Jejak Takdir Di Ujung Waktu

Jejak Takdir Di Ujung Waktu

Bab 1: Cahaya di Tengah Kerumitan

Pagi di pesantren Al-Falah selalu diawali dengan suara adzan Subuh yang menggema lembut, mengalun dari menara masjid. Angin pagi menyelinap melalui jendela kamar Gus Zidan, membuatnya menggeliat di atas sajadah yang sejak tadi ia bentangkan. Ia sudah terjaga sejak sebelum Subuh, namun pikiran yang menggelayut membuatnya sulit fokus berdoa.

Di depan sajadah, sebuah kitab kuning terbuka, tetapi pandangan Zidan kosong, melompati teks-teks Arab yang sudah akrab baginya. Pikirannya tidak ada di sana. Melainkan pada satu sosok yang baru beberapa hari hadir di pesantren ini, Zahra.

Zahra adalah santriwati baru yang datang dari kota. Wajahnya tenang, dengan sorot mata yang penuh keyakinan dan senyum yang menenangkan. Di hari pertama Zahra bergabung, Zidan sudah mendengar gumaman dari para santri dan ustazah tentang kecerdasannya. Dalam waktu singkat, Zahra menjadi pembicaraan karena caranya menghafal Al-Quran begitu cepat, dan tutur katanya selalu penuh hormat.

Namun, bagi Zidan, yang menarik bukan hanya kecerdasan Zahra, melainkan caranya membawa diri. Ada sesuatu dalam langkahnya yang anggun, sederhana, tapi penuh keyakinan. Zidan tak pernah merasa seperti ini sebelumnya—bukan pada Maya, wanita yang sudah dijodohkan dengannya sejak kecil.

Zidan mendesah panjang. Maya adalah putri dari sahabat ayahnya, Kiai Mahfud, seorang ulama terpandang yang memiliki pesantren besar di kota sebelah. Semua orang menganggap hubungan itu sebagai takdir. Gus Zidan, anak tunggal Kiai Idris, dan Maya, gadis cantik yang lembut, tampaknya adalah pasangan sempurna di mata masyarakat. Namun hati Zidan berkata lain.

“Zidan!” suara lembut namun tegas dari luar pintu membuyarkan lamunannya.

“Ya, Ummi,” jawab Zidan sambil bangkit.

Ibunya, Nyai Halimah, muncul di ambang pintu. “Sudah waktunya memimpin tadarus. Jangan lupa, Nak, santri-santri baru akan ikut hari ini.”

Zidan mengangguk, tetapi hatinya gelisah. Pasti Zahra akan berada di antara mereka. Ia harus menjaga sikapnya, jangan sampai ada yang melihat gejolak di hatinya.

Ruangan aula pesantren dipenuhi suara lantunan ayat-ayat suci Al-Quran. Zidan duduk di depan, memimpin tadarus dengan suara yang merdu dan tenang. Santri-santri duduk melingkar, termasuk Zahra yang berada di barisan wanita, beberapa meter darinya.

Zidan mencoba fokus. Namun sesekali, tanpa sengaja, pandangannya melirik ke arah Zahra. Gadis itu duduk tegak, dengan kepala tertunduk khusyuk. Kerudung putih sederhana yang dikenakannya memantulkan cahaya pagi, membuatnya tampak seperti sosok yang datang dari mimpi.

“Maa Syaa Allah,” gumam Zidan dalam hati. Tapi seketika ia menegur dirinya sendiri. Astaghfirullah. Jangan sampai hati ini tergelincir, Ya Allah.

Ketika tadarus selesai, Zahra mendekat bersama beberapa santriwati lain untuk bertanya tentang tajwid. Suaranya lembut, namun penuh rasa ingin tahu. “Gus, bolehkah saya bertanya tentang ayat tadi? Saya ingin memastikan apakah pelafalan saya sudah benar.”

Zidan mengangguk, mencoba menjaga ekspresi netral. “Tentu, silakan.”

Zahra membaca dengan lancar, tetapi ada sedikit kesalahan kecil yang langsung diperbaiki oleh Zidan. Setiap kali Zahra berbicara, Zidan merasa seperti mendengar musik yang indah, tenang, namun menenangkan.

