Sebuah kota kecil bernama Reynhaven, seorang pria ditemukan tewas di rumahnya, tepat lima menit sebelum tengah malam. Di pergelangan tangannya, ada tanda seperti lingkaran berwarna hitam yang terlihat seperti dibakar ke kulitnya. Polisi bingung, karena tidak ada tanda-tanda perlawanan atau masuk secara paksa. Ini adalah korban kedua dalam seminggu, hingga hal ini mulai membuat seluruh kota gempar dan mulai khawatir akan diri mereka.
Di lain sisi, Naya Vellin, seorang mantan detektif, hidup dalam keterasingan setelah sebuah kasus yang ia ambil telah gagal tiga tahun lalu hingga membuatnya merasa bersalah. Ketika kasus pembunuhan ini muncul, kepala kepolisian memohon pada Naya untuk kembali bekerja sama, karena keahliannya sangat diperlukan dalam kasus ini. Awalnya ia sangat ragu, hingga akhirnya ia pun menyetujuinya. Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa kasus ini akan mengungkit masa lalunya yang telah lama dia coba lupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurul Wahida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Korban Kedua
Malam nan gelap dan sunyi. Sebuah gedung teater tua berdiri megah tetapi kusam, dihiasi dinding yang retak dan cat yang terkelupas. Sudah bertahun-tahun gedung itu tak lagi menjadi pusat hiburan, kini hanya menjadi bangunan yang terlupakan. Namun, malam ini, gedung itu akan menjadi saksi bisu dari sebuah aksi pembunuhan yang sempurna, pembunuhan tanpa suara, tanpa jejak, hanya menyisakan sebuah tanda misterius.
Bayangan Hitam telah tiba. Sosoknya menyelinap di antara kegelapan, mengenakan mantel hitam panjang dan sarung tangan kulit yang menutupi setiap inci kulitnya. Wajahnya tersembunyi di balik topi lebar yang menutupi sebagian besar kepala. Tak ada yang tahu siapa dia, bahkan deskripsi wajahnya pun tak pernah muncul dalam penyelidikan. Ia bagaikan arwah gentayangan, hadir tanpa meninggalkan bukti keberadaan.
Korban kedua sudah dipilih: seorang pria bernama Randi, seorang mantan aktor yang pernah berjaya di atas panggung gedung teater ini. Namun kariernya hancur setelah ia terlibat dalam kasus kriminal yang tak pernah terungkap sepenuhnya. Meski publik tak pernah tahu kebenarannya.
Bayangan Hitam tahu bahwa Randi sering datang ke gedung teater tua ini di malam hari, sebuah kebiasaan yang ia lakukan untuk mengenang masa kejayaannya. Di sinilah ia akan mengakhiri semuanya di tempat yang pernah menjadi panggung kehidupannya.
Jam menunjukkan pukul 23.15 ketika Bayangan Hitam memasuki gedung teater melalui pintu belakang yang sudah rusak. Ia bergerak seperti hembusan angin, langkahnya nyaris tak terdengar di lantai kayu yang berdebu. Di dalam gedung, suasana sangat sunyi, hanya suara gemerisik tikus dan angin yang berhembus melalui jendela pecah.
Randi sedang duduk di atas panggung utama, memandangi kursi-kursi kosong di auditorium yang dulu pernah dipenuhi penonton yang mengaguminya. Sebotol anggur kosong tergeletak di sampingnya. Wajahnya murung, matanya terlihat lelah. Bayangan Hitam berdiri di sudut gelap ruangan, mengamati targetnya dengan seksama.
Ia menunggu saat yang tepat, detik-detik menjelang pukul 23.40, waktu yang selalu ia pilih untuk mengakhiri hidup korbannya. Waktu itu adalah simbol baginya, transisi antara kehidupan dan kematian, antara kegelapan malam dan awal hari baru.
Jam menunjukkan pukul 23.40. Bayangan Hitam mulai mendekati panggung dengan gerakan halus. Ia mengeluarkan pisaunya, pisau kecil dengan mata tajam yang berkilau di bawah cahaya bulan yang masuk melalui jendela.
Randi masih tenggelam dalam lamunannya, tidak menyadari bahaya yang mendekat. Tepat pada pukul 23.40, Bayangan Hitam bergerak cepat. Dalam satu gerakan yang lihai, ia membungkam mulut Rendi dengan sarung tangannya dan menusukkan pisau ke jantungnya.
Rendi tersentak, matanya melebar dalam keterkejutan, tetapi ia tidak sempat berteriak. Dalam hitungan detik, nyawanya melayang. Bayangan Hitam menurunkan tubuh tak bernyawa itu perlahan ke lantai panggung, memastikan tidak ada suara yang mencurigakan.
