Gus Zidan, anak pemilik pesantren, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tuanya untuk menikah dengan Maya, wanita yang sudah dijodohkan sejak lama. Namun, hatinya mulai terpaut pada Zahra, seorang santriwati cantik dan pintar yang baru saja bergabung di pesantren. Meskipun Zidan merasa terikat oleh tradisi dan kewajiban, perasaan yang tumbuh untuk Zahra sulit dibendung. Di tengah situasi yang rumit, Zidan harus memilih antara mengikuti takdir yang sudah digariskan atau mengejar cinta yang datang dengan cara tak terduga.
Yuk ikuti cerita selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Langkah di Persimpangan
Cahaya mentari pagi menyusup melalui celah-celah jendela kamar Zahra. Ia duduk di atas sajadah, merenungi setiap kejadian yang terjadi dalam beberapa hari terakhir. Sejak malam itu, ketika Gus Zidan dengan tegas menyatakan akan melindunginya, hati Zahra diliputi perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa dihargai, namun di sisi lain, ia khawatir semua ini hanya akan membawa masalah yang lebih besar.
Ketukan di pintu kamarnya membuyarkan lamunannya. Zahra membuka pintu dan menemukan Aisyah berdiri di depan dengan wajah cemas.
“Zahra, kamu dipanggil ke ruang Abi Idris,” katanya pelan.
Jantung Zahra berdegup kencang. Panggilan ke ruang Abi Idris jarang terjadi, terutama untuk santriwati biasa sepertinya. Dengan langkah ragu, Zahra berjalan menuju ruang pimpinan pesantren, diiringi tatapan penasaran beberapa santri lain.
Sesampainya di sana, pintu sudah terbuka. Di dalam, Abi Idris duduk di kursi besar dengan raut wajah serius. Ning Maya berdiri di dekatnya, tampak anggun dalam balutan gamis pastel, meskipun tatapan matanya tajam.
“Assalamu’alaikum, Kyai,” Zahra mengucapkan salam dengan suara gemetar.
“Wa’alaikumsalam, Zahra,” jawab Abi Idris, suaranya tenang namun penuh wibawa. “Silakan duduk.”
Zahra duduk di kursi kecil di hadapan meja besar yang memisahkan dirinya dengan Abi Idris. Ning Maya tetap berdiri, matanya tidak lepas dari Zahra.
“Zahra,” Abi Idris memulai, “aku mendengar banyak cerita tentangmu belakangan ini. Sebagai pemimpin pesantren, aku harus memastikan bahwa semuanya berjalan dengan baik di sini.”
Zahra menundukkan kepala. “Saya tidak pernah berniat menimbulkan masalah, Kyai.”
“Saya tahu,” kata Abi Idris. “Tapi ada beberapa hal yang tidak bisa diabaikan. Misalnya, hubunganmu dengan Zidan. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Zahra tertegun. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Sebelum ia sempat membuka mulut, Ning Maya sudah bersuara.
“Abi, saya rasa Zahra perlu memahami bahwa posisinya di sini adalah sebagai santriwati. Tidak lebih dari itu,” kata Ning Maya dengan nada tegas.
Zahra menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. “Saya tidak pernah berniat melampaui batas, Ning Maya. Jika kehadiran saya menjadi beban bagi pesantren ini, saya siap meninggalkan tempat ini.”
Ning Maya tersenyum tipis, tampak puas dengan jawaban Zahra. Namun, Abi Idris mengangkat tangannya, menghentikan pembicaraan.
“Tidak ada yang harus pergi dari pesantren ini,” kata Abi Idris tegas. “Tapi aku ingin kalian berdua tahu bahwa masalah ini harus diselesaikan. Aku tidak ingin mendengar ada pertikaian atau pembicaraan yang tidak baik lagi setelah ini.”
Ning Maya hanya mengangguk, meskipun sorot matanya menunjukkan bahwa ia belum sepenuhnya puas. Zahra mengangguk pelan, meskipun hatinya masih terasa berat.
Setelah pertemuan itu, Zahra berjalan keluar dengan langkah lunglai. Ia merasa seperti beban berat terus menekan pundaknya. Namun, saat melewati taman, ia melihat sosok yang sudah terlalu ia kenal.
“Gus Zidan,” bisiknya.
Zidan berdiri di bawah pohon mangga, menatap Zahra dengan raut wajah penuh penyesalan. Ia berjalan mendekat, tetapi Zahra menggelengkan kepala.
