Aisha berjalan perlahan mendekati suaminya yang terlihat sedang menelepon di balkon, pakaian syar'i yang sehari-hari menjadi penutup tubuhnya telah dia lepaskan, kini hanya dengan memakai baju tidur yang tipis menerawang Aisha memberanikan diri terus berjalan mendekati sang suami yang kini sudah ada di depannya.
"Aku tidak akan menyentuhnya, tidak akan pernah karena aku hanya mencintaimu.."
Aisha langsung menghentikan langkahnya.
Dia lalu mundur perlahan dengan air mata yang berderai di pipinya, hingga ia kembali masuk ke dalam kamar mandi, Alvin tidak tahu jika Aisha mendengar percakapan antara dirinya dengan seseorang di ujung telepon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Sekamar
"Aku harus pergi ke Rumah Sakit sekarang," ucap Alvian ketika baru saja mereka sampai di apartemennya.
Aisha hanya mengangguk kecil.
"Kamarku ada di sebelah sana." Alvian menunjuk ke sebuah ruangan yang tak jauh dari sana.
Aisha langsung mendorong kopernya ke arah kamar yang berlawanan dari yang ditunjuk oleh suaminya, membuat Alvian heran hingga mengerutkan keningnya.
"Sudah kubilang kamarku di sebelah sana." Alvian yang kesal menahan koper Aisha dengan tangannya.
"Berarti ini kamarku," jawab Aisha menunjuk ruangan di depannya,
"Ini kamar tamu," ucap Alvian dengan nada kesal.
Aisha sontak mengangkat wajahnya, untuk pertama kalinya memberanikan diri melihat wajah Alvian.
"Aku juga tamu," jawab Aisha lagi sedikit sinis sambil menatap wajah suaminya.
Keduanya saling menatap.
Alvian menatap lekat kedua manik mata Aisha, karena hanya bagian itu saja yang terlihat, sorot matanya indah nan menyejukkan tapi terlihat sayu dan sembab serta memancarkan sejuta kesedihan.
"Kita tak mungkin berbagi kamar kan?" tanya Aisha dengan suara bergetar karena menahan tangisnya.
Alvian semakin menatap lekat mata sendu Aisha yang kini berkaca-kaca.
"Tidak," jawab Alvian sambil mengalihkan pandangan ke arah lain karena entah mengapa dia merasa tidak tahan melihat mata Aisha yang kini tergenang air mata.
Aisha kembali mendorong kopernya untuk memasuki kamar di depannya, sementara Alvian hanya memperhatikan dari belakang, hingga istrinya itu menghilang di balik pintu.
Tapi Alvian masih terpaku berdiri disana, hingga dia mendengar Aisha mengunci pintu dari dalam.
'Apa sebegitu menyakitkankah pernikahan ini baginya?' gumam Alvian dalam hatinya.
***
...Ketika laki-laki mengucapkan 'Saya terima nikahnya' pada suatu akad nikah berarti dia mengatakan bahwa saya siap menerima tanggung jawab untuk melayani istri saya, melindungi serta mencintainya......
Aisha menghentikan ketikannya, membaca ulang kata perkata dari kalimat yang telah dia tulis di laptopnya.
Dia lalu menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi, menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan sambil terus mengeja kembali tulisannya.
Menulis sudah menjadi hobinya dari kecil, beberapa tahun yang lalu dia mulai menyalurkan hobinya menulis di blog, menulis beberapa artikel yang kebanyakan mengenai kajian Islam tentang wanita muslimah.
Kecakapannya menulis dan pengetahuannya tentang Islam yang mumpuni membuat artikelnya disukai dan dibaca banyak orang terutama para wanita, sehingga itu menjadi pacuan baginya untuk terus menulis yang ia anggap juga sebagai caranya untuk menyiarkan agama Islam.
Menjelang pernikahannya kemarin, Aisha mulai menulis tentang makna dari pernikahan, mulai dari ta'aruf dan istri shalihah. Karenanya, secara teori Aisha tahu persis kewajiban dan haknya sebagai seorang istri, namun apa daya takdir Allah SWT mengujinya dengan bersuamikan Alvian.
Alvian menikahinya hanya karena rasa bakti pada orang tuanya, tak ada niatan dalam dirinya untuk menjalankan makna penting dari ijab qobul yang telah dia lafalkan.
Aisha mendesah, dia lalu berdiri dari kursinya, berjalan mendekati jendela kaca dan melihat pemandangan kota di malam hari yang nampak jelas dari kamarnya.
Gemerlap lampu nampak berkilauan dari seluruh penjuru kota yang terlihat indah tak menghilangkan kerinduannya akan kampung halamannya, Aisha sangat rindu akan suasana Pondok Pesantren pada malam hari yang riuh akan suara para santri sedang mengaji dan menghafal.
