“Tega kau Mas! Ternyata pengorbanan ku selama ini, kau balas dengan pengkhianatan! Lima tahun penantianku tak berarti apa-apa bagimu!”
Nur Amala meremat potret tunangannya yang sedang mengecup pucuk kepala wanita lain, hatinya hancur bagaikan serpihan kaca.
Sang tunangan tega mendua, padahal hari pernikahan mereka sudah didepan mata.
Dia tak ubahnya seperti 'Habis manis sepah di buang'.
Lima tahun ia setia menemani, dan menanti sang tunangan menyelesaikan studinya sampai menjadi seorang PNS. Begitu berhasil, dia yang dicampakkan.
Bukan hanya itu saja, Nur Amala kembali dihantam kenyataan pahit. Ternyata yang menjadi selingkuhan tunangannya tidak lain ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33
Napas Hendi memburu, sorot matanya sudah berkabut gai rah. Dia melangkah cepat mengikis habis jarak, tangannya terulur hendak memeluk Amala dari belakang ….
Namun, sang wanita menekuk kedua lututnya, lalu menyundul kan kepala layaknya pemain bola, menghantam kuat rahang bawah Hendi.
BUGH.
Belum sempat Hendi bereaksi. Si wanita kembali menarik kuat kedua tangan Hendi ke sisi bahunya sampai badannya terangkat, secepat kilat membanting tubuh pria berkaos putih itu layaknya menjatuhkan karung gandum.
BUGH.
Punggung Hendi menghantam kerasnya lantai papan.
“Tolong!”
“Tolong!”
Hendi berteriak meminta tolong, ia meraung kesakitan, mulutnya berdarah akibat rahang atas dan bawah saling beradu. Pria mengenaskan itu bagaikan Ikan menggelepar kekurangan oksigen, badannya remuk redam.
“Si_apa kau?" tanyanya, terkapar di lantai sambil menahan sakit, menatap lemah wanita berparas tegas yang berdiri menjulang di atas nya.
“Kau tak perlu tahu siapa aku! Yang jelas, bila dalam hitungan ke 5 kau tak menyingkir dari sini, siap-siap namamu tertulis di batu nisan!” Wanita itu bersedekap, menatap tanpa ekspresi raut Hendi. “Satu … dua_”
Nyali Hendi menciut, tatapan wanita sangar dihadapan ini sungguh mengerikan. Sambil menahan sakit yang luar biasa, ia berusaha bangkit. Naas ... badannya tak bisa di ajak kerjasama. Berakhir si Hendi ngesot sampai mencapai dinding barulah berdiri.
Hendi melangkah bagaikan orang mabuk, seakan-akan tak berpijak di bumi.
Bruk.
ARGH.
Akibat pandangannya yang berkunang-kunang, Hendi tak menyadari ada batas ruang tamu dengan dapur yang lebih rendah. Berakhir dirinya terjungkal.
"Ja hannam! Hantu Belawu!" umpatnya, berusaha bangkit lagi, dan kembali melangkah. Betapa bodohnya dia yang tak memperhatikan langkah sampai kakinya melewati satu undakan tangga dan berakhir badannya tersungkur, mukanya menghantam batu krikil.
Argh.
“Sialan! Enyah kau tangga jelek! Awas saja! Bakalan ku gergaji nanti!” makinya tak berkesudahan. Hendi terseok-seok mendekati motornya, tubuhnya babak belur, wajahnya penuh goresan batu tajam, gigi nya ngilu luar biasa, ia meludah darah.
Setelahnya Hendi memacu motor, menekan penuh gas tangan, hampir saja ia menabrak pohon kelapa.
“Ha ha ha … ya Tuhan, perut ku sakit sekali. Sampai rasanya mau kencing di celana aku ini!” Dhien menjatuhkan dirinya di tanah, memegangi perutnya yang terasa keram akibat tawa membahana.
"Ha ha ha," tawa Amala akhirnya keluar jua, ia begitu geli melihat si Hendi yang membungkuk-bungkuk menahan sakit.
“Dia itu laki-laki atau banci sih, Mala? Masa bergulat dengan wanita baru beberapa menit sudah kalah! Aku yakin kalau Hendi tak terluka, sudah pasti dia lari tunggang-langgang bagai dikejar Anjing gila … ha ha ha!” Dhien belum bisa berhenti tertawa.
Amala menyeka sudut matanya yang yang berair. “Tak tau lah! Laki-laki seperti dia hanya pandai membual, kalau soal tenaga … kurasa kau lebih kuat Dhien.”
“Ayo kita temui Kak Septi!” Amala menarik pergelangan tangan Dhien. Mereka keluar dari persembunyian di balik kandang Kambing.
SEBELUMNYA.
Kelanjutan percakapan Amala dan Bang Agam melalui sambungan telepon.
Agam: “Apa yang bisa saya bantu Nur?”
Amala: “Nur ingin minta tolong, agar Abang membantu membuka kedok si Hendi!”
Agam tersenyum begitu hangat, saat Amala tak ada menambahkan panggilan untuk Hendi. Berarti gadis itu sudah tak lagi menganggap sang tunangan sebagai seseorang yang patut dihormati.
Agam: “Boleh saya tahu? Apa sebab kau mencurigai calon suamimu itu?” Agam menahan rasa muak kala menyebut calon suami.