Namun, perasaan itu segera tergantikan oleh rasa bersalah. Bagaimana mungkin ia merasa seperti ini, sementara Maya sudah dipersiapkan untuknya?

Malam itu, Zidan duduk di ruang kerja Kiai Idris, ayahnya. Kiai Idris memandang putranya dengan senyum bijak. “Zidan, bagaimana kesanmu tentang santri-santri baru kita?”

“Baik, Bi. Mereka terlihat sangat semangat belajar,” jawab Zidan hati-hati.

Kiai Idris mengangguk. “Termasuk Zahra, ya? Gadis itu punya potensi besar. Abi dengar dia sudah hafal tujuh juz Al-Quran sebelum datang ke sini.”

Zidan hanya tersenyum kecil, tidak berani berkomentar banyak.

“Abi juga ingin mengingatkanmu, Nak,” lanjut Kiai Idris, “tentang rencana pernikahanmu dengan Ning Maya. Keluarga Kiai Mahfud berharap kita segera menetapkan tanggal. Bagaimana menurutmu?”

Zidan merasa jantungnya berdegup kencang. Pertanyaan itu selalu menjadi momok baginya. Ia mencintai orang tuanya, menghormati tradisi, tetapi setiap kali membayangkan Maya, ia merasa ada sesuatu yang kurang.

“Yah, mungkin kita bisa menunggu sedikit lagi?” Zidan mencoba menjawab diplomatis.

Kiai Idris mengerutkan kening. “Zidan, Abi tahu ini bukan hal mudah. Tapi ini bukan hanya soal perasaan. Ini soal menjaga silaturahmi dan kehormatan keluarga.”

Zidan terdiam. Ia tahu betapa pentingnya hal itu bagi ayahnya, tetapi hatinya berkata lain.

Di sisi lain, Zahra juga mulai merasa bahwa pesantren ini membawa cerita yang berbeda dalam hidupnya. Malam itu, di asrama santriwati, ia duduk di tepi jendela, memandang langit malam yang penuh bintang.

Ia teringat pertemuan singkatnya dengan Zidan pagi tadi. Gus Zidan, meskipun tampak tenang dan berwibawa, memiliki sorot mata yang penuh misteri. Zahra tidak bisa menafsirkan apa yang ia lihat dalam mata itu.

Zahra menggeleng pelan, mencoba mengusir pikiran itu. Ia datang ke pesantren ini untuk belajar, bukan untuk terjebak dalam hal-hal yang membuat hatinya goyah. Namun, ada sesuatu tentang Zidan yang sulit diabaikan.

Malam semakin larut, tetapi Zidan tidak bisa memejamkan mata. Ia duduk di depan meja belajarnya, dengan kertas kosong di depannya. Di tangannya, pena yang tak kunjung bergerak.

Ia ingin menulis surat untuk ayahnya. Surat yang menjelaskan perasaannya, tentang Maya, tentang Zahra, tentang semuanya. Tetapi kata-kata terasa begitu sulit.

“Apa yang harus aku lakukan, Ya Allah?” bisiknya lirih.

Di tengah kebimbangan itu, bayangan Zahra kembali melintas. Senyumnya, ketenangannya, caranya berbicara tentang ilmu agama. Zidan tahu, jika ia mengikuti perasaannya, ia harus siap menghadapi konsekuensi yang berat.

Tetapi jika ia memilih untuk tetap berada di jalur yang sudah ditentukan, akankah ia bisa benar-benar bahagia?

Bab awal ini membahas pergulatan batin Gus Zidan. Di tengah tradisi yang mengikat, hadirnya Zahra menjadi ujian besar dalam hidupnya. Akankah ia memilih cinta, atau tetap setia pada jalan yang sudah digariskan?

To Be Continued...