Sudah seminggu lamanya dia disini, menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar ini, hanya sesekali keluar hanya untuk memasak dan makan, membersihkan rumah dan mencuci baju.
Kemana Alvian suaminya?
Entahlah! Aisha hanya mendengar beberapa kali larut malam sekali suaminya pulang, dan besoknya pagi-pagi sekali dia sudah pergi lagi. wa
Tak pernah keduanya saling bersua, berkomunikasi hanya lewat memo yang ditempelkan di pintu kulkas, dan itu hanya tentang kebutuhan dapur saja.
Alvian mencukupi seluruh kebutuhan dapur yang ia pesan lewat online yang diantar langsung oleh kurir, walaupun sebenarnya tak pernah sekalipun ia makan di rumah. Aisha pernah memasakkan makanan untuknya, pagi sekali sebelum dia berangkat kerja makanan sudah tertata rapi di atas meja makan, namun Alvian sama sekali tak menyentuhnya, meliriknya saja tidak apalagi memakannya.
Aisha yang kini sudah bisa berkompromi dengan hati dan pikirannya, sudah mulai menerima keadaan rumah tangganya yang sangat jauh dari ekspektasinya. Sabar dan ikhlas kini menjadi teman kesehariannya.
***
"Bagaimana kabar istrimu di rumah?" tanya Anita membuat Alvian yang sedang makan langsung tersedak.
Anita memberikan Alvian yang sedang terbatuk-batuk segelas air minum.
"Aku tidak tahu," jawab Alvian setelah minum.
"Kenapa tiba-tiba menanyakannya?" tanya Alvian menatap Anita.
Anita tersenyum.
"Tidak apa-apa! Aku hanya ingin tahu saja."
Alvian menyimpan sendok, sepertinya dia sudah tak berselera untuk melanjutkan makannya.
"Bersabarlah, ini hanya setahun," ucap Alvian sambil memegang tangan Anita.
Anita mengangguk sambil tersenyum.
"Iya."
Keduanya saling bertatapan mesra.
"Oh iya. Apa kamu sama sekali belum pernah melihat wajahnya?" tanya Anita penasaran.
Alvian langsung menggelengkan kepalanya.
"Tidak."
"Bagaimana kalau dia sangat cantik?"
"Aku tidak peduli."
"Umurnya juga masih muda."
"Aku juga tidak peduli."
"Oh ya?" Anita tidak percaya sambil tersenyum.
Alvian mengangguk. Keduanya kembali bertatapan mesra.
Beberapa orang diam-diam memperhatikan mereka, kebanyakan adalah para perawat yang juga sedang makan di kantin Rumah Sakit itu.
Mereka merasa iri pada pasangan dokter itu, selain kemesraan yang selalu mereka perlihatkan juga karena keduanya adalah pasangan yang sangat serasi
Dokter Alvian, dokter spesialis bedah itu terkenal dokter yang tampan dan ramah, semua orang menyukainya. Tak jarang diam-diam banyak rekan kerja seperti perawat yang menyukai dan mengidolakannya. Namun siapa yang berani mengutarakan karena semuanya tahu jika sang pujaan telah memiliki seorang kekasih yang telah dipacarinya cukup lama, sekitar lima tahunan yang lalu, dialah Dokter Anita, spesialis kandungan yang juga sama sempurnanya seperti sang kekasih, berwajah cantik, berkulit bersih dan bertubuh langsing.
Meniti karir bersama membuat hubungan keduanya semakin erat, walaupun sama-sama sibuk namun keduanya berkomitmen pada hubungan mereka sehingga tak heran jika bisa bertahan hingga saat ini.
Perjodohan Alvian sempat membuat hubungan keduanya goyah, Anita memutuskan hubungan mereka meskipun tahu jika sang kekasih hanya terpaksa menikahi wanita lain karena orang tuanya.
Namun Alvian yang tidak mau kehilangan, terus menerus meyakinkan Anita agar tak meninggalkannya, hingga Anita kembali padanya karena Alvian yang meyakinkannya jika setelah setahun dirinya akan bercerai dengan Aisha.
"Wanita itu juga terpaksa menikah denganku, dia yang menginginkan perceraian setelah satu tahun."
"Kenapa? Apakah karena dia juga sama sepertimu sudah mempunyai pilihannya sendiri?" tanya Anita penasaran.
"Entahlah. Tapi mungkin saja seperti itu," jawab Alvian sambil kembali mengingat ketika dirinya melihat mata Aisha yang terlihat sedih dan sembab.
"Itu benar. Apa yang dikatakan Anita benar. Wanita itu juga tidak mau dinikahkan karena sudah mempunyai pilihannya sendiri," gumam Alvian dalam hatinya dengan yakin.