“Jangan, Gus,” kata Zahra pelan, hampir seperti bisikan.
“Zahra, aku tahu ini tidak mudah,” ujar Zidan, tetap mendekat. “Tapi aku tidak akan menyerah. Aku sudah bicara dengan Abi. Aku akan menghadapi semuanya.”
Zahra menatap Zidan dengan mata berkaca-kaca. “Tapi ini bukan hanya tentang kita, Gus. Ini tentang pesantren, tentang keluargamu, dan tentang Ning Maya.”
“Aku tahu,” jawab Zidan. “Tapi aku juga tahu apa yang aku rasakan. Zahra, aku tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Aku tidak bisa mengabaikannya.”
Zahra tidak bisa menahan air matanya lagi. Ia berbalik, berusaha menjauh, tetapi Zidan menahan tangannya.
“Percayalah padaku, Zahra,” katanya lembut. “Aku akan menemukan jalan.”
Di sisi lain, Ning Maya kembali ke kamarnya dengan hati yang masih dipenuhi amarah. Pertemuan tadi tidak memberikan hasil seperti yang ia harapkan. Ia merasa Zahra masih menjadi ancaman, dan Zidan semakin sulit dikendalikan.
“Ummi,” panggil Ning Maya ketika memasuki kamar ibunya, Bu Nyai Siti.
Bu Nyai sedang duduk di sofa kecil, membaca buku tafsir. Ia menatap putrinya dengan senyum lembut. “Ada apa, Nak?”
“Ummi, aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Zidan semakin menjauh dariku, dan Zahra…” Ning Maya menghentikan kalimatnya, berusaha menahan emosi.
Bu Nyai meletakkan buku di pangkuannya. “Sabar, Ning. Jika kamu ingin mendapatkan sesuatu, kamu harus memperjuangkannya dengan cara yang baik. Jangan sampai emosimu menguasaimu.”
“Tapi Ummi, dia semakin dekat dengan Zahra. Apa aku harus diam saja?”
Bu Nyai menggeleng pelan. “Tidak, Nak. Tapi kamu harus ingat, Allah tidak akan meridhai sesuatu yang diperoleh dengan cara yang salah. Jika kamu benar-benar mencintai Zidan, tunjukkan bahwa kamu adalah pilihan yang terbaik. Jangan menjatuhkan orang lain.”
Ning Maya menghela napas panjang. Ia tahu Umminya benar, tetapi rasa sakit di hatinya sulit untuk diabaikan.
Malam itu, Zidan kembali berbicara dengan Abi Idris. Ia tahu keputusan ini harus segera diambil.
“Abi,” Zidan memulai, “aku ingin melamar Zahra.”
Abi Idris menatap putranya dengan mata yang membelalak. “Zidan, apa kamu sadar apa yang kamu katakan? Kamu tahu konsekuensi dari ini?”
“Aku sadar, Abi. Tapi aku tidak bisa mengingkari hatiku. Zahra adalah pilihan yang Allah tunjukkan untukku.”
Abi Idris menggeleng pelan, mencoba memahami jalan pikiran putranya. “Zidan, kamu harus memikirkan keluarga kita, pesantren ini, dan tanggung jawabmu sebagai Gus.”
“Aku sudah memikirkannya, Abi. Jika itu berarti aku harus meninggalkan semua ini demi Zahra, aku siap.”
Kata-kata Zidan membuat Abi Idris terdiam. Ia tidak pernah menyangka putranya akan berbicara seperti itu. Namun, di dalam hati kecilnya, ia juga tahu bahwa cinta yang tulus tidak bisa dipaksakan.
“Baiklah, Zidan,” ujar Abi Idris akhirnya. “Tapi kamu harus memberi waktu kepada Abi untuk berbicara dengan Zahra dan keluarganya. Jika mereka setuju, Abi tidak akan menghalangi.”
Zidan mengangguk, merasa sedikit lega. Namun, ia tahu perjuangannya belum berakhir. Jalan di depan masih panjang dan penuh rintangan.
Malam itu, Zidan berdiri di halaman pesantren, menatap langit yang dipenuhi bintang. Dalam hatinya, ia berdoa agar Allah memberinya kekuatan untuk melangkah di jalan yang ia yakini benar.
To Be Continued...
kirain kemarin" tu Kyai Mahfud ortu Ning Maya 🤭
ingat Maya, Adab lebih tinggi dari ilmu. sebagai putri kyai pemilik pondok ilmumu tidak diragukan lagi. tapi adabmu ??