Yara Vianca tak sengaja mendapati buku nikah suaminya dengan wanita lain. Tentunya, dia merasa di khianati. Hatinya terlampau sakit dan perih, saat tahu jika ada wanita lain yang menjadi madunya. Namun, penjelasan sang suami membuat Yara tambah di buat terkejut.
"Benar, aku juga menikah dengan wanita lain. Dia Dayana, istri pertamaku." Penjelasan suaminya membuat dunia Yara serasa runtuh. Ternyata, ia adalah istri kedua suaminya.
Setelah Yara bertemu dengan istri pertama suaminya, di sanalah Yara tahu tentang fakta yang sebenarnya. Tujuan Alva Elgard menikah dengan Yara agar dia mendapat kan anak. Sebab, Dayana tak dapat hamil karena ia tak memiliki rahim. Tuntutan keluarga, membuat Dayana meminta suaminya untuk menikah lagi.
Alva tidak mengetahui jika saat itu ternyata Yara sudah mengandung. Karena takut bayinya di ambil oleh suami dan madunya setelah dirinya di ceraikan, ia memilih untuk pergi dan melepaskan suaminya.
5 tahun kemudian.
"Om Alpa, ada indomaletna nda?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan pertama Alva dan Jovan
Sore hari, Vara di izinkan untuk pulang. Bocah menggemaskan itu tentunya merasa bahagia, dia akan segera pulang dari tempat yang menurutnya sangat menakutkan ini. Namun, kebahagiaan tak berlangsung lama. Sebab, masih ada proses lain yang akan Vara jalani. Saat dokter akan mencabut selang infus Vara, anak itu menggeleng histeris.
"NDAAA! CAKIT LOOOOHH! PELAN TALIKNAAA!" Teriak Vara, padahal dokter belum menyentuh selang itu sama sekali.
Dokter yang menangani Vara pun saling pandang dengan kedua susternya, ketiganya bingung. Yara pun sudah mencoba membujuk putrinya, tetapi bocah menggemaskan itu justru semakin berteriak histeris.
"Janan di taliiikk! Nanti ... hmpp!"
Jovan membekap mulut sang adik, dia sedari tadi sudah gregetan karena Vara terus berteriak tanpa di sentuh sama sekali. Dokter yang melihatnya segera meraih tangan Vara dan melepas infusannya. Wajah Vara sudah sangat merah, sehabis ini mungkin dia akan kesal dengan abangnya itu. Setelah selesai, Jovan segera melepaskan bekapan tangannya dari mulut sang adik. Dengan cepat, dia turun dari brankar sebelum Vara melayangkan botol minum padanya.
BRUGH!
"CEMBALANGAAAANN! LIAT KALAU BALIK NANTIII! VALA JEWEL BIBILNAAA!" teriak Vara pada Jovan yang berhasil keluar dari ruangan.
Owen segera berlari mengejar Jovan, khawatir anak itu kesasar. Sementara Jovan, dia berusaha berlari menjauh. Kepalanya tetap menoleh kebelakang, sehingga dia tak sadar jika di hadapannya ada seorang pria yang berjalan ke arahnya.
"Ya, nanti filenya kirimkan ke Asisten Daniel. Saya harus menjemput adik sa ..."
Bugh!
Brak!
Jovan menabrak seorang pria yang sedang menelpon hingga membuat ponselnya terjatuh. Kepala Jovan terasa sakit, dia memegangi kepalanya seraya menatap ponsel milik pria yang ia tabrak. Dengan rasa bersalah, Jovan segera meraih ponsel itu dan mengeceknya. Ternyata, layarnya retak. Melihat itu, Jovan mendongak untuk menatap pria yang ia tabrak.
"Jovan!" Owen datang, dia segera meminta maaf pada pria yang baru saja di tabrak oleh keponakan temannya itu.
"Maafkan dia, dia enggak sengaja. Ponselmu, biar aku ganti." Ujar Owen seraya mengambil ponsel itu dari tangan Jovan.
"Gak perlu." Jawab pria itu tak lain adalah Alva. Dia lalu mengambil ponselnya dan melihat layarnya yang sudah retak. Tentunya, ponselnya bukanlah ponsel murah.
