Mungkin ada banyak sekali gadis seusianya yang sudah menikah, begitulah yang ada dibenak Rumi saat ini. Apalagi adiknya terus saja bertanya kapan gerangan ia akan dilamar oleh sang kekasih yang sudah menjalin hubungan bersama dengan dirinya selama lima tahun lamanya.
Namun ternyata, bukan pernikahan yang Rumi dapatkan melainkan sebuah pengkhianatan yang membuatnya semakin terpuruk dan terus meratapi nasibnya yang begitu menyedihkan. Di masa patah hatinya ini, sang Ibu malah ingin menjodohkannya dengan seorang pria yang ternyata adalah anak dari salah satu temannya.
Tristan, pewaris tunggal yang harus menyandang status sebagai seorang duda diusianya yang terbilang masih duda. Dialah orang yang dipilihkan langsung oleh Ibunya Rumi. Lantas bagaimana? Apakah Rumi akan menerimanya atau malah memberontak dan menolak perjodohan tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon safea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 10
Semua buku yang sempat dibawanya kini sudah kembali tersusun dengan rapi di tempat yang memang seharusnya, gadis itu lantas beranjak untuk kembali menuju meja kerjanya sendiri sembari bersenandung kecil. Nampaknya suasana hatinya sedang bagus siang ini.
Pukul dua belas tepat, Rumi baru saja menyusun meja kerjanya hingga kini tertata dengan sangat rapi sehingga enak untuk dipandang. Baiklah, kalau begitu Rumi sudah bisa pulang sekarang.
Kalau biasanya akan ada beberapa rekan kerjanya yang tertinggal, maka hari ini mereka semua seolah berlomba-lomba untuk pulang cepat entah karena alasan apa. Rumi pun tidak mengerti sama sekali.
Ah sudahlah, lebih baik sekarang ia keluar lalu memesan ojek daring melalui ponselnya karena hari ini ia menolak tawaran Rafka yang ingin menjemputnya. Sekali-sekali Rumi juga ingin pulang sendiri soalnya.
Fokus Rumi yang tadinya terpaku pada layar ponsel kini beralih pada sosok gadis kecil di ujung lorong sana. Itu bukan salah satu muridnya, Rumi sangat yakin dengan hal itu. Namun bukan berarti Rumi akan diam saja dan meninggalkan anak itu sendirian di sana.
"Halo, kamu belum di jemput ya?" Karena tidak ingin membuat anak ini terkejut, Rumi menggunakan suara yang paling lembut dan juga langsung menundukkan tubuhnya agar si gadis kecil bisa melihat wajahnya dengan jelas.
"Kakak Rumi?" Kebetulan macam apa ini? Dan kenapa pula Rumi baru mengatahui kalau bocah perempuan yang beberapa hari lalu ia temui malah bersekolah di tempatnya mengajar.
"Ya ampun, ternyata Joyie ya ini." Setelah mengetahui siapa gerangan anak itu, Rumi lantas berlutut untuk mensejajarkan tinggi tubuh keduanya.
"Papa belum jemput ya? Eh, Papa atau Oma yang biasanya jemput Joyie ke sekolah?" Rumi sadar perubahan ekspresi wajah Joyie yang saat ini nampak berbinar ketika menatap ke arahnya. Hanya saja Rumi tidak tahu kenapa gadis kecil ini melakukan hal itu.
"Hari ini Daddy yang menjemput, kakak. Tapi sepertinya Daddy lupa kalau saat ini Joyie masih berada di sekolah." Mungkin di awal pertemuan mereka waktu itu, Rumi merasa sedikit aneh ketika mendengar bagaimana cara Joyie berbicara. Tapi ternyata sekarang telinga Rumi cukup terbiasa.
"Kita tunggu Daddy-nya Joyie di luar aja yuk? Kak Rumi temani supaya Joyie nggak bosen." Tak ada yang meminta memang, namun hati kecilnya meminta Rumi untuk melakukan hal itu.