Episodes
1 Bab 1: Cahaya di Tengah Kerumitan
2 Bab 2: Patah dan Dilema
3 Bab 3: Antara Hati dan Tradisi
4 Bab 4: Jalan yang Terjal
5 Bab 5: Rasa yang Terpendam
6 Bab 6: Pilihan di Ujung Jalan
7 Bab 7: Titik Temu di Persimpangan
8 Bab 8: Gemuruh di Balik Pintu
9 Bab 9: Langkah di Atas Api
10 Bab 10: Langkah di Persimpangan
11 Bab 11: Atap Dalam Kebisuan
12 Bab 12: Langkah Baru
13 Bab 13: Jalan yang Tak Terduga
14 Bab 14: Titik Balik
15 Bab 15: Keteguhan Hati
16 Bab 16: Ketulusan di Tengah Badai
17 Novel: Jodoh Jalur Ummi
18 Bab 17: Ombak di Tengah Layar
19 Bab 18: Badai di Tengah Tenang
20 Bab 19: Titik Balik
21 Bab 20: Menentukan Hari Bahagia
22 Bab 21: Langkah Awal Menuju Mimpi
23 Bab 22: Hari yang Ditunggu
24 Bab 23: Menapak Jejak Baru
25 Bab 24: Memperkuat Ikatan
26 Bab 25: Keindahan Cinta dalam Setiap Langkah
27 Bab 26: Kejutan-kejutan Kehamilan Zahra
28 Bab 27: Kejutan-kejutan Zahra yang Manis
29 Bab 28: Kegembiraan dan Tantangan Baru
30 Bab 29: Ketegangan Menjelang Kelahiran
31 Bab 30: Kelahiran yang Dinanti
32 Bab 31: Menapaki Langkah Baru
33 Bab 32: Cinta yang Tumbuh di Pesantren
34 Bab 33: Merawat Zafran dengan Cinta
35 Bab 34: Langkah Baru Bersama Zafran
36 Bab 35: Taman Kota
37 Bab 36: Kabar Duka
38 Bab 37: Langkah Baru Zahra
39 Bab 38: Pertemuan Singkat, Kenangan Panjang
40 Bab 39: Kebahagiaan di Hari Pernikahan
41 Bab 40: Harapan di Tengah Kehidupan Baru
42 Bab 41: Menatap Hari Esok
Episodes

Updated 42 Episodes

1
Bab 1: Cahaya di Tengah Kerumitan
2
Bab 2: Patah dan Dilema
3
Bab 3: Antara Hati dan Tradisi
4
Bab 4: Jalan yang Terjal
5
Bab 5: Rasa yang Terpendam
6
Bab 6: Pilihan di Ujung Jalan
7
Bab 7: Titik Temu di Persimpangan
8
Bab 8: Gemuruh di Balik Pintu
9
Bab 9: Langkah di Atas Api
10
Bab 10: Langkah di Persimpangan
11
Bab 11: Atap Dalam Kebisuan
12
Bab 12: Langkah Baru
13
Bab 13: Jalan yang Tak Terduga
14
Bab 14: Titik Balik
15
Bab 15: Keteguhan Hati
16
Bab 16: Ketulusan di Tengah Badai
17
Novel: Jodoh Jalur Ummi
18
Bab 17: Ombak di Tengah Layar
19
Bab 18: Badai di Tengah Tenang
20
Bab 19: Titik Balik
21
Bab 20: Menentukan Hari Bahagia
22
Bab 21: Langkah Awal Menuju Mimpi
23
Bab 22: Hari yang Ditunggu
24
Bab 23: Menapak Jejak Baru
25
Bab 24: Memperkuat Ikatan
26
Bab 25: Keindahan Cinta dalam Setiap Langkah
27
Bab 26: Kejutan-kejutan Kehamilan Zahra
28
Bab 27: Kejutan-kejutan Zahra yang Manis
29
Bab 28: Kegembiraan dan Tantangan Baru
30
Bab 29: Ketegangan Menjelang Kelahiran
31
Bab 30: Kelahiran yang Dinanti
32
Bab 31: Menapaki Langkah Baru
33
Bab 32: Cinta yang Tumbuh di Pesantren
34
Bab 33: Merawat Zafran dengan Cinta
35
Bab 34: Langkah Baru Bersama Zafran
36
Bab 35: Taman Kota
37
Bab 36: Kabar Duka
38
Bab 37: Langkah Baru Zahra
39
Bab 38: Pertemuan Singkat, Kenangan Panjang
40
Bab 39: Kebahagiaan di Hari Pernikahan
41
Bab 40: Harapan di Tengah Kehidupan Baru
42
Bab 41: Menatap Hari Esok

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!