Mencari Daddy Sugar? Oh no!
Vina Rijayani, mahasiswi 21 tahun, diperhadapkan pada ekonomi sulit, serba berkekurangan ini dan itu. Selain dirinya, ia harus menafkahi dua adiknya yang masih sangat tanggung.
Bimo, presdir kaya dan tampan, menawarkan segala kenyamanan hidup, asal bersedia menjadi seorang sugar baby baginya.
Akankah Vina menerima tawaran Bimo? Yuk, ikuti kisahnya di SUGAR DATING!
Kisah ini hanya fantasi author semata😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Payang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Pria Matang Penuh Pesona
"Ini sudah larut, sebaiknya Tuan pulang saja, saya dan Vaniza bisa menjaga Vino sendiri disini kok."
Mendengar ucapan Vina, Bimo menunjukan raut tidak sukanya.
"Kamu mengusirku? Tidak bisa! Aku sudah tahu, begitu aku pergi, pasti ada pria lain yang akan menyelinap kemari!"
Vina membuang napas kasar, beranjak dari duduknya menuju kamar mandi dengan kain basah dan mangkuk ditangannya.
"Pria tua memang keras kepala!" gumamnya dongkol.
"Apa? Kamu bilang apa Baby?" Ekspresi Bimo berubah mendengar ucapan Vina.
"Pria tua!" sahut Vina yang sudah dikuasai rasa jengkelnya.
"Aku bukan pria tua! Aku pria matang yang penuh pesona!" sangkal Bimo tidak terima, belum ada yang pernah berani mengatai dirinya seperti itu.
"Pertanyaanku tadi harusnya tidak perlu kamu jawab Baby! Dan satu lagi, sudah berapa kali aku katakan, panggil aku Daddy! D-A-D-D-Y, DAD-DY!" rasa gemes pria itu sudah sampai diubun-ubun.
"Ugh, hiks, hiks..."
"Cup... cup... cup..." Bimo panik, gegas menepuk lembut pinggul Vaniza yang menggeliat gelisah disebelahnya. Ia lupa, kalau saat ini mereka tidak berada di penthouse miliknya, dan juga tidak hanya berdua.
Setelah bocah perempuan itu terlelap kembali, Bimo memindahkannya dengan hati-hati ke ranjang dibelakang sofa.
"Mm... Jangan tinggalin Vaniza lagi Kakak..." lenguh gadis kecil itu, berbicara setengah sadar, memeluk erat lengan Bimo.
Bimo terlihat canggung, pria itu melirik kearah Vina yang tengah memperhatikannya.
"Karena Tuan tidak mau pulang, tolong temanin Vaniza dan Vino, aku ingin melihat kondisi bi Anggi sebentar," Vina cepat beranjak.
"Baby! Kamu tidak boleh pergi sendiri! Baby! Vina!" Teriak Bimo gusar, tapi Vina tetap berlalu, sengaja menulikan telinganya.
"Vina! Baby!" suara Bimo semakin nyaring.
"Ugh! Hiks..." Vaniza kembali menggeliat gelisah, Bimo buru-buru menepuk pinggulnya untuk menenangkannya, tidak ingin bocah perempuan itu sampai terbangun.
Hatinya dilema, antara tetap diruang rawat inap bersama Vaniza dan Vino, atau mengejar Vina yang pergi tanpa memperdulikan panggilannya.
...***...
Anggi mengalihkan pandangannya dari layar televisi, kaget melihat pintu rawat inapnya tiba-tiba terbuka.
"V-Vina?" ucapnya, begitu melihat keponakannya itu muncul didepan pintu.
"Pasti Bos kamu yang kasih tahu Bibi ada disini kan?" sumringahnya.
Vina mengangguk, tersenyum lembut seraya mendekat.
"Bagaimana keadaan Bibi? Apa sudah lebih baik?"
"Kamu lihat sendiri kan?" Anggi memperlihatkan kakinya yang diperban.
"Aku masuk rumah sakit ini gara-gara Bos pembohongmu itu! Sampai sekarang, aku tidak melihat batang hidungnya. Dasar, manusia tidak bertanggung jawab!" omelnya dengan raut remuk.
"Kamu lihat sendiri kan fasilitas di ruang rawat inap Bibi ini?" Anggi mengedarkan pandanganya diikuti Vina, melirik televisi yang ia tonton tadinya, satu kulkas yang berdiri disudut ruangan, dan satu unit sofa tamu.
"Bibi sudah menanyakan pada perawat tadi sore, biaya ruang rawat inap ini sangat mahal, satu juta tiga ratus delapan puluh ribu permalam. Itu belum termasuk biaya perawatan Bibi, obat-obatan, makan, dan lain sebagainya," Anggi terlihat pusing memikirkannya.
"Kamu bisa kan bantu Bibi membayarnya?" menatap penuh harap pada sang keponakan.
