GURUKU ADALAH CINTAKU, BIDADARI HATIKU, DAN CINTA PERTAMAKU.
******
"Anda mau kan jadi pacar saya?" Seorang pria muda berjongkok, menekuk satu kakinya ke belakang. Dia membawa sekuntum mawar, meraih tangan wanita di hadapannya.
Wanita itu, ehm Gurunya di sekolah hanya diam mematung, terkejut melihat pengungkapan cinta dari muridnya yang terkenal sebagai anak dari pemilik sekolah tempatnya bekerja, juga anak paling populer di sekolah dan di sukai banyak wanita. Pria di hadapannya ini adalah pria dingin, tidak punya teman dan pacar tapi tiba-tiba mengungkapkan cintanya ... sungguh mengejutkan.
"Saya suka sama anda, Bu. Anda mau kan menerima cinta saya?" lagi pria muda itu.
"Tapi saya gurumu, Kae. Saya sudah tua, apa kamu nggak malu punya pacar seperti saya?"
Sang pria pun berdiri, menatap tajam kearah wanita dewasa di hadapannya. "Apa perlu saya belikan anda satu buah pesawat agar anda menerima cinta saya? saya serius Bu, saya tidak main-main,"
"Tapi..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 8. Teman Masa Kecil Tyas
Malam semakin larut, dan Kaesang, dengan tubuh penuh luka dan memar, memilih untuk melaju pelan. Motornya mengikuti irama jalanan, sementara ia menahan perih di wajahnya.
Perjalanan pulang Kaesang terasa lebih panjang dari biasanya. Dia sengaja memutar jalan, menghindari jalanan bergelombang yang bisa membuat lukanya di wajah semakin perih.
Di tengah perjalanan, saat melewati sebuah pertigaan, Kaesang melihat Tyas duduk sendirian di bawah halte. Awalnya, dia ingin terus berjalan, tapi matanya tertuju pada beberapa orang preman yang mendekati Tyas dan duduk di sebelahnya.
Seolah tergerak oleh sesuatu, Kaesang tiba-tiba mengerem motornya dan menoleh ke arah Tyas. Pandangannya tertuju pada sosok Tyas, ingin memastikan keadaan perempuan itu baik-baik saja.
Lama menatap, Kaesang melihat para preman itu menggoda Tyas, seakan ingin merebut sesuatu miliknya. Tak tahan melihatnya, Kaesang langsung berlari menghampiri Tyas. Tanpa basa-basi, ia menghaj4r kedua preman itu yang tampak terkejut dengan kedatangannya.
Bug!
"Pergi kalian, jangan ganggu wanita ini lagi!" Kemampuan bela diri Kaesang tidak main-main ternyata! Dia dengan mudah mengalahkan dua orang sekaligus, meski tubuhnya sendiri juga penuh memar. Beberapa pukulan saja sudah cukup untuk membuat mereka menyerah.
Kaesang menoleh, matanya menangkap wajah Tyas yang pucat pasi. Ketakutan jelas terpancar di sana.
"Bu Tyas, Bu Tyas nggak apa-apa kan? nggak ada yang luka kan?" tanya Kaesang dengan nada khawatir.
Entah kenapa, dia merasa sangat khawatir pada Tyas. Tak seperti biasanya. Tyas tersenyum dan menggeleng pelan, meyakinkan Kaesang bahwa dia baik-baik saja.
"Nggak papa, Kae. Makasih ya udah nolongin."
balas Tyas, senyumnya yang manis dan meneduhkan membuat Kaesang ikut tersenyum.
Tatapan Tyas mengingatkan Kaesang pada seorang teman masa kecilnya yang pernah membuatnya jatuh hati. Senyum dan tatapan mereka begitu mirip, seakan-akan Tyas adalah kembaran dari teman masa kecilnya itu.
"Ibu mau kemana?" tanya Kaesang.
"Ehm, mau ke supermarket sih buat beli beberapa kebutuhan. Tadi saya sengaja lewat jalan besar mau nyegat angkot tapi setelah beberapa saat nunggu nggak ada yang lewat. Bahkan taksi pun nggak ada. Kamu dari mana, Kae? kok muka kamu memar gitu?" Tyas perlahan mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Kaesang yang penuh memar.
Sentuhan lembut itu membuat Kaesang sedikit berdesis, rasa ngilu menjalar di wajahnya. Namun, di balik rasa sakit itu, ada setitik kehangatan yang membuatnya tersenyum. Tyas peduli padanya.
