaban. Radit merasa semakin kecewa. Ia tak tahu harus berbuat apa.
"Kenapa kau tak menjawab teleponku, Amara?" gumam Radit, suaranya menurun hingga hanya ia yang mendengar. "Aku merasa sangat khawatir padamu."
Radit mencoba menghubungi Amara lagi. Namun, Amara tak menjawab telepon Radit sekalipun.
"Sial! Kenapa kau tak menjawab teleponku?" teriak Radit, suaranya bergetar dengan kecemasan. "Amara, aku mohon jawab teleponku!"
Radit menutup ponselnya dengan rasa kecewa yang mendalam. Ia merasa sangat bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Amara telah meninggalkannya. Ia ingin mencari Amara, namun ia tak tahu harus mencarinya di mana.
******
Dewi dan Yuni menatap Radit yang menutup teleponnya dengan rasa kecewa yang mendalam. Mereka saling bertukar pandangan, senyum licik terukir di wajah keduanya.
"Rencananya berjalan lancar," gumam Dewi dengan nada yang menyeramkan. "Sekarang kita tinggal membuat Radit semakin marah pada Amara."
"Ya, kita harus meyakinkan Radit bahwa Amara telah menyakiti hatinya," timpal Yuni dengan nada yang mengejek. "Kita harus membuat Radit membenci Amara."
Dewi menatap Yuni dengan tatapan yang tajam. "Kita harus mencari cara agar Radit tak akan mencari Amara."
"Bagaimana caranya?" tanya Yuni, penasaran.
"Kita akan mengatakan pada Radit bahwa Amara mungkin menemui pria yang ada di foto itu," jawab Dewi dengan senyum licik. "Kita akan membuat Radit semakin cemburu dan marah."
Dewi tersenyum sinis. "Kita akan mengatakan bahwa sebelum Amara pergi dari rumah, ia menelepon seseorang. Kita akan mengatakan bahwa suara di telepon itu adalah suara pria. Mungkin itu adalah pria yang ada di foto itu."
Yuni menangguk mengerti, matanya berbinar-binar dengan kelicikan. "Ide yang jenius, Dewi. Pasti Radit akan kebingungan dan marah besar mendengar ini."
"Ya, segera lupakan Amara!" tambah Yuni dengan nada yang menyeramkan. "Ia tak akan menghalangi kebahagiaan kita lagi."
"Ya, segera lupakan Amara!" tambah Yuni dengan nada yang menyeramkan. "Ia tak akan menghalangi kebahagiaan kita lagi."
"Jangan lupa untuk menunjukkan kesedihan dan kecemasan kita pada Radit," pesan Dewi. "Kita harus meyakinkan Radit bahwa kita juga terkejut dengan perbuatan Amara."
"Tentu saja, Dewi," jawab Yuni dengan senyum licik. "Kita akan membuat Radit percaya bahwa kita tak ada hubungannya dengan perginya Amara."
Dewi dan Yuni saling bertukar pandangan, senyum jahat menyelimuti wajah mereka. Mereka siap untuk menjalankan rencana licik mereka. Mereka akan memastikan bahwa Radit akan membenci Amara dan tak akan mencarinya lagi.
Sambil menunggu kembalinya Radit, Dewi dan Yuni menyusun strategi mereka dengan teliti. Mereka bertekad untuk menghancurkan hidup Amara.