Seorang gadis cantik, jenius dan berbakat yang bernama Kara Danvers bekerja sebagai agen ganda harus mati di karena dikhianati oleh rekannya.
Namun, alih-alih ke alam baka. Kara malah bertransmigrasi ke tubuh bocah perempuan cantik dan imut berusia 3 tahun, dimana keluarga bocah itu sedang di landa kehancuran karena kedatangan orang ketiga bersama dengan putrinya.
"Aku bertransmigrasi ke raga bocil?" Kara Danvers terkejut bukan main.
"Wah! Ada pelakor nih! Sepertinya bagus di beri pelajaran!" ucap Kara Danvers menyeringai dalam tubuh bocah cilik itu.
Apa yang yang akan dilakukan sang agen ganda saat di tubuh gadis cilik itu dan menggemaskan itu. Yuk mari baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aksi Vara
Vara mendengar percakapan Dimas dengan kakeknya melalui speaker yang tidak sengaja menyala. Dia tersenyum kecil, lalu melirik ke arah penculik yang berdiri di depan pintu.
Pria di depan pintu terlihat berbicara pada rekannya, dia ternyata ingin makan. Dan beberapa saat, pria itu pergi bersama rekannya.
Waktunya beraksi! batin Vara menyeringai.
Kemudian Vara menggunakan instingnya yang tajam, untuk menghitung jumlah orang yang ada ditempat ini.
Mereka ada 25 orang! batin Vara.
Vara dengan langkah hati-hati menelusuri ruangan yang lebih luas dari yang lain. Di dalamnya, 20 pria berwajah kasar berdiri berjaga, senjata terhunus, melindungi dua pria yang menjadi dalang semua ini Dimas dan Delon.
Dimas tersenyum licik. "Tuan Anggara pasti panik sekarang. Cucu kesayangannya ada di tangan kita. Uang lima puluh miliar hanya masalah waktu," ujarnya.
Delon tertawa sinis. "Papa benar. Dan jika mereka berani macam-macam, kita bisa ... hmm menyingkirkan bocah sialan itu," ujarnya menimpali.
Vara dalam hati, dengan senyum sinis. Kalian berpikir bisa menangani aku? Lucu sekali.
Vara kembali ke tempatnya, saat beberapa pria datang mendekat. Dengan cepat Vara kembali duduk sambil tangannya di belakang memegang ponsel pria yang sudah diserangnya.
Untungnya Vara sudah mensabotase lampu di ruangan penyekapan membuatnya gelap gulita. Jadi, orang-orang itu tidak akan tahu jika rekan mereka telah tumbang, apalagi tubuh pria itu ditumpuk barang.
"Huhuhu ... tolong aku, di cini gelap," ujar Vara memulai akting menangisnya.
Para penjahat itu mengerutkan keningnya saat lampu di ruangan itu mati.
"Mungkin karena disini gedung tua, makanya lampunya mati," ujar salah satu dari mereka tidak curiga sama sekali.
"Kau benar!" sahut yang lain.
Mereka mengambil ponselnya, lalu menyoroti Vara yang meringkuk dengan tangan terikat ke belakang.
Penjahat 1 mendekat, wajahnya sinis "Diam! Jangan nangis, bocah!" gertaknya.
Vara suara kecil dan polos menjawab, "Aku ... aku mau pulang. Om-om ini jahat ...."
Penjahat 2 menimpali, "Sudah, biarkan saja. Nanti kalau uangnya dapat, kita tinggal buang dia."
Mereka kemudian meninggalkan Vara begitu saja di sudut ruangan.
Ternyata mereka memiliki perangkap! Sepertinya mereka menggunakannya untuk menjebak kakek dan yang lainnya! batin Vara
Bagaimana jika kalian yang merasakannya sendiri, jebakan kalian? batin Vara mengutak-atik ponsel dicurinya sambil menyeringai
Gadget yang dicurinya mulai bekerja menonaktifkan kamera pengawas milik para penculik, memutus komunikasi mereka dengan dunia luar, dan mengatur permainan baru yang sebentar lagi dimulai.
