Menikahi Duda Tampan
Hari masih begitu pagi, bahkan matahari belum keluar sepenuhnya dari persembunyian. Namun hal itu tidak menjadi pengecualian untuk terjadinya keributan di sebuah rumah yang semua penghuninya sedang sibuk dengan urusan masing-masing.
"Bunda, dasinya Rafka yang warna biru dongker dimana ya?" Keributan itu bermula dari salah seorang anggota keluarga paling muda karena ia tidak berhasil menemukan dasinya.
"Kamu ini nyarinya pake mata atau pake mulut sih, dek?" Karena lumayan kesal setelah mendengar suara sang adik yang begitu keras, membuat si sulung lantas turun tangan dan langsung menghampiri lelaki yang saat ini sedang mondar mandir di ruang tamu sana.
"Ya pake mata lah, Mba. Enggak ada loh, coba mba cari kalau nggak percaya sama Rafka," ujarnya saat mengetahui sang kakaklah yang turun tangan kali ini dan bukan Bundanya.
Dengan wajah yang sudah tertekuk, Rumi berjalan menuju kamar Rafka dan yang ia lakukan selanjutnya adalah membuka lemari adik lelakinya yang luar biasa menyebalkan itu. "Kan udah Mba bilang, kalo nyari sesuatu itu pake mata!" Nah kan ternyata Rumi berhasil menemukan benda yang sejak tadi Rafka cari keberadaannya.
"Udah tua tapi masih aja manggilin Bunda." Dasi itu Rumi lemparkan begitu saja pada Rafka yang sekarang justru sedang memasang tampang bodohnya, itu satu-satunya cara agar tidak dimarahi.
"Makasih ya, Mba sayang." Bukannya senang karena mendapatkan panggilan seperti itu, Rumi malah bergidik lalu memilih untuk segera keluar dari kamar Rafka.
Membantu Rafka mencari dasi sudah Rumi lakukan, sekarang ia bisa kembali mengemas beberapa keperluan sebelum berangkat kerja nantinya. Tidak ada yang boleh tertinggal satupun, karena bagi Rumi semua barang itu penting.
"Mba, adek, ayo turun dulu sini. Sarapannya udah jadi." Suara itu seolah menyuruh pasangan kakak beradik yang masih sibuk di atas sana untuk segera turun ke ruang makan, tempat dimana pasutri paruh baya itu sedang menunggu.
"Owow, nasi goreng seafood kesukaan Rafka." Melihat sepiring nasi goreng yang masih mengeluarkan asap di atas meja sana membuat Rafka dengan cepat langsung mendaratkan bokongnya di kursi.
"Gimana adek? Dasinya nemu dimana tadi itu?" Tadi saat Rafka berteriak, Nirma juga bisa mendengarnya dengan begitu jelas meskipun ia sedang berada di dapur sana.
"Ya di lemarinya lah Bun, tempat biasa bunda susun dasinya dia tuh." Niat hati Rafka ingin menjawabnya dengan wajah polosnya, tapi urung karena Rumi lah yang menjawab pertanyaan sang Bunda terlebih dahulu.
"Belajar cari barang yang bener dulu ya adek, baru nanti boleh nikah." Mendengar topik yang sebenarnya jarang keluarganya bicarakan, membuat Rumi yang semula tengah menikmati sarapannya langsung mendongak saat itu juga.
"Apa-apaan nikah, masih kecil dia tuh Bunda." Rumi ini bagaimana sih? Padahal belum ada satu jam setelah ia mengejek Rafka dengan mengatakan kalau adiknya itu sudah tua, tapi lihat sekarang ini, Rumi malah mengatakan kalau Rafka masih kecil.
"Sembarangan, udah dua lima Mba." Decakan keras tak terelakan sama sekali, ditambah lagi dengan wajah Rumi yang nampak tidak terima.
"Kapan sih bahas-bahas nikah? Kok Rumi nggak diajak juga?" Rafka menolak untuk menjawab, pria muda itu malah melemparkan tatapan pada sang Ibu seolah menyuruh beliau untuk menjawabnya.
"Waktu itu adek nanya apa dia udah boleh menikah atau belum. Pertamanya Bunda juga ngira kalau dia tuh lagi bercanda, eh taunya serius." Tatapan tajam pun bisa Rafka rasakan, siapa lagi yang melakukannya kalau bukan Rumi.
"Tapi Mba tenang aja, aku tuh nggak bakalan ngelangkahin Mba kok." Celetukan itu Rafka sampaikan tanpa mau menoleh barang sebentar saja ke arah sang kakak yang masih menatap lurus ke arahnya.
"Mba coba deh sekali-sekali tanya ke Mas Digo kapan mau nikahin Mba, biar aku juga tau harus nunggu berapa lama lagi." Mari berikan apresiasi kepada Rafka karena ia sudah berani berucap seperti itu.
Kedua orang tua mereka saja tidak berani sama sekali loh untuk menyinggung tentang pernikahan pada Rumi, tapi lihatlah si bungsu yang teramat berani ini.