"Oh maaf, Kae. Sakit ya? kamu mau ke puskesmas aja? saya temenin," Tyas cukup baik, mereka tidak kenal dekat, dan Tyas juga belum lama ini mengajar di Genius High School. Tapi dia sudah menunjukkan semua perhatian ini, membuat Kaesang tanpa sadar tersenyum senang.
Kaesang menggeleng. "Nggak usah, saya nggak suka ke Puskesmas atau ke rumah sakit. Saya mau pulang aja," sahut Kaesang.
Tyas menggelengkan kepalanya dan meraih tangan Kaesang. Dia menggenggam tangan itu. "Kaesang, muka kamu memar-memar loh, kalau nggak segera diobati nanti infeksi. Ayo kita ke Puskesmas sekarang, saya temenin. Saya nggak tega melihat muka kamu yang kayak gini." Tyas terus memaksa Kaesang untuk segera pergi ke Puskesmas untuk mengobati mukanya yang penuh luka memar.
Kaesang akhirnya mengalah dan mengangguk. Dia bersedia untuk pergi ke Puskesmas bersama dengan Tyas.
"It's okay Mrs. Tyas. Kita ke puskesmas sekarang. Ehm, tapi Puskesmas jam segini bukannya udah tutup ya? kita ke rumah sakit aja yuk," kali ini justru Kaesang yang terlihat bersemangat untuk pergi ke rumah sakit bersama dengan Tyas.
Sebelumnya dia merasa enggan untuk pergi ke rumah sakit atau puskesmas. Bau obat-obatan dan jarum suntik selalu membuatnya risih. Tapi setelah mendengar Tyas ingin menemaninya pergi, entah kenapa rasa enggan itu berubah menjadi semangat.
"Ya sudah ayo saya temenin." Tyas bersedia untuk menemani Kaesang ke rumah sakit.
Mereka berdua berjalan menuju tempat motor Kaesang terparkir. Sesampainya di sana, Kaesang langsung naik ke motornya dan mengajak Tyas untuk naik di boncengan. Walaupun boncengannya cukup tinggi, Tyas dengan cekatan berhasil naik ke atas. Kaesang pun langsung menyalakan motornya dan melaju menuju rumah sakit bersama Tyas.
Senyum Kaesang merekah sepanjang perjalanan. Hati dan pikirannya terasa tenang, damai, bahkan di tengah perjalanan menuju rumah sakit. Tangan Kaesang tanpa sadar meraih tangan Tyas, menariknya untuk memeluk pinggangnya.
Tyas terkejut, namun tak menolak. Ia memeluk pinggang Kaesang, dan tanpa sadar menyandarkan kepalanya di punggungnya.
"Kenapa rasanya damai banget ya? sepertinya aku pernah men-ci-um aroma ini sebelumnya, tapi di mana? Kenapa rasanya familiar?" Pikiran Tyas masih melayang, tak kunjung padam. Baru saat motor memasuki halaman rumah sakit, ia tersadar dari lamunannya.
Tyas dan Kaesang melangkah masuk ke rumah sakit, menuju meja administrasi. Kaesang akan mendaftarkan dirinya terlebih dulu dan menanyakan dokter yang berjaga yang bisa dia mintai tolong untuk mengobatinya.
Setelah mendaftar di administrasi, Kaesang dan Tyas duduk di ruang tunggu sambil menunggu giliran dipanggil oleh dokter. Mereka duduk berdampingan, tetapi suasana antara keduanya terasa canggung. Kaesang merasa sedikit gugup karena tidak terbiasa berada dalam situasi seperti ini bersama seorang wanita.
Tyas memperhatikan ekspresi Kaesang yang sedikit tegang. Dia tersenyum lembut dan mencoba memecah keheningan di antara mereka. "Kae, kamu nggak usah gugup. Ini cuma buat ngobatin luka di mukamu. Semuanya akan baik-baik aja," ucap Tyas dengan suara lembut.
Kaesang menatap Tyas dengan penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Bu Tyas. Saya nggak terbiasa dengan situasi seperti ini," ucap Kaesang sambil tersenyum malu.
Tiba-tiba, seorang perawat memanggil nama Kaesang. Mereka berdua pun berdiri dan berjalan menuju ruang pemeriksaan dokter. Dokter yang bertugas adalah seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah di wajahnya.
"Dokter, ini Kaesang. Dia memiliki luka di mukanya yang perlu diobati," ucap Tyas sambil menunjuk Kaesang.