"Maaf Bibi, sepertinya saya belum bisa membantu, saya baru saja diterima berkerja sebagai OB. Vino juga sedang sakit, dan dirawat di rumah sakit ini juga Bi."
"Maksud Bibi bukan kamu, tapi Bos kamu. Bibi tahu kalau kamu itu mulai dari Emak-Bapak kamu memang miskin akut. Kamu bisa kan membujuk Bos kamu itu membayar semuanya ini? Karena, semua yang terjadi pada Bibi adalah salahnya," ucapnya, tanpa memperdulikan kesulitan Vina yang mengeluhkan tentang adik laki-lakinya yang juga sedang sakit.
"Sekali lagi mohon maaf Bibi, saya tidak berani. Kenapa Bibi tidak membayarnya saja dengan uang dua puluh juta yang diberikan oleh tuan Bimo beberapa waktu lalu?"
Mata Anggi melebar mendengarnya.
"Bagaimana kamu bisa tahu?"
"Kenapa Bibi tega melakukannya padaku, Bi?" Vina berkaca-kaca dengan perasaan kecewa, mengingat apa yang diceritakan Bimo tentang Bibinya itu.
"Bukankah aku dan adik-adikku sudah tidak punya hutang lagi sama Bibi? Rumah Bapak sudah Bibi sita sebagai pelunas hutang. Lalu kenapa Bibi minta ke tuan Bimo lagi? Mengatakan itu adalah hutangku. Dengan begitu, Bibi akan membuat aku berhutang lagi pada tuan Bimo."
"Heleh! Nggak usah berakting Vina. Kamu fikir Bibi bodoh? Tidak tahu?" Sinis Anggi dengan mulut merotnya.
"Tidak ada pria yang begitu mudahnya memberi uang pada seorang gadis seperti tuan Bimo-mu itu mentransfer pada Bibi kalau tidak ada apa-apanya! Iya kan? Kamu nggak bisa bohong sama Bibi, Bibi sudah puas makan asam garam sampai bengkak seperti ini! Kamu, anak kemarin sore mau berbohong sama Bibi? Oh, tidak semudah itu!"
"Ayo ngaku! Kamu simpanan tuan Bimo kan?" Anggi memberi tekanan pada kalimat terakhirnya.
"Ayo, kita kerja sama Vina. Serahkan semuanya pada Bibi. Kita kuras uang pria kaya itu selama dia masih menyukaimu. Kamu tidak perlu kerja keras, dan hidup adik-adikmu pun akan terjamin, percaya sama Bibi," bujuk Anggi melembutkan suaranya.
"Maaf Bibi, saya tidak bisa melakukannya," Vina menggeleng.
"Dasar bodoh, punya kesempatan tapi di sia-sia kan! Apa enaknya kerja jadi OB? Percuma punya keponakan cantik tapi tidak berguna, pergi sana!" usir Anggi kesal. Tubuh ramping Vina hampir saja terjerembab di lantai akibat dorongan Bibinya itu.
Tanpa mengatakan apapun lagi, Vina keluar, meninggalkan Bibinya yang masih saja mengomel panjang dibelakangnya.
"Vin, Vina!"
Vina menoleh, melihat Heru keluar dari ruang kasir yang ia lewati tadi.
"Kamu ngapain disini? Siapa yang sakit?" tanya pemuda itu.
"Mm, itu... Vino, adik saya Kak. Kak Heru kerjanya sampai malam?" melihat Heru yang masih mengenakan seragam kerja.
"Iya," Heru tersenyum.
"sakit apa adikmu?" tanyanya.
"Tipes," jawab Vina singkat.
Heru mengangguk kecil.
"Pantas aku tidak melihatmu di kampus saat melegalisir ijazahku. Siapa nama panjang adikmu?"
"Vino Nuno Sebastian, Kak."
"Besok, aku akan melihat adikmu."
"Jangan Kak, tidak usah repot-repot," larang Vina cepat, dirinya yakin Bimo pasti tidak menyukainya.
"Aku permisi dulu Kak, takut adikku terbangun," pamit Vina, cemas Bimo mencarinya begitu wajah pria itu terlintas dibenaknya.
"Tunggu Vin, kamu sudah dapat tempat magang? Kalau belum, disini saja, aku bisa bicara dengan atasanku supaya kamu bisa magang disini. Kamu cukup minta rekomendasi dari kampus."
"Terima kasih Kak, akan aku fikirkan. Aku perlu melihat daftar mahasiswa magang dulu di kampus, mungkin aku sudah ditempatkan disalah satu instansi," Vina beralasan. Menghindari pemuda itu adalah yang terbaik bila tidak ingin berurusan dengan mantannya.
"Jangan sungkan menemuiku, aku akan membantumu." Heru tersenyum tipis.
"Vina tidak butuh bantuanmu."
Vina berbalik, menemukan presisi Bimo berdiri tepat dibelakangnya, menatap dingin pada Heru yang menyikapinya dengan tenang.
Bersambung...✍️
sempet mikir kok baik amat manggil nak/Facepalm/