Setelah itu, ia mengeluarkan alat pembuat tato dari kantong mantel nya dan mulai mengukir ditangan Randi yang berbentuk lingkaran hitam dengan sayap. Dengan teliti, ia mencelupkan stempel itu ke tinta khusus yang selalu ia bawa dan menekannya ke punggung tangan kanan Randi. Simbol itu terlihat jelas di atas kulit pucat korban lingkaran hitam bersayap, sebuah tanda yang hanya dikenali oleh segelintir orang sebagai jejak sang pembunuh bayangan.
Bayangan Hitam bergerak cepat namun terencana. Ia membersihkan pisau dan sarung tangannya dengan cairan khusus yang menghilangkan segala jejak. Ia memastikan tidak ada sidik jari, tidak ada noda darah, bahkan tidak ada jejak langkah di lantai berdebu.
Ia memeriksa sekeliling panggung untuk memastikan tidak ada sesuatu yang tertinggal. Tidak ada kamera pengawas di gedung tua ini, tidak ada saksi mata, dan tidak ada orang lain yang tahu bahwa ia pernah berada di sana.
Ia berhenti sejenak, kemudian mengukir sesuatu di dinding dengan menggunakan darah korban.
Jam menunjukkan pukul 23.55 ketika ia meninggalkan gedung melalui pintu belakang, sama seperti saat ia masuk. Dalam kegelapan malam, ia menghilang seperti bayangan, meninggalkan gedung teater yang kini menjadi makam tanpa tanda.
Bayangan hitam itu, mengambil ponselnya dan mengetik sesuatu. Setelahnya, ia pergi meninggalkan korban dengan bersimbah darah sembari melirik pelan ke arah korban.
"Itu adalah harga dari yang telah kau perbuat."
Ia kembali ke markasnya dan melihat papan putih yang telah dipenuhi oleh banyak foto dan beberapa koran lama.
Tangannya dengan telaten mengambil spidol warna merah dan mulai memberikan tanda silang pada orang yang baru saja ia bunuh.
"Tinggal beberapa orang lagi." Jarinya menyentuh foto-foto itu dari atas dan mulai turun secara perlahan. Hingga tangannya terhenti disebuah foto.
"Naya Vellin. Kau akan merasakannya sebentar lagi."
...****************...
Pukul 22.30, kembali ke kantor petugas detektif bagian kriminal. Sudah dua hari Naya kembali bekerja di distrik 16. Kini, gadis itu duduk ditengah dengan rekan-rekannya yang mengelilinginya. Ia menyesap kopi miliknya dan memperhatikan mereka satu-persatu.
"Naya! Jangan diam saja! Sudah dua hari kami menunggu penjelasan darimu!" marah Rayna, salah satu rekan kerja yang paling dekat dengan Naya.
"Yah, sepertinya kamu harus memberikan kami penjelasan yang lebih banyak tentang ini," sambung Rayyan.
Naya meletakkan cangkir kopinya. "Ayolah teman-teman. Kalian tahu kan, kalau aku tidak terlalu suka mengungkit kehidupan pribadi ku. Haha," tawanya canggung.
"Kau masih berani mengatakan itu pada kami?" teriak Rayna marah.
Melihat Rayna yang marah membuat Naya tak tega. Ia menghela napasnya kasar. "Aku minta maaf," ucapnya begitu tulus.
"Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Kalian juga tahu, kalau kejadian tiga tahun lalu benar-benar membuatku terpuruk. Aku...aku benar-benar terpuruk waktu itu. Hal bodoh yang telah aku lakukan tiga tahun lalu. Aku malah bersembunyi seperti seorang pengecut. Aku merasa sangat bersalah," jelas Naya lirih.
Rayyan dan Rayna saling bersitatap sendu. Mereka juga merasakan hal yang sama. Tetapi, mereka tidak seterpuruk Naya.
"Tapi, untung ada bocah kurang ajar yang menyadarkan ku." Naya tertawa kecil lalu menatap Evan sekilas.
"Sudah saya katakan. Jangan pernah memanggil saya dengan label bocah kurang ajar," ucap sarkas Evan yang diiringi tawa oleh Naya.
"Ho ho, suasana apa ini?" sontak Rayyan dan Rayna melirik Evan dan Naya bersamaan.
"Tidak ada! Ayo kembali bekerja!" Naya meraih cangkir kopinya dan kembali ke meja kerjanya.
"Oh iya, senior Owen dimana?" tanya Naya ketika menyadari ketidakberadaan Owen di ruangan ini.
"Ketua melakukan dinner bersama istri dan anaknya di sebuah restoran," sahut Rayna.
Naya mengangguk. Ia kembali membuka dokumen tentang kasus pembunuhan pertama. Dia masih ingin mencari sesuatu. Apa alasan dibalik orang ini membunuh Darman?
Sebuah notifikasi membuyarkan konsentrasinya. Siapa yang mengirimkan email jam 23.55 begini? Sudah larut malam. Tetapi, Naya tetap membukanya. Ia bingung, apa maksudnya?
...To be continue...