“Kamu harus bertanggungjawab atas semua kelakuan kamu yang telah menghilangkan nyawa istriku. Kita akan menikah, tapi bukan menjadi suami istri yang sesungguhnya! Aku akan menikahimu sekedar menjadi ibu sambung Ezra, hanya itu saja! Dan jangan berharap aku mencintai kamu atau menganggap kamu sebagai istriku sepenuhnya!” sentak Fathi, tatapannya menghunus tajam hingga mampu merasuki relung hati Jihan.
Jihan sama sekali tidak menginginkan pernikahan yang seperti ini, impiannya menikah karena saling mencintai dan mengasihi, dan saling ingin memiliki serta memiliki mimpi yang sama untuk membangun mahligai rumah tangga yang SAMAWA.
“Om sangat jahat! Selalu saja tidak menerima takdir atas kematian Kak Embun, dan hanya karena saat itu Kak Embun ingin menjemputku lalu aku yang disalahkan! Aku juga kehilangan Kak Embun sebagai Kakak, bukan Om saja yang kehilangan Kak Embun seorang!” jawab Jihan dengan rasa yang amat menyesakkan di hatinya, ingin rasanya menangis tapi air matanya sudah habis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kegelisahan Bu Kaila
Esok hari ...
Fajar telah menyapa, sinar matahari tampak malu-malu menyapa, suara kicauan burung gereja atau bisa disebut burung pipit kecil sudah terdengar di pekarangan rumah orang tua Jihan.
Entah kenapa netra Bu Kaila agak sayu seperti kurang tidur, tapi memang kenyataannya semalam dia susah tidur. Namun, mengingat kewajiban sebagai seorang istri wanita paruh baya itu harus menyeret tubuhnya, menghempaskan rasa kantuknya yang sudah menghinggapinya untuk menyiapkan sarapan untuk suaminya yang akan berangkat kerja pagi-pagi.
Pak Iqbal pun sudah terlihat rapi dengan seragam ASN-nya, dan kini sudah duduk di meja makan untuk menikmati sarapan paginya sebelum pergi ke kantor.
“Yah, ini kopinya,” ucap Bu Kaila, mengantarkan secangkir kopi hangat ke atas meja makan, lalu terduduk lesu di hadapan suaminya.
“Makasih Bu,” balas Ayah Iqbal sembari menatap heran pada istrinya. “Ibu kenapa? Kok pagi-pagi sudah kelihatan lesu begitu?” Ayah Iqbal bertanya sembari menyeruput kopi hangatnya.
“Yah, perasaan Ibu dari semalam gak enak, kepikiran Jihan terus. Semalam Ibu juga telepon Jihan juga gak diangkat, kenapa ya, Yah?” Bu Kaila mengungkapkan kegusaran hatinya.
Ayah Iqbal yang baru saja ingin menyeruput kopinya, kembali meletakkan cangkirnya ke atas meja. “Ah, mungkin itu hanya perasaan Ibu saja jadinya kepikiran kemana-mana. Pasti Jihan baik-baik saja di sana,” jawab Ayah Iqbal menepis rasa khawatir istrinya.
Wanita paruh baya itu menghela napas, jawaban suaminya tetap tidak bisa mengurangi rasa kegelisahannya itu. “Ibu tetap tidak enak perasaannya, Yah,” keluh Bu Kaila, sembari menautkan kedua jemarinya yang ada di atas meja. Ibu mana pun pasti memiliki feeling atau insting jika ada sesuatu yang terjadi pada buah hatinya, walau dia tidak bisa menggambarkan perasaan yang dia rasakan.
“Ya, sudah Ayah coba telepon Jihan sekarang, biar Ibu gak gelisah kayak begini,” ucap Ayah Igbal, kebetulan ponselnya ada di meja makan, lantas dia langsung menghubungi ponsel Jihan.
Sekali belum diterima, kedua kali mencoba belum juga diterima juga oleh Jihan, namun Ayah Igbal masih terlihat tenang dan mencoba lagi untuk menelepon ketiga kalinya tapi hasilnya tetap belum diterima.
“Gimana Yah, terhubung gak?” tanya Bu Kaila yang turut menunggu.
“Belum Bu, ini Ayah coba telepon Bik Murni, mungkin aja Jihan lagi ngurus Ezra jadi tidak bisa menerima panggillah telepon,” jawab Ayah Iqbal ke pikiran ke sana.
“Iya Yah, coba telepon Bik Murni.” Bu Kaila menyetujuinya, lantas Ayah Iqbal menghubungi, dan sabar menunggu panggilan teleponnya diterima.
“Halo, Assalammualaikum Pak Iqbal,” sapa Bik Murni menerima panggilan telepon Ayah Iqbal.
Samar-samar suara Ezra menangis terdengar. “Waalaikumsalam Bik Murni, saya mau bicara sama Jihan. Dia sedang repot ngurus Ezra ya, kayaknya Ezra lagi nangis!?” Entah ini bertanya atau Ayah Iqbal menebaknya, karena mendengar suara tangisan cucunya, lalu menebak ke arah ke sana.