Lantas Rumi menjulurkan telapak tangannya yang terbuka pada Joyie yang langsung dipahami juga oleh anak itu. Dengan tangan yang saling bertautan, Rumi membawa si kecil Joyie menuju luar gedung sekolah dan menunggu jemputan di sana.
"Hm gini aja deh, Joyie ingat nggak nomor hpnya Daddy? Nanti kakak bantu teleponin pakai hpnya kakak." Mereka memang belum sampai di salah satu bangku yang berada di taman bermain sana, namun Rumi langsung menyampaikan apa isi kepalanya saat ini pada Joyie.
"Punya! Tapi ada di dalam tasnya Joyie." Baiklah, kalau begitu izinkan mereka untuk berjalan sedikit lagi dan mencari apa yang telah Rumi minta ketika telah sampai di bangku taman sana.
Sesampainya di sana, Joyie segera melepaskan tas berwarna merah muda itu dari punggungnya. Paham kalau saat ini Joyie sedang kesulitan membuat Rumi langsung bergerak dengan cepat untuk membantu.
"Joyie." Panggilan itu sontak saja membuat kedua perempuan berbeda generasi yang sedang duduk di bangku taman sana langsung menoleh.
Di depan sana terlihat seorang pria bertubuh tinggi dengan setelan pakaian kerjanya sedang berjalan ke arah mereka berdua. Kalau Rumi tidak salah menebak, orang itu pastilah Daddy yang tadi Joyie sebutkan.
"Daddy!" Oh ternyata tebakan Rumi kali ini tepat sasaran, orang itu benar-benar ayahnya Joyie.
"Sayang maaf ya, Daddy terlambat menjemput. Tadi Daddy harus menghadiri rapat penting dulu, maaf karena sudah membuat princessnya Daddy menunggu lama." Sekarang Rumi dibuat mengerti kenapa diumurnya yang masih belia, Joyie malah berbicara dengan begitu formal ditambah lagi dengan bahasa Indonesianya yang masih terkesan kaku dan belum lancar.
"Tidak apa-apa, Daddy. Joyie ditemani oleh kakak Rumi, jadi Joyie tidak takut sama sekali." Meskipun Joyie sudah mengatakan kalau dirinya tidak apa-apa, namun kelihatannya pria ini masih saja merasa bersalah.
Tristan—Ayahnya Joyie pun lantas melemparkan pandangannya ke arah Rumi yang juga sedikit terkejut karena dirinya sejak tadi memperhatikan dalam diam. Rumi jadi seperti seorang maling yang tertangkap basah oleh tetangga sekarang ini.
"Anda guru di sekolah ini?" Pertanyaan itu keluar dari mulutnya Tristan kala melihat lanyard berwarna merah muda yang melingkari leher jenjang Rumi.
Putrinya memang baru dua hari bersekolah di tempat ini, namun Tristan mengetahui dengan pasti kalau lanyard itu hanya digunakan oleh para tenaga pengajar.
"Iya benar Pak. Tapi saya tidak masuk ke kelasnya Joyie, saya bahkan baru tau kalau Joyie pindah sekolah ke tempat saya mengajar." Tristan dibuat tertegun di tempatnya saat mendengar bagaimana lembutnya suara Rumi saat berbicara dengannya. Apa semua guru yang ada di sekolah ini memiliki suara yang lembut seperti ini?
Tapi tunggu dulu, kenapa Joyienya dan juga guru ini terlihat sangat akrab? Dan lagi, kenapa bisa Joyie memanggil orang ini dengan sebutan kakak dan bukannya Miss seperti yang biasa ia lakukan pada gurunya yang lain?
"Kalau anda memang tenaga pengahar di sini, tapi kenapa putri saya memanggil anda dengan sebutan kakak?" Eh? Ternyata Tristan sadar dengar panggilan yang Joyie berikan padanya tadi.