Tiba-tiba, lampu-lampu di gudang padam. Ruangan itu gelap gulita.
Dimas langsung bereaksi. "Apa-apaan ini?! Siapa yang matikan listrik?!" murkanya dengan suara lantang.
Suara bising dan langkah kaki terdengar kacau. Para penculik saling berteriak memanggil rekan mereka.
Penjahat 3 terdengar panik. "Hei! Mana senter?! Aku nggak bisa lihat apa-apa!"
Dari tengah kegelapan, terdengar suara tawa kecil. Pelan namun cukup membuat bulu kuduk merinding.
Vara bersuara tajam, namun tetap polos. "Om-om ... bilang tadi mau buang aku? Tapi kenapa malah takut gelap?" kekeh Vara.
Delon berteriak marah. "Sial! Cari bocah itu sekarang juga!" titahnya.
Saat beberapa pria bergerak, lampu-lampu tiba-tiba menyala kembali, namun kini berwarna merah menyala, membuat suasana semakin mencekam. Di lantai gudang, muncul tulisan digital besar yang berbunyi.
"Permainan dimulai. Selamat bersenang-senang!"
Dimas mulai berwajah pucat. "Apa ini?! Siapa yang melakukan ini?!" tanyanya.
"Cepat cari bocah itu!" teriak Dimas lantang.
"Baik Bos!" Mereka segera berpencar mencari bocah perempuan itu.
Vara telah memodifikasi lantai gudang menjadi beberapa zona jebakan. Saat salah satu penjahat melangkah, lantai itu tiba-tiba runtuh, membuatnya terperosok ke dalam lubang kecil berisi cairan lengket.
Penjahat-penjahat itu berteriak kesakitan. "Aarrgghh! Apa ini?! Aku nggak bisa keluar!" teriak mereka.
Vara terkekeh kecil, saat perangkapnya mulai bekerja. Vara kembali mengutak-atik ponsel curiannya.
Dengan sekali klik dari gadget itu, sistem ventilasi gudang menyemburkan gas air mata ke beberapa titik. Para penculik mulai batuk-batuk dan mengusap mata mereka yang perih.
Beberapa penjahat lainnya kembali berteriak. " Argh! Mataku! Kenapa gas ini keluar?! Siapa yang sudah menekan tombolnya?!" teriaknya.
Vara berdiri di atas meja kecil, suara lantang. "Kalian nggak bilang mau main petak umpet pakai gas, kan?" tanyanya polos.
Bocah perempuan cantik berusia 3 tahun itu kemudian menyumpal telinganya dengan alat buatannya dari bahan didapatnya gudang yang tak terpakai.
Tiba-tiba, suara sirine keras menggema di seluruh ruangan, membuat para penculik memegangi telinga mereka.
Delon marah besar. "Diamkan suara itu! Cepat matikan!" teriaknya menggema.
Namun, Dimas mulai sadar. Ia mencari kesana-kemari Vara, dengan wajah pucat pasi.
"Ini ... ini semua ulah bocah itu! Kau siapa sebenarnya?!" teriak Dimas mencoba mencari Vara.
Vara menatap tajam di sebuah ruangan tersembunyi. "Aku? Cuma anak kecil yang bocan diculik. Oh iya, Kakek Dimas dan Om Delon ... pelmainan ini balu caja dimulai," ujar Vara polos.
Setelah mengatakan itu, serang bertubi-tubi datang dari berbagai arah. Membuat mereka kelimpungan.
"Sialan! Bagaimana anak itu bisa mengontrol jebakan kita?!" teriak Dimas cemas.
Di luar gudang, suara deru mobil dan langkah kaki cepat mulai terdengar.
Tuan Anggara, Leonardo Vincent, dan Brian Vale tiba dengan pasukan bersenjata lengkap.