Dibalik panggil telepon dari Ayah Iqbal, Bik Murni menatap ke arahan kamar Jihan di mana Ita lagi mengurus Ezra yang tadi pagi suhu tubuhnya panas tinggi.
“Halo ... halo Bik Murni,” panggil Ayah Iqbal merasa belum dapat jawaban dari ART-nya Fathi.
“Eh iya Pak, anu ....” Bik Murni agak bingung harus mulai dari mana ceritanya, tapi mendengar pertanyaan ayahnya Jihan seperti itu berarti majikannya belum kasih kabar kepada kedua orang tua Jihan.
“Begini Pak, Non Jihan sejak semalam masuk rumah sakit,” jawab Bik Murni agak berhati-hati berkata.
“Jihan masuk rumah sakit!” seru Ayah Iqbal terkejut, lalu menatap istrinya yang mendadak kedua bahunya melorot.
“Iya Pak, semalam Non Jihan pingsan dan Pak Fathi langsung bawa ke rumah sakitnya,” balas Bik Murni, sengaja tidak menceritakan semuanya, takut salah. Apalagi dia juga belum dapat kabar terbaru karena sampai pagi ini dia sendiri belum bisa menghubungi majikannya.
“Terima kasih, Bik Murni,” jawab Ayah Iqbal langsung mengakhiri panggilannya, lalu dia menelepon nomor Fathi, namun sayangnya sudah berulang kali mencoba tetap tidak ada jawabannya.
“Yah, benarkan kata Ibu pasti ada sesuatu yang terjadi sama Jihan. Sebaiknya kita ke rumah sakit aja, Ibu gelisah,” pinta Bu Kaila langsung mengambil keputusan sembari beranjak dari duduknya, lalu ke kamarnya untuk berkemas.
Ayah Iqbal hanya bisa menghela napas panjangnya, kalau istrinya sudah berkata seperti itu harus dituruti, dan terpaksa Ayah Iqbal izin datang terlambat ke kantor. Setengah jam kemudian mereka berangkat ke rumah sakit.
...----------------...
Rumah Sakit.
Pantas saja Fathi tidak menerima panggilan teleponnya, karena ponselnya dia tinggalkan di ruang kerjanya, sementara pria itu masih berada di ruangan observasi dan kini terlihat sedang menyeka tubuh istrinya menggunakan kain waslap. Dengan telatennya dia membersihkan wajah, lengan dan kaki Jihan, dan sebagai penutupnya pria itu mengecup pipi Jihan.
“Jangan lama-lama tidurnya, cepat bangun Jihan,” bisik Fathi begitu lembut. Pria itu kembali bergerak membawa baskom dan kain waslap, bersamaan itu suara derit pintu ruangan terdengar.
“Mas Fathi,” suara wanita terdengar menyapanya, lantas Fathi menolehkan wajahnya.
Wanita itu semakin mendekatinya yang saat ini menaruh baskom di atas nakas, seiringan netra wanita itu melirik ke arah ranjang.
“Aku dengar mantan adik ipar Mas masuk rumah sakit semalam, kenapa gak kasih kabar aku Mas? biar bisa aku temani kamu di sini,” ucap Kiren menunjukkan perhatiannya.
“Sudah ada mama dan papa semalam di sini,” jawab Fathi datar.
Wanita itu pun bergerak berdiri di sisi ranjang Jihan, dan menatap sendu pada gadis itu yang masih dalam keadaan koma, lalu melihat pergelangan tangan Jihan yang diperban.
Kondisi Jihan sudah menjadi pembicaraan di antara para perawat dan dokter, yang berhembuskan tentang masalah bundir, serta kejadian gagal jantung yang terjadi tadi malam.
“Duh Mas, aku jadi kasihan lihat kondisi Jihan, kenapa dia bisa melakukan seperti ini? Perasaan tadi siang kita bertemu dengan Jihan terlihat happy sama teman dan pacarnya, atau jangan-jangan mereka ribut ya?” tanya Kinan, dia berspekulasi seperti itu.
Raut wajah Fathi tampak datar, tidak mengekspresikan apa pun dan Kinan masih setia menatap pria itu. Melihat tak ada reaksi apa pun, wanita itu bergerak mendekati Fathi.
“Mas Fathi, aku barusan beli sarapan nasi kuning yang Mas suka itu, kita makan dulu yuk, aku takut Mas nanti sakit,” pinta Kinan begitu lembut, tangannya pun terangkat menyentuh lengan kekar Fathi.
Tak bisa dipungkiri perut Fathi memang sudah lapar dan membutuhkan secangkir kopi expresso untuk menghilangkan rasa kantuknya akibat begadang semalam, akhirnya dia menuruti permintaan Kinan, namun sebelumnya dia memanggil perawat jaga untuk stay di ruang observasi, baru setelahnya Fathi dan Kinan keluar dari ruangan.
Baru saja Fathi dan Kinan keluar, tampaklah orang tua Fathi bersama orang tua Jihan pas di depan pintu ruang observasi.
BUGH!!
Bersambung ... ✍🏻