"Tolong maafkan aku waktu itu. Aku nggak tahu bakal kayak gini jadinya," ucap Haifa dengan suara pelan, takut menghadapi tatapan tajam Nathan. Matanya menunduk, tak sanggup menatap wajah pemuda di depannya.
Nathan bersandar dengan tatapan tajam yang menusuk. "Kenapa lo besoknya nggak jenguk gue? Gue sakit, dan lo nggak ada jenguk sama sekali setelah hari itu," ucapnya dingin, membuat Haifa semakin gugup.
Haifa menelan ludah, tangannya meremas ujung pasmina cokelat yang dikenakannya. "Plis maafkan aku... aku waktu itu lagi di luar kota. Aku beneran mau jenguk kamu ke rumah sakit setelah itu, tapi... kamunya udah nggak ada di sana," jawabnya dengan suara gemetar, penuh rasa bersalah.
mau kisah selengkapnya? ayo buruan bacaa!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
perjalanan tak terduga
Langkah Haifa melambat saat musik dari bangunan yang ramai itu terdengar semakin jelas. Dari jauh, ia mengira itu hanya sebuah kafe biasa. Namun saat mendekat, matanya menangkap tulisan besar di atas pintu.
"Hah! Ini diskotik?! Astagfirullah!" serunya pelan sambil mundur dengan cepat, rasa tak nyaman menjalari dirinya.
Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakang, membuat Haifa tersentak. "Haifa, ngapain lo di sini?"
Haifa terkejut hingga hampir kehilangan keseimbangan, tetapi tangan sigap seseorang menahan tubuhnya. Napasnya memburu saat ia mendongak dan mengenali wajah di depannya.
"Kamu?! Nathan?" serunya dengan nada campuran kaget dan malu.
Nathan tersenyum miring, matanya menatap penuh godaan. "Lo ngapain ke sini, Fa? Ntar kalau penggemar lo lihat gimana?"
"A-aku nggak tahu kalau ini tempat begituan," jawab Haifa gugup, mencoba membela diri.
Nathan terkekeh kecil. "Pasti tersesat lagi, ya?" godanya setengah jahil.
"Ih, enggak kok! Aku tahu jalan pulang!" sahut Haifa dengan nada gengsi, meski kalimat terakhirnya terdengar tak meyakinkan.
"Lo lucu banget, Fa," komentar Nathan sambil terkekeh, membuat wajah Haifa bersemu merah.
"Idih! Aku nggak lucu, ya!" protes Haifa. "Eh, kok kamu tahu ini aku?" tanyanya memicingkan mata penuh curiga.
Nathan menahan senyum. "Warna mata lo beda, susah buat nggak ngenalin."
Haifa mendengus kecil, lalu mengalihkan pandangan ke jalan yang sepi. Ia memesan taksi online, tapi berkali-kali ditolak karena waktu sudah larut malam.
"Aduh, gimana ini? Di-cancel terus," keluhnya frustasi.
Nathan menyandarkan tubuhnya ke motornya sambil menatap santai. "Makanya, jangan keluar malam sendirian. Kalau ada yang nyulik gimana?" godanya, membuat Haifa memelototinya.
"Kamu nih ya, ngeselin banget!" ucap Haifa kesal sambil celingak-celinguk mencari taksi.
"Nggak ada taksi di jam segini, Haifa," ujar Nathan santai.
Haifa meremas ujung jaketnya, bingung harus bagaimana. "Aduh, gimana dong ini?"
"Yaudah, gue anterin pulang," tawar Nathan.
Haifa langsung menggeleng. "Ogah! Gengsi banget dianterin sama kamu!"
Nathan mengangkat bahu, pura-pura hendak masuk ke diskotik. "Yaudah, gue balik aja. Biarin lo digodain om-om genit di sini."
"Ehh, tunggu!" seru Haifa panik. "Ayo deh, anterin aku pulang," pintanya dengan wajah cemas.
Nathan tertawa kecil sambil naik ke motor sport hitamnya. "Muka lo imut banget pas minta tolong," godanya.
"Idih! Aku nggak imut ya!" protes Haifa.
"Iya, iya. Ayo naik, bawel!"
Haifa ragu sejenak. "Tapi kita bukan mahram..." ucapnya pelan, hatinya gelisah.
Nathan mendesah. "Ini darurat, Fa. Mau tidur di diskotik sama om-om genit, atau gue nyewain hotel tapi lo tidur bareng gue?" godanya jahil.
"Ih! Apa sih kamu?!" Haifa memelototinya.
Nathan tersenyum kecil. "Naik atau nggak? Pilihan lo."
Dengan rasa enggan yang bercampur pasrah, Haifa naik ke motor sambil bergumam kesal, "Iya, iya... dasar ngeselin!"
Nathan hanya tertawa, melaju di jalan malam yang sepi dengan Haifa di belakangnya—dua hati yang saling menyembunyikan perasaan di tengah perjalanan pulang yang penuh cerita.
Di sepanjang jalan, angin malam berhembus menusuk kulit Haifa yang hanya mengenakan jaket tipis. Suara deru motor dan lampu jalanan menjadi saksi kebisuan mereka yang tak nyaman. Haifa berusaha menjaga jarak, tetapi terpaan angin membuatnya mau tak mau sedikit merapat ke punggung Nathan.
"Pegangan yang bener, Fa," seru Nathan di atas suara mesin.
"Aku bisa sendiri," sahut Haifa ketus, meski tangannya refleks berpegangan ke jaket Nathan saat motor sedikit oleng melewati tikungan.
Nathan tersenyum kecil, menikmati interaksi singkat itu. "Lo keras kepala banget, ya."
"Terima kasih atas pujiannya," balas Haifa dengan nada datar.
Tak lama kemudian, mereka sampai di depan rumah Haifa. Nathan mematikan mesin dan menatap gadis itu dengan ekspresi serius. "Udah sampai. Lain kali jangan keluar sendirian malam-malam, ya."
Haifa turun dengan anggun meski wajahnya masih dihiasi gengsi. "Iya, makasih. Tapi nggak usah sok peduli."
Nathan mengangkat alis. "Gue peduli? Nggak tuh."
Haifa mendengus, lalu berbalik hendak masuk ke dalam pagar rumah. Namun, langkahnya terhenti saat Nathan berbicara lagi.
"Lo selalu menarik perhatian, Fa," ucapnya lirih namun cukup jelas untuk didengar Haifa.
Jantung Haifa berdetak tak beraturan mendengar pernyataan tak terduga itu. Tapi, ia tetap menjaga ekspresinya agar tidak terlihat terpengaruh.
"Kamu juga," balas Haifa ringan, meski dalam hati ia merutuki kenapa harus menjawab seperti itu.
Nathan terkekeh. "Gue tahu," jawabnya dengan percaya diri sebelum melaju pergi meninggalkan Haifa yang kini berdiri mematung dengan pipi bersemu merah.
Di balik pintu pagar, Haifa menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan debaran jantungnya. "Dasar cowok ngeselin!" gumamnya pelan. Tapi, di balik keluhannya, ada sesuatu yang mulai tumbuh di hatinya—sebuah perjalanan perasaan yang tak terduga.