Netha Putri, wanita karir yang terbangun dalam tubuh seorang istri komandan militer, Anetha Veronica, mendapati hidupnya berantakan: dua anak kembar yang tak terurus, rumah berantakan, dan suami bernama Sean Jack Harison yang ingin menceraikannya.
Pernikahan yang dimulai tanpa cinta—karena malam yang tak terduga—kini berada di ujung tanduk. Netha tak tahu cara merawat anak-anak itu. Awalnya tak peduli, ia hanya ingin bertanggung jawab hingga perceraian terjadi.
Sean, pria dingin dan tegas, tetap menjaga jarak, namun perubahan sikap Netha perlahan menarik perhatiannya. Tanpa disadari, Sean mulai cemburu dan protektif, meski tak menunjukkan perasaannya.
Sementara Netha bersikap cuek dan menganggap Sean hanya sebagai tamu. Namun, kebersamaan yang tak direncanakan ini perlahan membentuk ikatan baru, membawa mereka ke arah hubungan yang tak pernah mereka bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sean Pulang
Pagi yang cerah menyapa. Seperti biasa, Netha memulai rutinitas paginya bersama El dan Al. Setelah olahraga dan sarapan, mereka bersiap-siap untuk perjalanan ke mini zoo. Hari ini adalah hari spesial karena Netha telah merencanakan kegiatan seru untuk mereka bertiga.
“Cepat pakai sepatu kalian,” ujar Netha sambil memeriksa tas yang sudah ia siapkan. Di dalamnya ada baju renang baru, handuk, dan beberapa camilan favorit anak-anak.
“Mini zoo itu apa sih, Ma?” tanya Al dengan wajah penuh rasa ingin tahu.
“Mini zoo itu tempat di mana ada banyak binatang. Kalian bisa melihat mereka dari dekat, bahkan mungkin menyentuh beberapa,” jawab Netha sambil tersenyum.
“Terus ada apa lagi di sana?” Al terus bertanya.
Netha terkekeh, mengacak rambutnya. “Ada wahana bermain dan kolam renang. Makanya kita bawa baju renang, kan?”
El, yang lebih tenang dibanding Al, hanya tersenyum kecil sambil memperhatikan obrolan mereka. Meski ia tidak banyak bertanya, antusiasmenya terlihat dari matanya yang berbinar.
Mereka masuk ke mobil dan melaju ke arah mini zoo. Al terus berbicara sepanjang perjalanan, bertanya ini dan itu, sementara El sesekali menyela dengan jawaban yang lebih logis. Netha hanya tersenyum menikmati kebersamaan mereka.
Di sisi jalan yang lain, Sean baru saja kembali dari misinya yang panjang. Ia meminta bawahannya, Niko, untuk berhenti sebentar di sebuah toko.
“Niko, beli dua mainan buat anak-anak. Yang satu pilihkan untuk Al, yang satu untuk El,” perintah Sean sambil duduk di mobil, menunggu. Niko mengangguk cepat dan bergegas ke dalam toko.
Kini, pikirannya dipenuhi dengan bayangan wajah kedua anaknya, El dan Al. “Apa kabar mereka sekarang? Bagaimana keadaan mereka selama aku pergi? Apa Netha benar-benar menjaga mereka dengan baik, atau malah sebaliknya?” pikir Sean sambil menyandarkan tubuhnya di pintu mobil.
Ketika pandangannya menyapu jalan di depannya, ia melihat sebuah mobil melintas. Mobil itu tampak sangat familiar, seperti milik Netha. Sean menyipitkan mata, mencoba memastikan.
“Apa itu mobil di rumah? Tapi kenapa di sini? pikirnya lagi, hatinya sedikit tergelitik. Namun, ia segera menepis keraguannya. Ah, mungkin aku salah lihat. Mobil itu bukan cuma satu di dunia ini. Tapi tidak mungkin. Mungkin aku hanya terlalu lelah dan salah lihat,” pikir Sean, mencoba menepis perasaannya.
Namun, bayangan itu tetap muncul di benaknya. Kalau itu benar mobil di rumah, Netha sedang pergi ke mana? Dengan siapa dia pergi?