Amala: “Entahlah Bang, hanya saja hati ini meyakini kalau dia bukanlah orang baik. Lagi pula beberapa malam ini … Nur bermimpi didatangi almarhum Bapak, Beliau berdiri di depan rumah Hendi, seolah hendak memberi petunjuk. Namun, sangat sulit mencari tahu belangnya, sehingga Nur nyaris berputus asa. Hendi ternyata tak sesederhana yang kami kira, dia licin seperti Belut.”
Amala menyeka sudut matanya, tanpa disadari olehnya, untuk pertama kalinya ia mau berbagi cerita hal yang begitu pribadi.
Agam memejamkan matanya guna meresapi rasa hangat yang menelusup ke relung hatinya. Ini yang ia tunggu sedari lama … Nur datang kepadanya, berkeluh kesah, berbagi suka-duka, memintanya terlibat dalam kehidupan pribadi gadis itu.
Agam: “Nur … maukah kau berjanji? Berhati-hati lah selalu! Tidak boleh bertindak sendirian! Harus menurut skenario yang saya rancang! Bisa kah …?”
Amala mengangguk, tak sadar kalau hal itu tidak bisa dilihat oleh bang Agam.
Agam: “Nur … Apa kau keberatan?” tanyanya kala tak mendapatkan jawaban.
Amala: "Nur setuju, sedari tadi sudah mengangguk-angguk mengiyakan."
Agam: Saya tak bisa melihat anggukan mu Nur, hanya bisa membayangkannya saja.
Amala: Oh iya … kita ‘kan, lagi bersuara melalui udara ya, maaf bang,” ujarnya malu.
Agam begitu gemas merasakan keluguan Amala, ia sampai menggigit pipi bagian dalam agar tak tertawa. Setelah memastikan Amala paham dan menurut, panggilan itu pun diputus.
.
.
Zikri membawa Nur Amala masuk ke bangunan ruko kosong milik bang Agam. Di dalam sudah ada dua orang yang menunggu.
“Amala ... perkenalkan! Ini Septiana, dan rekannya Galang. Mereka yang akan membantu kita nanti,” Zikri memperkenalkan dua orang tenaga profesional semacam detektif sekaligus ahli bela diri yang sudah lama bekerja sama dengan Agam.
Amala pun menyalami kak Septi, yang postur tubuhnya hampir sama dengan dirinya. Lalu menangkupkan tangan ke arah bang Galang.
“Nona Amala, apa anda memiliki baju yang sama persis atau baju kembar?” tanya Septi.
“Maaf, tolong panggil nama saja ya Kak,” pintanya merasa risih dengan panggilan ‘Nona’. Septi pun mengangguk.
“Saya punya pakaian yang sama,” jawabnya, ia ingat pada tiga seragam baju lebaran tahun kemarin yang dijahitnya sendiri.
Terjadilah skenario menipu Hendi, Amala juga mendengar rekaman percakapan Hendi dan keluarganya yang ingin menjebak dirinya.
Septi dan Galang sudah menyelidiki Hendi sedari Amala baru saja bertunangan dengan laki-laki tak bermoral itu. Mereka bergerak dalam senyap dan telah mengantongi banyak bukti.
Sampai di rumah, Amala memberikan baju milik Mak Syam kepada Zikri.
Dua hari setelahnya, waktu itu pun tiba. Benar Hendi bertemu Amala, tetapi setelah duda itu pergi membeli rokok. Amala berlari ke kandang Kambing belakang rumahnya, barang bawaannya sudah diambil alih oleh Septiana. Dhien menemani Amala bersembunyi, ia tak sabar menyaksikan pertunjukan seru.
Septiana menyamar menjadi Amala, sengaja tak mengunci pintu.
***
"Kak Septi, terima kasih sudah menolong saya,” ucap Amala dengan gesture sedikit menunduk.
“Sama-sama, Mala. Kau tenang saja, saya pastikan dalam tiga hari ini si Hendi tak bisa beraktifitas normal. Sehingga esok malam … rencana yang sudah kita atur pasti berhasil,” ujarnya yakin, ia sengaja tidak membuat Hendi sekarat. Semua itu demi melancarkan misi utama mereka.
Selepas kepergian Septi yang di jemput Galang. Amala terduduk di sofa ruang tamu, ia menutup mata dengan tangan terlipat di atas perut. Dalam hati mengucapkan beribu puji syukur, Allah telah menghindarkan dirinya dari perbuatan bejat Hendi.
Seandainya saja niat buruk Hendi terlaksana, hanya ada dua kemungkinan yang akan dipilih Amala; Menjadi tersangka setelah membunuh Hendi, atau mati terbunuh demi mempertahankan kehormatannya!
“Dhien … tolong besok malam, kau selalu berada didekat Mamak, ya? Jangan sampai beliau pingsan seperti waktu dulu,” pinta Amala sungguh-sungguh. Karena apa yang akan dilakukan esok malam, lebih sadis dari sewaktu membongkar perselingkuhan Yasir dengan Nirma.
“Mending cuma pingsan, macam mana kalau langsung beda alam, Mala ...?”
.
.
Bersambung.
bu bidan mati kutu
karya ini luar biasa