Dokter pun mengamati luka di wajah Kaesang. "Hmm, luka ini cukup dalam. Kami perlu membersihkannya dan memberikan perawatan agar tidak terjadi infeksi," ucap dokter sambil menuliskan resep obat untuk Kaesang.
Kaesang duduk di kursi pemeriksaan sambil menahan rasa sakit saat dokter membersihkan luka di wajahnya.
Setelah proses pembersihan selesai, dokter memberikan resep obat dan menyarankan Kaesang untuk istirahat yang cukup agar luka bisa sembuh dengan cepat. Kaesang mengucapkan terima kasih kepada dokter dan mereka pun keluar dari ruangan pemeriksaan.
"Terima kasih, Bu Tyas karena sudah menemani saya ke rumah sakit." ucap Kaesang dengan tulus.
Tyas tersenyum dan menggelengkan kepala. "Nggak perlu berterima kasih, Kaesang. Saya cuma melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh sesama manusia. Kita harus saling membantu dan melindungi satu sama lain. " ucap Tyas dengan lembut.
"Dan ehm, kamu tadi juga sudah menolong saya. Terima kasih ya, kalau nggak ada kamu saya nggak tau akan seperti apa saya nanti," imbuh Tyas.
Kaesang tersenyum dan membalas. "Sama-sama," balasnya singkat, tapi penuh senyum.
Saat mereka keluar dari rumah sakit, Kaesang mengajak Tyas untuk makan malam bersama sebagai ucapan terima kasih atas bantuannya. Tyas menyetujuinya dengan senyum yang manis di wajahnya.
Mereka berdua pun pergi ke sebuah restoran kecil di pinggir jalan. Mereka duduk di meja yang terletak di sudut restoran, menikmati hidangan malam mereka sambil bercakap-cakap ringan.
Tiba-tiba pandangan Kaesang tertuju pada gelang Tyas. Seolah tidak bisa menahan rasa penasarannya lebih lama lagi. Ia pun bertanya. "Ehm, ibu beli gelang itu dimana? gelangnya bagus." Kaesang bertanya tapi setelahnya dia memuji.
Kening Tyas berkerut, terkejut mendengar pertanyaan Kaesang tentang gelangnya. Sejenak, ingatannya melayang ke masa lampau, mengenang sosok yang pernah memberinya gelang berharga ini.
"Ini ... adalah gelang dari teman masa kecil saya, Kae," ujar Tyas, suaranya sedikit bergetar. "Dulu ... dia memberikan gelang ini, sebelum ... akhirnya dia pergi dan nggak pernah kembali. Sampai sekarang, saya masih menyimpannya." Matanya berkaca-kaca, dan tak lama kemudian, air matanya mengalir deras.
Tiba-tiba, jantung Kaesang berdegup kencang, napasnya tersengal. Mungkinkah Tyas adalah sosok dari masa lalunya? Benarkah firasatnya setelah melihat gelang itu? Apakah Tyas adalah teman masa kecilnya yang pernah membuatnya jatuh hati? Mustahil, pikirnya, mereka masih terlalu kecil saat itu.
"Dia ... apakah dia kak Zarina ... teman masa kecilku?" gumam Kaesang dalam hati, matanya berkaca-kaca. Ia menahan sesak di dadanya, tak ingin air mata itu tumpah.
"Ehm, Maaf," Kaesang, dengan suara sedikit bergetar, kembali bersuara. "Teman masa kecil ibu itu namanya siapa?" tanya Kaesang sedikit ragu.
Tyas terdiam sejenak, seakan menyelami ingatannya yang samar. "Saya lupa, Kae," katanya, suaranya sedikit teredam oleh kesedihan.
"Sudah lama sekali. Tapi seingat saya, dia sering memanggil dirinya Esa. Dia nggak pernah memberitahukan nama panjangnya ke saya, tapi dia selalu senang saat saya memanggilnya Esa."
Air matanya menetes pelan, membasahi pipinya. Tyas menyeka air matanya dengan lembut, tangannya bergerak perlahan di pipinya.
Tiba-tiba jantung Kaesang berdebar kencang. Dia terkejut luar biasa, nama teman masa kecil Tyas membuatnya tercengang.
"E-Esa? itu kan nama ..." jeda Kaesang, air matanya kembali menetes, jantungnya berdebar kencang, dan tangannya gemetar.
Bersambung ...