Shereny Claudine, seorang perempuan mandiri dan tegas, terpaksa mencari pekerjaan baru setelah putus dari kekasihnya yang berselingkuh serta kepergian ibunya. Tak ingin bergantung pada siapa pun, ia melamar sebagai pengasuh (baby sitter) untuk seorang anak laki-laki berusia 5 tahun bernama Arga. Tak disangka, ayah dari Arga adalah Elvano Kayden, pria arogan dan kaya raya yang pernah bertemu dengannya dalam situasi yang tidak menyenangkan. Elvano, seorang pengusaha muda yang dingin dan perfeksionis, awalnya menolak keberadaan Shereny. Menurutnya, Shereny terlalu keras kepala dan suka membantah. Namun, Arga justru menyukai Shereny dan merasa nyaman dengannya, sesuatu yang sulit didapat dari pengasuh sebelumnya. Demi kebahagiaan anaknya, Elvano terpaksa menerima kehadiran Shereny di rumah mewahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Larasati Pristi Arumdani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 : Mencoba Menerima
Shereny menatap wajah Elvano dengan penuh rasa sakit. Ia masih tak menyangka bahwa apa yang dikatakan Elvano itu benar, namun faktanya sangat menyakitkan dirinya. Bagaimanapun ia tak memiliki orang yang ia cintai selain Elvano. Bahkan ia hanya membagi hatinya hanya untuk suaminya dan anak-anaknya. Ia sangat menyayangi Arga meskipun Arga bukanlah anak yang lahir dari rahimnya.
"Siapa aku di matamu?" Tanya Shereny dengan suara yang pecah karena menahan tangis.
"Sayang, kamu tetap istriku yang sangat aku cintai. Aku tidak bermaksud membuatmu sedih." Bujuk Elvano. Shereny mengangguk dan air matanya terjatuh. Ia pergi begitu saja dan meminta Pak Halim mengantarnya.
"Sayang, kamu mau kemana? Aku saja yang antar ya. Agar aman." Pinta Elvano. Shereny menggelengkan kepala "Jaga anak-anak. Aku ada urusan. Pak Halim akan menjagaku, bagaimanapun beliau sudah menemani kamu dan Fahira bertahun-tahun." Ucapnya dengan wajah datar dan ia masuk ke dalam mobilnya. Pak Halim pun berpamitan dengan Elvano dan membawa Shereny pergi.
Pak Halim melihat Shereny tampak sedih sambil memandangi pemandangan jalan raya. "Nyonya, apakah anda yakin ingin ke makam mendiang istri tuan?"
"Saya belum menyapanya pak." Ucapnya dengan tatapan yang sama. Pak Halim menghela nafas dan berusaha tak mengajukan pertanyaan lebih lanjut.
Shereny melangkah perlahan di sepanjang jalan setapak menuju makam mendiang Fahira, istri Elvano. Di tangannya, dia membawa bucket bunga yang cantik, dihiasi dengan berbagai jenis bunga segar yang berwarna-warni. Setiap langkahnya terasa berat, tetapi dia tahu bahwa ini adalah langkah penting untuk menghormati kenangan yang telah pergi.
"Aku harus melakukan ini," pikir Shereny, berusaha menenangkan diri. Meskipun perasaannya campur aduk—cemburu, sedih, dan bingung—dia ingin menunjukkan rasa hormatnya kepada Fahira. "Dia adalah bagian dari hidup Elvano, dan aku ingin menghargai itu."
Saat mendekati makam, Shereny merasakan angin sepoi-sepoi yang lembut. Dia berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam, dan melihat sekeliling. Suasana tenang di sekitar makam memberikan sedikit ketenangan di hatinya. Dia tahu bahwa ini adalah tempat di mana Elvano pernah menghabiskan banyak waktu untuk mengenang istrinya.
Setelah sampai di depan makam, Shereny menatap batu nisan yang sederhana namun elegan. Nama Fahira terukir di sana, dan di bawahnya terdapat tanggal lahir dan tanggal meninggal. Melihatnya membuat hati Shereny bergetar. "Dia pasti sangat dicintai," pikirnya, merasakan betapa dalamnya cinta yang dimiliki Elvano untuk Fahira.
Dengan lembut, Shereny meletakkan bucket bunga di atas makam. "Ini untukmu, Fahira. Semoga kamu beristirahat dengan tenang," ucapnya, suaranya bergetar. Dia memilih bunga-bunga yang cerah, berharap bisa membawa sedikit keindahan dan keceriaan ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Setelah meletakkan bunga, Shereny duduk di samping makam, merasakan kehadiran yang tenang. Dia ingin berbicara, meskipun tahu bahwa Fahira tidak bisa mendengarnya. "Aku ingin kamu tahu bahwa aku berusaha untuk mencintai Elvano dengan sepenuh hati. Aku tidak ingin menjadi bayang-bayang masa lalunya," ungkapnya, jujur tentang perasaannya.
Shereny menutup matanya sejenak, membiarkan air mata mengalir. "Aku cemburu, tetapi aku juga ingin menghormati semua yang telah kamu berikan untuknya," lanjutnya, merasakan beban di hatinya sedikit lebih ringan. "Aku berharap kita bisa saling menghormati, meskipun kita berada di dunia yang berbeda."