"Om, maaf. Jovan enggak sengaja, nanti Jovan bilang Bunda buat ganti ponsel Om yang Jovan rusak." Ujar Jovan seraya menundukkan kepalanya.
Alva tersenyum, dia berlutut dan mensejajarkan tingginya dengan bocah di hadapannya itu. Alva menatap lekat wajah Jovan, hatinya terasa bergetar. Seakan, dia merasa ada ikatan dengan anak itu. Namun, pria itu segera menepisnya. Dia kembali tersenyum, dan menatap Jovan dengan tatapan lembut.
"Hanya ponsel, Om bisa membelinya lagi. Tapi lain kali, lebih berhati-hati. Jangan sampai terulang lagi. Kalau kamu terluka bagaimana? Bunda dan ayahmu pasti sedih," ujar Alva memberi nasehat untuk anak itu.
Jovan mengerjapkan matanya, "Hanya Bunda yang sedih, ayah enggak." Ujar Jovan dengan raut wajah tanpa ekspresi.
Alva mengerutkan dalam keningnya, dia tak mengerti maksud yang Jovan katakan. Saat dirinya akan kembali berjaya, tiba-tiba Owen menyelanya. "Ehm Tuan, biar saya ganti saja." Ujar Owen seraya mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celananya.
"Tidak perlu, saya sedang ada urusan." Alva beranjak berdiri, dia menepuk pelan kepala Jovan sebelum beranjak pergi dari sana.
Owen mengerjapkan matanya, pria itu menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia memandang kepergian Alva seraya mengerutkan keningnya. Dia merasa familiar dengan wajah Alva, tetapi dia belum mengingatnya. Sementara Jovan, dia memandang kepergian Alva dengan tatapan yang sulit di artikan.
"Om, ayo kembali." Ajak Jovan.
"Bentar, Om rasa ... Om kenal dengan dia. Siapa yah ... eum ...." Lama Owen mengingat, akhirnya pria itu ingat juga. Dia pernah melihat Alva di foto pernikahan kakaknya yang ia tunjukkan.
"Dia kan bapaknya si kembar?!" Pekik Owen dalam hatinya.
"Om ...,"
"Ayo balik!" Owen menarik Jovan pergi dari sana.
Sementara Alva, dia menghentikan langkahnya. Pria itu menoleh ke belakang sejenak, dimana tempat dirinya bertemu dengan Jovan. Namun, sayangnya. Jovan tak lagi berada di sana, dia tak bisa melihat anak menggemaskan itu lagi.
"Cepat sekali pergi nya." Gumam Alva. Pria itu menghela nafas sejenak. sebelum pandangannya kembali lurus ke depan. Wajah menggemaskan Jovan terngiang di pikirannya.
"Kenapa aku merasa ada hal yang berbeda saat menatap anak itu." Gumam Alva.
.
.
.
Azka baru menyelesaikan pekerjaannya, pria itu segera membereskan barang-barangnya dan berniat ingin pulang. Sebelum pulang, dia harua menjemput keponakannya yang telah di perbolehkan pulang dari rumah sakit. Raut wajah tampan itu begitu terlihat serius saat mengemasi barang-barangnya.
"Langsung pulang?" Tanya teman sekantornya.
Azka mengangguk seraya tersenyum, dia menepuk pelan bahu temannya dan menggendong tasnya berlalu pergi dari sana. Pria itu memasuki area parkiran, dia menaiki motornya dan menyalakannya. Satu-satunya kendaraan yang Azka punya hanyalah motornya ini. Motor hasil kerja kerasnya dari ia lulus sma. Motor sport berwarna merah itu melaju pergi, meninggalkan parkiran kantor.
Di pertengahan jalan, Azka melihat seorang remaja perempuan tengah mengalami kesulitan. Sepertinya ban mobilnya bocor, Azka berinisiatif untuk menghentikan mobilnya dan membantunya. Melihat Azka menghentikan motornya, sontak remaja itu menoleh.
"Kak Azka?"
"Zoe?" Azka terkejut karena dia mengenali remaja perempuan itu.