"Ya, nanti ditanyain kalo inget." Sudah cukup, Rumi juga sudah tidak ingin membahas hal ini sama sekali. Lebih baik sekarang ia menghabiskan sarapannya dahulu lalu berangkat kerja sepertu biasanya.
Rumi juga harus tetap menjaga suasana hatinya agar tetap baik sampai di tempat kerja nanti, mengingat kalau dirinya adalah seorang pengajar di salah satu Taman Kanak-Kanak bertaraf Internasional.
Karena pekerjaannya itulah, Rumi dituntut untuk memiliki penampilan yang cerah, ceria dan juga harus selalu tersenyum. Jangan sampai karena permasalahan ini, Rumi malah menyebarkan energi yang negatif nantinya pada anak didiknya.
"Mba Rumi nanti pulangnya kaya biasa, kan? Enggak ada rencana mau mampir kemana dulu gitu?" Tak langsung menjawab, Rumi justru memilih diam barang sejenak untuk memikirkan apakah ada kegiatan lain selain bekerja yang akan ia lakukan hari ini.
"Iya kaya biasa, nanti Rumi pulangnya jam dua belas, Bunda. Kenapa?" Setelah merasa yakin, barulah Arumi memberikan jawaban yang pasti kepada Nirma.
"Itu, Bunda hari ini ada janjian buat ketemu sama temen lama. Jadi mungkin nanti pas Mba pulang, rumah dalam keadaan kosong. Gapapa kan kalau tinggal sendirian di rumah?" Oh ayolah, bahkan sekarang Rumi sudah berusia dua puluh tujuh tahun. Bisa-bisanya Nirma bertanya seperti itu padanya, menyebalkan sekali.
"Serius Bunda nanya kaya gitu ke Rumi?" Mungkin bagi orang lain yang berada di meja makan sana, pertanyaan yang Rumi lontarkan tadi terdengar begitu sinis.
Bukannya merasa takut atau marah, mereka justru terkekeh dengan begitu puasnya. Apalagi Rafka yang harus sampai minum karena nyaris tersedak makanannya sendiri, karmanya cepat sekali bekerja.
"Nanti Bunda bakalan tetap masak makan siang kok, jadi Mba nggak perlu masak nanti." Puas terkekeh bersama dengan suami beserta si bungsu, Nirma kembali membuka suaranya yang mana tidak lagi disahuti oleh Rumi.
Itu adalah percakapan terakhir yang terdengar di meja makan ini, karena setelahnya mereka semua kompak untuk tutup mulu dan lebih memilih menghabiskan sarapan yang rasanya luar biasa enak ini. Sampai akhirnya piring Rumi sudah bersih.
"Rumi udah selesai. Kalo gitu Rumi berangkat dulu ya Bunda, Ayah." Rasa-rasanya Rafka tidak bisa lagi untuk menelan makanannya dengan benar setelah melihat sang kakak yang tiba-tiba saja berdiri lalu menyalami kedua orang tua mereka secara bergantian.
"Semangat kerjanya, nak." Pasti, Rumi pasti akan melakukan hal itu tanpa mereka pinta terlebih dahulu.
"Oy Mba, tungguin kek. Aku loh belum minum ini." Protes yang berasal dari mulut Rafka itu tidak Rumi gubris sama sekali.
Gadis berambut panjang itu lebih memilih untuk melanjutkan langkah kakinya menuju garasi yang berada tepat di sisi kanan rumah mereka. Anggap saja saat ini Rumi sedang dalam mode balas dendam pada Rafka yang luar biasa menyebalkan itu.
Sebenarnya Rafka tidak perlu buru-buru juga sih, toh mereka akan berangkat bersama hari ini. Sesuai dengan apa yang adiknya itu inginkan semalam, Rafka mengatakan kalau mereka akan berangkat bersama menggunakan mobil karena ia enggan naik motor hari ini.
Bukan, mobil yang akan mereka gunakan nanti bukan milik Rumi. Melainkan milik mereka berdua karena itu adalah hadiah dari sang Ayah, yang mana artinya mereka harus saling berbagi.
"Lama loh, adek. Berangkat sendirilah Mba kalo gitu ceritanya." Kaki panjang Rafka langsung melangkah semakin cepat karena ia betulan takut ditinggal oleh Rumi.
"Aku aja yang bawa mobilnya, Mba duduk yang manis aja nanti." Sepertinya Rafka mulai menyadari kalau suasana hati Rumi belum membaik sama sekali setelah mereka membahas tentang pernikahan tadi. Ya setidaknya tawaran Rafka ini bisa diterima dengan baik oleh Rumi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
𝕻𝖔𝖈𝖎𝕻𝖆𝖓 Ig@Fanie_liem09
Hai ka gabung yu di Bcm
kalau Kaka bersedia follow me ya ..
maka Kaka BS mendapat undangan dari kami. Terima kasih
2024-10-28
0