Setelah beberapa saat, Shereny merasa lebih tenang. Dia tahu bahwa mengunjungi makam Fahira adalah langkah penting dalam proses penerimaannya terhadap masa lalu Elvano. "Aku akan berusaha untuk tidak membiarkan perasaan cemburu menguasai diriku," pikirnya, bertekad untuk melanjutkan hidup dengan penuh cinta dan pengertian.
Dengan satu terakhir tatapan pada makam, Shereny berdiri dan mengusap air mata di pipinya. "Selamat tinggal, Fahira. Terima kasih telah menjadi bagian dari hidup Elvano. Aku akan menjaga cintanya dan berusaha untuk menciptakan kenangan baru bersamanya," ucapnya, sebelum berbalik dan melangkah pergi.
Di dalam mobil menuju perjalanan pulang, Pak Halim berusaha membuka pembicaraan, "Bagaimana perasaan Anda, nyonya?"** tanya Pak Halim dengan suara lembut, berusaha mencairkan suasana. Dia sudah mengenal Shereny cukup baik dan tahu bahwa kunjungan ke makam bisa menjadi momen yang emosional.
Shereny menoleh ke arah Pak Halim, tersenyum kecil meskipun hatinya masih terasa berat. "Aku merasa lebih baik setelah mengunjunginya," jawabnya, berusaha jujur.
Pak Halim mengangguk, memahami betapa sulitnya situasi yang dihadapi Shereny. "Itu langkah yang baik, Nyonya. Fahira pasti akan menghargai itu," ucapnya, berusaha memberikan dukungan.
Pak Halim merasa Shereny merupakan istri yang sabar dan baik. Ia sangat menghargai Elvano.
"Saya juga pernah melakukan kesalaha sebagai laki-laki, Nyonya." Ucapnya. "Hati istri saya begitu lembut hingga memaafkan saya. Padahal mungkin saja dia bisa marah seakan ingin membunuh saya."
Shereny tertawa ringan, merasakan kedekatan yang lebih dalam dengan Pak Halim. "Saya rasa setiap orang pernah melakukan kesalahan, Pak. Yang terpenting adalah bagaimana kita belajar dari kesalahan itu," ucapnya, setuju dengan pandangan Pak Halim.
"Betul sekali," jawab Pak Halim, mengangguk. "Istri saya selalu mengingatkan saya bahwa cinta sejati adalah tentang pengertian dan memaafkan. Tanpa itu, hubungan tidak akan bertahan."
Shereny merenungkan kata-kata itu. "Saya ingin bisa menjadi istri yang baik bagi Elvano, seperti yang dilakukan istri Bapak. Meskipun kadang sulit, saya berusaha untuk memahami dan mendukungnya," ungkapnya, merasa terinspirasi oleh cerita Pak Halim.
Pak Halim tersenyum, merasa bangga bisa berbagi pengalaman. "Nyonya, Anda sudah berada di jalur yang benar. Cinta dan pengertian adalah fondasi yang kuat untuk sebuah hubungan. Jangan ragu untuk berbicara dan berbagi perasaan Anda dengan Tuan," sarannya, memberikan dukungan.
"Saya akan ingat itu, Pak Halim. Terima kasih atas nasihatnya," jawab Shereny, merasa lebih percaya diri. Dia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi dengan dukungan dari orang-orang di sekitarnya, dia yakin bisa menghadapi tantangan yang ada.
Saat mobil melaju di jalanan yang familiar, Shereny merasa lebih tenang. Percakapan dengan Pak Halim telah memberinya perspektif baru dan semangat untuk terus berjuang demi kebahagiaan mereka. Shereny tersenyum dan melihat langit yang cukup indah.
"Pak Halim, apakah Pak Halim bisa menjaga rahasia?" tanyanya dengan nada serius, namun masih ada keinginan untuk berbagi.
Pak Halim tersenyum dan mengangguk. "Tentu, Nyonya. Saya yakin suami istri pasti memiliki rahasia yang tak perlu dibicarakan," jawabnya, memberikan rasa percaya diri kepada Shereny.
Dengan sedikit keraguan, Shereny melanjutkan, "Tolong antarkan saya ke sungai dekat kota itu." Dia tahu permintaannya mungkin terdengar aneh, tetapi dia merasa perlu untuk sejenak menjauh dari semua yang terjadi dan merenungkan perasaannya.
Pak Halim pun menurutinya tanpa bertanya lebih lanjut. Ia memahami bahwa kadang-kadang seseorang perlu waktu untuk diri sendiri.
Setibanya di tepi sungai, Shereny membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Dia menyandarkan tubuhnya yang cantik pada mobil mewahnya, merasakan angin sepoi-sepoi yang menyentuh kulitnya. Suasana tenang di sekitar sungai memberikan ketenangan yang dia butuhkan.
Dengan perlahan, Shereny mengeluarkan satu batang rokok dari saku jaketnya dan menyalakannya. Asap yang mengepul ke udara seolah menggambarkan ketegangan dan pikiran yang berkecamuk di dalam hatinya. Dia tahu bahwa merokok bukanlah kebiasaan yang baik, tetapi saat ini, dia merasa butuh pelarian sejenak.
Pak Halim, yang merasa perlu memberikan ruang bagi Shereny, kembali masuk ke dalam mobil. Dia duduk di dalam dengan tenang, memberikan privasi yang dibutuhkan Shereny untuk merenung.