Zoe namanya, remaja cantik berkulit putih dengan hidungnya yang mancung. Gadis itu tersenyum, dia mendekat ke arah Azka dengan tatapan berbinar. Perlahan, Azka turun dari motornya. Dia menatap sejenak mobil putih milik gadis itu. "Apa ada masalah dengan mobilmu?" Tanya Azka.
Zoe mengangguk, "Bannya bocor, aku tidak bisa menggantinya dengan ban cadangan. Kebetulan, ponsel ku mati. Aku tidak bisa menghubungi siapapun saat ini." Ujar Zoe dengan lembut.
Azka mengangguk, dia lalu berjongkok dan memeriksa keadaan mobil Zoe. Sementara gadis itu, dia terlihat meloncat girang. "Mimpi apa gue ketemu kak Azkaaa!" Pekik Zoe dalam hatinya.
"Ban cadangannya mana?" Tanya Azka yang membuat Zoe terkejut.
"A-ada di mobil kak, sebentar." Zoe segera membuka bagasi mobilnya, Azka pun mengambil ban itu dan mengambil beberapa alat lainnya untuk mengganti ban mobil tersebut.
Saat sedang memasang ban mobil, Azka mendapat telpon. Pria itu segera mengambil ponselnya dari saku jaketnya dan menjepitnya dengan bahunya. Lalu, dia kembali fokus mengganti ban agar cepat selesai.
"Ya, halo " Seru Azka.
"OM DIMANAAAA! JAMULAN KITA NUNGGU OM DICINIII!" Teriakan Vara sampai di dengar oleh Zoe.
Azka tertawa kecil, "Sabar yah cantik, Om sedang ada masalah di jalan." Sahut Azka.
Zoe tertegun sejenak, dia menatap pria yang sedang tersenyum itu. Jantung Zoe berdegup kencang, tangannya segera terangkat dan memegangi d4d4nya. "Aduh, jantung aku." Batin Zoe.
Setelah Azka selesai menelpon, pria itu memasukkan ponselnya kembali ke tempat semula. Dia kembali fokus pada kegiatannya agar cepat menjemput ponakan lucunya.
"Tadi yang telpon, siapa?" Tanya Zoe mencairkan suasana.
"Keponakan, kebetulan baru saja di rawat dan sudah di izinkan pulang saat ini." Jawab Azka.
"Kamu sendiri, kenapa bisa ada di bandung?" Tanya Azka tanpa menatap wajah gadis itu.
"Aku ...,"
"Zoe!" Azka dan Zoe menoleh ke arah sebuah mobil yang berhenti di dekat mereka. Azka menghentikan kegiatannya saat melihat pria yang memanggil Zoe. Keduanya saling tatap dengan tatapan terkejut. Tak menyangka, Azka bisa bertemu kembali dengan Alva.
"Abang." Gumam Zoe menatap ke arah Alva yang berjalan mendekat ke arahnya.
Azka berdiri, dia beralih menatap Zoe dengan tatapan datarnya. "Zoe, sudah selesai. Kalau gitu, aku pergi dulu." Pamit Azka dan bergegas kembali ke motornya.
"Eh iya, makasih Kak!" Seru Zoe dengan tersenyum lembut.
Azka mengangguk, dia memakai helmnya dan segera melajukan motornya pergi meninggalkan Zoe dan Alva yang berada disisinya. Setelah Azka menghilang dari pandangannya, pria itu menoleh ke arah Zoe yang masih melihat ke arah kepergian Azka.
"Sayang sekali, awalnya aku ingin mengenalkannya pada kakak. Padahal ingin ngobrol sebentar, tapi keburu dia pergi menjemput ponakannya." Gumam Zoe yang mana membuat Alva terkejut.
"Ponakan? Sejak kapan Azka punya ponakan?" Kaget Alva dalam hatinya.
"Kenapa Abang terlihat kaget begitu? Bisa jadi kan ponakannya itu anak dari kakaknya atau adiknya." Sahut Zoe dengan memandang heran ke arah pria yang sedang mematung itu.
"Satu-satunya saudara yang Azka miliki hanyalah Yara, mungkinkah Yara ...."
___
Jangan lupa dukungannya🥰🥰