Sabrina Alexandra, gadis bar-bar yang frontal dan minus akhlak, hidupnya mendadak jungkir balik. Pulang ke kampung halaman, tiba-tiba saja ia di nikahkan paksa oleh bapaknya, Abiyan Fauwaz, dengan seorang lelaki yang lebih tua 9 tahun darinya. Siapa lelaki itu? Gus Sulaiman Faisal Zahid-seorang ustaz dengan aura santun, tampilan alim, dan bahasa serba syariah. Masalahnya? Sabrina yang biasa bebas, santai, dan dikejar banyak pria, dipaksa menikah dengan lelaki yang mengatakan, "Saya melamar putri bapak, karena beliau sudah saya sentuh." WHAT?! Seorang Sabrina yang bahenol dan penuh pesona malah jadi rebutan ustadz tak dikenal?! "Bapak, apa-apaan sih? Aku gak kenal dia!" protes Sabrina sambil menjambak rambut sendiri. Tapi, bapaknya tak peduli. Demi menyelamatkan anaknya dari kehidupan yang sudah miring 180 derajat, Abiyan tetap bersikeras. Tapi Abiyan tak peduli. Dengan santai, ia menjawab, "Kalau kalian gak saling kenal, ngapain nak Aiman jauh-jauh buat lamar kamu? Pokoknya bapak tetap pada pendirian! Kamu harus menikah dengan dia!" "Bapak egois banget!!!" protes Sabrina. "Ini demi kebaikan kamu, agar gak terlalu tersesat ke jalan yang salah," jawab Abiyan tegas. Sabrina merasa dunia tak lagi adil. Tapi apa yang terjadi saat dua orang dengan dunia yang bertolak belakang ini dipaksa bersanding? Akankah Sabrina yang bar-bar ini berubah, atau justru Gus Sulaiman yang pusing tujuh keliling menghadapi Sabrina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15
Abiyan memandang Sabrina dengan tajam, tidak sepenuhnya yakin. "Jangan bohong, Bina. Kalau itu nemu, kenapa ada di tanganmu? Apalagi kamu pulang-pulang dengan tergesa-gesa? Kamu pasti ketemu sama seseorang, kan?"
Sabrina mencoba untuk bersikap tenang, tetapi adik-adiknya semakin intens menghasut kedua orang tuanya. "Bapak, kalau kayak gini kan jelas banget. Bukan sorban biasa. Bina pasti ketemu cowok!"
"Mamak, ini pasti ada sesuatu yang nggak beres!" sambung adiknya yang lain, penuh semangat.
Keluarga itu mulai terpecah menjadi dua kubu, sebagian percaya dengan jawaban Sabrina, namun ada juga yang mulai curiga. Tapi Abiyan, kepala keluarga yang terkenal tegas, tetap mencermati dengan tidak percaya.
"Bina, jangan bohong sama bapak. Bapak tahu anak bapak ini nggak pernah main-main. Sorban ini nggak bisa dari jalanan." Suaranya mulai mengeras, matanya menyipit tajam. "Kamu cerita yang jujur sekarang! Ini sorban siapa? Kamu kenapa bisa bawa pulang sorban seperti ini?"
Sabrina terdiam, hatinya mulai gelisah. Namun, di sisi lain, dia masih berusaha menahan omelan dengan menjawab, "Sumpah, bapak! Ini nggak ada apa-apa! Gue beneran nemu di jalan tadi. Lagian, kenapa sih kalian terlalu curiga sama gue?"
Bersamaan itu, Abiyan tetap tegas, merasa tidak puas dengan jawaban Sabrina yang terkesan berbelit. "Ceritamu terlalu aneh, Bina. Bapak nggak suka ini. Kamu harus jujur!"
Sabrina merasakan tekanan yang semakin besar. Ia mulai cemas, merasa seperti sedang menghadapi interogasi. Suasana di ruang tengah semakin tegang, seperti di ruang interogasi kepolisian. "Kenapa ini kayak interogasi sih? Tegang banget!" batin Sabrina, berusaha menahan diri.