Mereka menerobos masuk hanya untuk menemukan pemandangan yang mengejutkan.
Para penculik tergeletak di lantai beberapa terjebak di perangkap, beberapa merintih kesakitan akibat gas, sementara Delon dan Dimas terduduk lemas dengan wajah putus asa.
Di tengah-tengah kekacauan itu, Vara berdiri dengan tenang, kedua tangannya di pinggang mungilnya.
"Cih! Cegitu aja kalian udah K.O," ujar Vara menendang tubuh penjahat yang terkapar itu.
"Vara ... apa yang kau lakukan?" tanya tuan Anggara dengan penuh keterkejutan.
Vara berjalan mendekat dengan senyum manis seolah tidak terjadi apa-apa. "Glandpa lama cekali. Aku cudah menyelecaikan cemuanya. Ini cepelti pelmainan kecil," ujarnya membuat orang dewasa itu melongo.
Leonardo Vincent menatap para penculik yang terkapar. "Kau yang melakukan ini ... seorang anak kecil?" tanyanya tidak percaya.
Brian Vale tertawa. "Vara bukan anak kecil biasa, Leo. Kau tahu itu sekarang. Tentunya calon menantuku itu hebat," ujarnya.
"Vala tidak mau cama Dominic, Om. Vala mau cama plia yang kuat dan kaya laya," tolak Vara dengan wajah polosnya.
Brian terkekeh. "Tenang saja Vara sayang. Om akan menyuruh Dom, untuk menjadi pria terkaya nomor satu di dunia," ujarnya yakin.
"Tangkap mereka!" titah Leonardo menatap dingin para penjahat itu.
Dimas berteriak, wajah penuh kemarahan. "Kalian tidak bisa menangkapku begitu saja! Ini tidak adil!"
Vara menatap tajam. "Cih, dacal tua bangka, kau bilang tidak adil? Kalian menculik anak kecil, minta uang milialan, dan sekarang bilang tidak adil? Lucu cekali Anda."
Delon berteriak keras. "Kami hanya ingin hak kami! Om Anggara, kau selalu pilih kasih!"
Tuan Anggara menatap mereka sambil bersuara dingin. "Hak kalian? Hak yang mana? Setelah apa yang kalian lakukan pada cucuku? Tidak ada ampun!"
Leonardo mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada anak buahnya untuk membawa pergi Dimas, Delon, dan sisa penculik.
Saat semua penjahat dibawa keluar, Tuan Anggara menghampiri Vara, mengangkatnya dalam pelukan.
"Lagi-lagi kau membuat Grandpa bangga padamu, Nak," ujarnya tersenyum tipis.
Vara tersenyum kecil. "Vala cuma membantu Glandpa. Lagi pula, meleka tellalu lemah dan bodoh," ujarnya.
Brian dan Leonardo hanya bisa saling pandang, terkesima oleh keberanian dan kecerdasan gadis kecil itu.
Leonardo berbisik pelan. "Anak ini ... benar-benar luar biasa," ujarnya.
Brian tersenyum tipis. "Sudah kubilang. Jangan pernah remehkan seorang Prameswari. Ngomong-ngomong, kita akan berbesan di masa depan," ujarnya datar.
Mereka segera pulang ke mansion Prameswari. Di mansion keluarga Prameswari, Selvira tidak henti-hentinya memeluk Vara.
"Sayangku, kau baik-baik saja? Kau tahu betapa Mama khawatir?!"
Terlihat wajah Selvira memerah dan mata sembab karena mengkhawatirkan sang putri.
Vara tersenyum merasa bersalah. "Aku baik-baik saja, Ma. Aku tahu kalian akan datang. Maafkan Vala yang membuat, Mama khawatil," ujarnya merasa hangat karena diperhatikan.
"Gak apa-apa sayang! Yang penting Cara selamat. Lain kali, Vara tidak boleh jauh-jauh dari, Mama," ujar Selvira memeluk sang putri.