Lamunan Sean terhenti saat Niko kembali, membawa dua kotak mainan dengan wajah puas. “Ini, Komandan. Saya pilihkan yang terbaik untuk mereka.” ucapnya sambil menyerahkan mainan itu pada Sean.
Sean mengangguk, menerima mainan itu dan memasukkannya ke kursi belakang. “Ayo, kita pulang.”
Niko menarik napas dalam, mencoba menyusun kata-katanya. Ia sudah lama mengenal Sean, baik sebagai komandan maupun sebagai seorang pria. Ia tahu bagaimana pernikahan Sean selama ini, dingin, hambar, dan nyaris tanpa komunikasi yang baik.
Namun, ia tetap merasa berat melihat pernikahan itu berakhir. Bukan karena ia membela Netha, tetapi karena Niko tahu bahwa Sean sebenarnya pria yang setia, meskipun Netha tak pernah memperlihatkan ketertarikan atau rasa sayangnya.
Bagaimana mungkin wanita itu bisa acuh kepada pria seperti Komandan? Tampan, gagah, punya masa depan cerah. Memang dia sedikit keras kepala, dan dingin, tapi siapa yang nggak mau pria seperti itu? pikir Niko sambil mendesah pelan.
Di perjalanan, Niko memecah keheningan dengan nada santai. “Komandan, jadi... apakah keputusan cerai itu sudah benar-benar mantap?”
Sean menghela napas panjang sebelum menjawab, “Ya, Niko. Ini yang terbaik untuk semua pihak.”
Niko melirik Sean dari sudut mataNya, ragu-ragu sejenak sebelum melanjutkan, “Tapi Komandan, enam tahun menikah itu bukan waktu yang singkat. Apakah tidak ada cara lain untuk memperbaikinya?”
Sean tersenyum tipis, tapi ada kelelahan di matanya. “Perbaiki apa, Niko? Dari awal, pernikahan ini sudah tidak punya pondasi. Aku menikahinya karena tanggung jawab, bukan cinta. Dia juga tidak pernah benar-benar ingin menjadi bagian dari keluarga ini. Bagaimana aku bisa memperbaiki sesuatu yang bahkan tidak ingin diperbaiki oleh salah satu pihak?”
Niko terdiam, mencoba memahami sudut pandang Sean. Namun, ia tetap merasa ada hal yang belum disampaikan.
Niko mengangguk pelan. “Saya mengerti, Komandan. Tapi, bagaimana dengan El dan Al? Apakah mereka siap menerima kenyataan ini?”
Sean menghela napas panjang. “Itu yang paling sulit. Aku tahu mereka mungkin belum siap. Tapi aku juga tidak bisa terus mempertahankan sesuatu yang tidak lagi berjalan.”
Niko menatap Komandannya dengan penuh simpati. “Saya hanya berharap keputusan ini adalah yang terbaik untuk semuanya.”
Sementara itu, Niko melirik Sean yang tampak tenggelam dalam pikirannya. Komandan ini memang keras kepala. Saya tahu dia tidak menikahi Ibu Netha karena cinta, tapi enam tahun itu waktu yang panjang. Anak-anak mereka sudah besar, dan saya yakin mereka sangat membutuhkan figur kedua orang tua.
Ia menghela napas pelan. Tapi di sisi lain, Ibu Netha yang terlihat cuek, bahkan tidak peduli dengan anak-anaknya. Kalau memang perceraian ini yang terbaik, mungkin itu jalan yang harus diambil. Tapi tetap saja, sulit untuk tidak merasa sayang.
“Komandan,” ujar Niko lagi, mencoba mencairkan suasana.
“Hm?” sahut Sean tanpa menoleh.
“Kalau saya boleh bertanya... kenapa selama ini Komandan tidak pernah tertarik pada wanita lain? Banyak sekali wanita di unit kita yang menyukai Anda. Anda tahu itu, kan?”
Sean terkekeh, meskipun suaranya terdengar getir. “Aku tidak tertarik. Mereka semua... tidak cocok. Aku hanya ingin fokus pada pekerjaanku dan anak-anakku. Itu sudah cukup.”
Niko tersenyum tipis, mengangguk pelan. “Komandan memang orang yang luar biasa. Saya berharap apa pun keputusan Anda nanti, itu yang terbaik untuk semua.”