" Mak, Pak... sorban waktu itu dari Pak RT beneran. Waktu itu, Pak RT kasih ini buat oleh-oleh. Dia tau Bapak sering bantuin di kegiatan di kampung, makanya dikasih deh," ucap Sabrina dengan suara yang sedikit bergetar. Ia berharap penjelasannya cukup meyakinkan.
Namun, Gina tetap tidak percaya begitu saja. "Lho, terus kenapa kamu bawa lagu sorban ini sampai pulang ke rumah? Lihat kan itu bukan sorban biasa! Kayaknya lebih mahal dan rapi," godanya sambil melirik penuh curiga.
Abiyan, ayahnya, mulai mengerutkan kening, masih belum sepenuhnya yakin. "Bina, bapak percaya kamu anak yang jujur. Tapi, kenapa sorban seperti ini bisa ada di tanganmu? Kalau bukan dari ustadz Aiman, kenapa sampai rumah kamu membawanya?alasan terbang dijalan lagi." tanya Abiyan dengan suara yang tegas.
Sabrina menatap sorban di tangannya, lalu menatap Abiyan dengan wajah yang penuh keyakinan. "Ya emang terbang di jalan, Pak. Gak mungkin kubiarkan sorban ini di jalanan begitu aja. Mending aku pungut dan bawa pulang buat Papa yang pakai," ucapnya dengan nada meyakinkan, sembari menyodorkan sorban itu ke arah Abiyan.
Abiyan memperhatikan sorban itu sejenak, lalu mengangguk pelan. Ia tahu bahwa sikap anaknya yang seperti itu bukan tanpa alasan. Sorban ini memang terlihat rapi dan mahal, dan sebagai seorang ayah, Abiyan tahu kalau gadisnya pasti punya niat baik untuk menjaga barang yang tidak seharusnya jatuh begitu saja.
"Hmm... baiklah, kalau begitu. Bapak percaya kamu, Bina. Nanti bapak yang akan memakainya," kata Abiyan sambil menerima sorban itu dari tangan Sabrina, lalu memegangnya dengan lembut.
Sabrina menghela napas lega dalam hati. Setidaknya kali ini, Abiyan mulai percaya pada penjelasannya. Namun, dia juga tahu bahwa adik-adiknya, terutama Gina, masih penuh curiga. Sorban ini pasti akan menjadi bahan gosip mereka lebih lanjut, tapi setidaknya untuk saat ini, Sabrina merasa sedikit terbebas dari tekanan yang sempat menghantuinya.
Sabrina merebahkan tubuhnya di kasur, matanya menatap kosong ke atas, pikirannya masih terus berputar mengingat kejadian barusan. Kepalanya terasa berat, seperti memori itu terus membekas dalam ingatan. Setiap kata-kata Aiman yang tadi terucap terngiang di telinganya, seolah-olah suara itu tidak pernah benar-benar pergi.
"Untung aja nggak ketahuan, bisa habis gue dibabat sama Bapak sama Mamak, otw dinikahin detik ini juga sama si Om Ustadz," gumam Sabrina pelan, napasnya tertahan. Kekhawatiran yang begitu mendalam membuat dadanya terasa sesak. Bayangan Aiman yang penuh keyakinan, yang menyatakan bahwa dirinya adalah calon istrinya, kembali muncul jelas dalam kepala Sabrina.
Ingatan Sabrina berlanjut pada ucapan Aiman yang tadi meluncur dengan tenang namun penuh tekad, seolah-olah itu bukan sebuah saran biasa, melainkan sebuah perintah yang tak bisa ditolak. Ucapan itu membuat bulu kuduknya merinding.
"'Kamu simpan saja, toh sebentar lagi kamu jadi istri saya juga,'" ucap Sabrina perlahan, merasakan geliat dingin merambat di sekujur tubuhnya. Suara itu seperti membekas, menempel di otaknya dan sulit untuk dilepaskan.
"Hih! Jijik kali kalau ingat omongan itu... merinding se-itil-itilan gue," ucap Sabrina sambil menggigil, geliat yang terasa seperti serangga kecil berjalan di sepanjang kulitnya. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menghalau bayangan itu, tetapi semakin ia menghindar, semakin jelas itu terekam dalam benaknya.