"Sebelumnya saya sudah pernah bertemu dengan Joyie dan juga Ibu anda akhir pekan kemarin. Waktu itu saya membantu Joyie untuk mencari keberadaan tante Lisa karena mereka sempat terpisah." Begitu rupanya. Jadi inikah gadis yang Ibunya sebut sebagai penyelamat beberapa waktu yang lalu?
Orang yang berhasil mendekati Joyie dalam waktu yang sangat singkat, sampai Tristan dibuat bertanya-tanya sendiri seperti apa peri penolong yang Joyie ceritakan padanya.
Penilaian yang sedang Tristan berikan pada Rumi di dalam kepalanya sendiri langsung buyar begitu suara deringan yang cukup keras itu terdengar. Sepertinya ada seseorang entah berantah yang sedang menunggu jawaban dari Tristan saat ini.
"Letakkan saja di atas meja, nanti akan saya periksa setelah kembali." Sepertinya Tristan terlihat sangat sibuk sampai di saat seperti ini pun ia masih diburu oleh pekerjaan.
"Joyie, kita pulang sekarang ya? Setelah ini Daddy masih harus kembali ke kantor, jadi nanti Joyie bermain dengan Oma dulu ya di rumah?" Sebenarnya Joyie masih ingin menghabiskan waktu bersama dengan Rumi—orang yang ia sukai, tapi Joyie juga tidak mau membuat Ayahnya ini kerepotan.
"Iya Daddy." Suaranya terdengar tak seperti biasanya dan hal itu membuat Tristan bisa langsung mengerti kalau Joyie masih ingin berada di sini bersama dengan wanita yang belum Tristan ketahui namanya ini.
"Kakak, Joyie dan Daddy pulang dulu ya! Sampai bertemu besok, Joyie akan cari kakak Rumi besok saat jam istirahat." Lucu sekali, bisa-bisanya anak sekecil itu sudah membuat rencana.
"Boleh, tapi besok jangan panggil kakak Rumi dengan sebutan kakak ya? Tapi harus panggil Miss, karena kakak Rumi juga guru di sekolah ini." Meskipun membutuhkan waktu beberapa lama bagi Joyie untuk bisa memahami ucapan Rumi, namun akhirnya kepala kecil itu mengangguk dengan begitu patuh.
"Kalau begitu saya dan Joyie pergi dulu. Terima kasih karena sudah menemani anak saya hari ini, saya pastikan kalau tidak akan terlambat lagi di hari selanjutnya." Atas dasar kesopanan yang selama ini selalu ia junjung, Tristan pun tidak lupa menyampaikan rasa terima kasihnya pada Rumi sebelum akhirnya benar-benar pergi bersama dengan putri semata wayangnya itu.
Sebelum memasuki mobil pun Joyie masih sibuk menoleh ke arah belakang hanya untuk melambaikan tangannya sembari tersenyum dengan lebar pada Rumi yang juga tengah melakukan hal yang sama.
Karena beradaan Joyie tadi, Rumi jadi melupakan niatnya untuk memesan ojek daring. Tapi kalau tadi ia langsung memesan pun tidak mungkin karena itu artinya ia malah akan meninggalkan Joyie seorang diri di sana.
Berakhir dengan Rumi yang berjalan keluar dari pagar sembari mengoperasikan ponsel pintarnya. Yang tengah gadis itu buka saat ini adalah aplikasi yang memang diperuntukan untuk memesan ojek.
Rumi terlalu fokus sampai ia tidak menyadari kalau sejak tadi ada sepasang mata yang terus saja mengawasi pergerakannya di belakang sana.
"Rumi." Setelah panggilan itu memasuki kedua rungunya, barulah Rumi sadar kalau dia tidak sedang sendirian di trotoar ini sekarang.
Tidak perlu berbalik sama sekali karena Rumi sudah mengetahui siapa gerangan yang memanggil namanya dengan suara yang terdengar frustasi itu. Siapa lagi kalau bukan Digo, mantan kekasih yang sudah bermain gila di belakangnya.
kalau Kaka bersedia follow me ya ..
maka Kaka BS mendapat undangan dari kami. Terima kasih