“Terima kasih, Niko,” jawab Sean singkat.
Mobil mereka terus melaju menuju rumah, membawa mereka kembali ke kenyataan yang harus dihadapi.
📍Sean Tiba di Rumah
Sean menghentikan mobilnya di depan rumah. Matanya menyipit, memperhatikan bangunan yang seharusnya sangat familiar, tapi kini tampak begitu berbeda.
“Komandan, ini benar rumah Anda?” tanya Niko, terdengar ragu. Ia menatap taman yang kini tertata rapi dengan bunga-bunga berwarna-warni dan pohon tabebuya yang sedang berbunga.
Sean mengerutkan dahi. “Ya, ini seharusnya rumahku.”
Namun, keraguan menyelimuti pikirannya. Rumah itu jauh berbeda dari yang terakhir ia lihat sebelum berangkat misi. Dulu, halaman rumahnya tampak berantakan, hanya ada beberapa pot tanaman yang jarang dirawat. Tapi sekarang, suasananya asri, sejuk, dan menyenangkan.
Niko melirik Sean, lalu kembali menatap rumah itu. “Komandan, mungkin Anda salah berhenti. Harusnya kita cek lagi alamatnya.”
Sean menggeleng. “Ini rumahku. Aku yakin.”
Namun, keheranan tetap tak hilang dari wajahnya. Sean turun dari mobil, berjalan perlahan menuju pagar. Niko mengikutinya dari belakang.
“Kita pastikan saja,” ujar Sean, memutar kunci pagar dan membuka pintu depan.
Setelah memastikan bahwa rumah itu memang miliknya, Sean berkata, “Niko, kau kembali saja ke markas. Kita libur seminggu, gunakan waktumu dengan baik.”
Niko mengangguk pelan, masih tampak sedikit bingung. “Baik, Komandan. Kalau begitu, saya pamit dulu. Kalau ada apa-apa, kabari saya.”
Sean mengangguk sambil mengantar Niko keluar. Begitu bawahannya pergi, ia kembali masuk ke rumah, perasaan campur aduk menguasai dirinya.
Begitu pintu terbuka, aroma wangi lembut langsung menyambut mereka. Sean melangkah masuk, matanya menyapu ruang tamu yang kini terlihat berbeda. Dindingnya bersih, furnitur tertata rapi, dan suasananya terasa hangat serta nyaman. Bahkan ada pot tanaman kecil di atas meja, memberikan sentuhan yang menyenangkan.
Sean meletakkan dua kotak mainan yang ia beli di meja ruang tamu. “El, Al!” panggilnya, suaranya menggema di rumah yang sepi.
Tidak ada jawaban. Ia memeriksa kamar anak-anak lagi, lalu kamar utama. Tapi semuanya kosong. Ia mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi Netha.
“Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif.”
Sean mengerutkan kening. Ke mana mereka pergi? pikirnya, sambil berjalan ke garasi. Mobil Netha juga tidak ada di sana.
Jadi, tadi aku memang melihat mobilnya di jalan? pikir Sean.
Ia mencoba menenangkan dirinya. Mungkin Netha membawa mereka jalan-jalan. Mereka akan pulang nanti.
Sean kembali ke ruang tamu dan duduk di sofa. Matanya menyapu sekeliling, memperhatikan detail perubahan rumahnya. Cat dinding yang bersih, lampu gantung yang terpasang dengan sempurna, bahkan ada beberapa foto El dan Al dalam bingkai kecil di atas meja.
Apakah ini semua kerja Netha? Jika iya, kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi selama aku pergi?
Sean merebahkan tubuhnya di sofa. Kelelahan akibat perjalanan panjang dan misi yang berat mulai terasa. Ia menatap langit-langit sambil mencoba mengatur pikirannya.
Setidaknya, El dan Al terlihat mendapatkan perhatian yang lebih baik. Itu hal yang bagus. Tapi... kenapa aku merasa ada sesuatu yang berbeda?
Sean akhirnya memejamkan mata, membiarkan rasa kantuk menguasainya. Ia tertidur, menunggu Netha dan anak-anak pulang, dengan berbagai pertanyaan yang terus berputar di kepalanya.