"Argh, aku nggak mau mikirin dia lagi!" keluh Sabrina dengan suara nyaris terisak. Tapi semakin keras ia berusaha melawan, semakin kuat rasa jijik itu menghantuinya. Aiman dengan semua sikap santainya, dengan kata-kata yang seakan penuh perintah, terus bergema di pikirannya, meninggalkan jejak yang tak mudah untuk dihilangkan.
Sabrina mengguncang kepalanya, mencoba melepaskan bayangan itu, namun semuanya terasa seperti cengkeraman yang semakin kuat. "Jijik banget," bisiknya, sambil memeluk bantal di sisi kasurnya, mencoba mengalihkan pikirannya pada hal lain—meskipun kenyataan bahwa Aiman akan segera kembali menyerangnya, semakin dekat, semakin nyata.
...➰➰➰➰...
Subuh itu, rumah Pak RT masih sepi. Pukul 4 pagi, Aiman dan Haidar telah selesai melaksanakan sholat tahajud. Setelahnya, Haidar masih melanjutkan tadarusan dengan khusyuk, suaranya lirih terdengar dari sudut kamar. Sementara Aiman, tampak lebih segar pagi ini. Ia bersiap dengan rapi, mengenakan koko yang bersih dan sarung yang terpasang di pinggangnya.
Haidar yang memperhatikan tampilan Aiman dengan seksama, merasa ada sesuatu yang berbeda pada lelaki itu pagi ini. Ada kilau semangat yang tak biasa terpancar dari raut wajahnya.
"Mau kemana kau, Aiman? Pagi-pagi begini? Subuh saja belum," tanya Haidar, penasaran, sembari menutup Al-Qurannya.
Aiman menghela napas ringan, tersenyum tipis. "Ada urusan sebentar, aku keluar dulu ya." Jawab Aiman santai, beranjak dari duduknya.
"Lho, mau kemana hei!!!" Haidar panggil, bingung melihat Aiman tiba-tiba bergegas pergi begitu saja. Matanya menyipit, tak habis pikir dengan langkah Aiman yang tiba-tiba seolah punya agenda yang mendesak.
Aiman hanya melambaikan tangan singkat tanpa menoleh lagi. "Jangan lama-lama di sini, lanjutkan saja," jawab Aiman sambil melangkah keluar kamar.
Haidar menggeleng-gelengkan kepala, bingung dengan sikap Aiman. "Aneh benar pagi ini," gumamnya, kembali melanjutkan tadarusnya sambil mengamat-amati langkah sahabatnya yang makin menjauh di ujung lorong rumah.
Di rumah Sabrina, suasana masih gelap dan sunyi, hanya terdengar suara ayam yang sesekali berkokok. Namun, kegaduhan tiba-tiba muncul dari luar kamarnya. Suara gedoran pintu yang keras dan teriakan Gina, ibunya, membuat Sabrina terbangun dengan wajah masam.
Sabrina membuka pintu kamarnya sambil menguap lebar, rambutnya berantakan, dan matanya masih setengah tertutup. "Ngapain, Mak? Belum subuh kok udah ribut? Hoam..." keluhnya, menggaruk kepala dengan malas.
Gina berdiri di depan pintu dengan ekspresi galak. "Cepat ganti baju yang sopan! Ada tamu yang datang!" perintah Gina sambil melotot.
Sabrina menatap ibunya dengan bingung. "Hah? Siapa juga yang bertamu pagi-pagi begini, Mak? Ini masih gelap!" protesnya sambil melipat tangan di dada.
"Sudahlah, cepat ganti baju! Jangan macam-macam sama Mamak. Mamak tunggu di ruang tamu," sahut Gina tegas, lalu berlalu tanpa menunggu jawaban.
Sabrina mendengus kesal, tetapi tetap kembali ke kamarnya. Bukannya mengganti baju, ia hanya mengikat rambutnya asal-asalan dan tetap memakai pakaian tidurnya: singlet renda rendah dan celana pendek yang terlalu tinggi di atas lutut. "Mak cuma cari-cari alasan biar aku bangun pagi," gumamnya sambil berjalan ke ruang tamu.