Gubee, Pangeran Lebah yang ingin merubah takdirnya. Namun semua tidaklah mudah, kepolosannya tentang alam membuatnya sering terjebak, dan sampai akhirnya menghancurkan koloninya sendiri dalam pertualangan ini.
Sang pangeran kembali bangkit, mencoba membangun kembali koloninya, dengan menculik telur calon Ratu lebah koloni lain. Namun, Ratu itu terlahir cacat. Apa yang terjadi pada Gubee dan Ratu selanjutnya?
Terus ikuti ceritanya hingga Gubee terlahir kembali di dunia peri, dan peperangan besar yang akan terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R M Affandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Kerinduan Dan Keabadian
Diatas kelopak bunga Edelweis yang lembut dan berbulu putih, semut-semut merah tampak mencolok. Semut tersebut dengan lincah merayap di antara benang sari dan kepala putik, menelusuri setiap lekuk kelopak bunga Edelweis yang halus.
“Apa yang mereka lakukan disini?” tanya Gubee pada kunang-kunang tua.
“Apalagi, kalau bukan menghisap nektar bunga Edelweis!” terang kunang-kunang tua.
“Darimana asal mereka? Kenapa tubuhnya begitu besar?
“Aku tidak tahu darimana mereka berasal. Sepertinya mereka sudah lama hidup di antara bunga Edelweis ini. Tubuh mereka yang besar itu, dikarenakan umur mereka yang sudah sangat lama. Nektar bunga Edelweis membuat mereka berumur panjang.
Gubee teringat perkataan semut penjaga beberapa hari lalu.
“Mungkinkah mereka semut pekerja yang di utus Ratu semut merah untuk mencari nektar bunga Edelweis? Kenapa mereka tak kembali ke koloni mereka?
“Apa yang kau pikirkan Gubee? Kunang-kunang tua membuyarkan lamunan Gubee.
“Ah!, aku cuma teringat akan seekor semut merah penjaga yang ku temui beberapa hari lalu kunang-kunang tua. Sepertinya semut-semut ini berasal dari koloni semut merah penjaga yang ku temui itu.
“Benarkah?
“Ya! Firasatku begitu. Aku yakin. Merekalah semut pekerja yang di utus oleh Ratu semut merah untuk mencari nektar bunga Edelweis. Ratu semut merah sangat membutuhkan nektar bunga keabadian ini, karena umurnya sudah tidak akan lama lagi, sedangkan dia belum melahirkan calon ratu penerusnya.” ungkap Gubee terus memperhatikan gerak-gerik semut-semut merah yang tak jauh di bawahnya.
“Tapi mengapa mereka tidak kembali ke koloni mereka dan membawakan nektar untuk ratu semut merah?” sambung Gubee lagi, heran.
“Nektar bunga Edelweis tidak hanya manis dan lezat, tetapi juga menjanjikan keabadian. Banyak serangga yang melupakan koloni mereka setelah sampai di tempat ini. Keinginan untuk hidup lebih lama akan membuat mereka lupa pada segalanya.
“Keabadian akan selalu menjadi tujuan di setiap kehidupan. Apalagi mereka golongan serangga yang dapat bertahan hidup di tempat yang beroksigen rendah. Tak ada alasan mereka untuk tidak berlama-lama di sini.” beber kunang-kunang tua pada Gubee.
“Tapi koloni mereka sangat bergantung pada mereka. Koloni mereka akan punah jika ratu semut merah tak mendapatkan nektar bunga Edelweis ini. Aku tak percaya, golongan serangga yang selalu setia pada Ratunya bisa seperti ini.” Gubee tampak kesal.
“Sudahlah. Kesetian hanya akan terdengar seperti basa-basi di tempat ini. Sebaiknya kita segera mengambil nektar bunga Edelweis, sebelum anggrek-anggrek ini terbangun kembali,” ajak kunang-kunang tua memandangi bulan yang berada tepat di atas kepalanya, mulai berangsur turun.
“Kau benar. Ayo!” Gubee mengepakkan sayapnya lebih cepat, mengudara diatas hamparan bunga-bunga Edelweis.
“Kita harus mencari kuntum bunga yang tak di huni serangga-serangga besar itu,” ucap kunang-kunang tua memperhatikan satu persatu tangkai bunga Edelweis.
Cukup lama Gubee dan kunang-kunang tua terbang rendah mengintari bunga-bunga Edelweis yang tumbuh di puncak gunung Alpen. Namun, tak satupun dari bunga-bunga itu yang tak dihuni oleh serangga yang berasal dari koloni semut merah.
“Apa yang harus kita lakukan? Ada semut merah di setiap tangkai bunga ini,” ujar Gubee tak menemukan tangkai bunga yang kosong.
“Tadinya jumlah mereka tidak sebanyak ini. Kenapa sekarang tiba-tiba saja jumlah mereka bertambah?” Kunang-kunang tua pun kebingungan.
“Apakah kita tidak bisa meminta nektar bunga Edelweis ini pada semut itu?
“Aku tidak yakin mereka akan berbaik hati Gubee!
“Aku rasa, tidak ada cara lain selain mencobanya.” Gubee merendah mendekati setangkai bunga Edelweis yang sedang ditempati oleh seekor Semut merah raksasa.
“Gubee, tunggu! Mereka bisa menyakiti mu!
Kunang-kunang tua tampak cemas melihat keberanian Gubee. Namun Gubee tak sedikitpun ragu pada niatnya. Ia terus menukik mendekati bunga Edelweis.
“Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau ingin mengambil nektar bunga ini?” Semut merah raksasa mengetahui kehadiran Gubee yang terbang rendah di atas kepalanya.
“Ya. Aku sangat butuh nektar bunga Edelweis.
“Ha..ha..ha..” Semut merah raksasa tertawa. Suaranya terdengar berat dan kasar, menandakan umurnya yang sudah sangat tua.
“Semua serangga di dunia ini juga butuh nektar bunga ini!” imbuhnya.
“Bolehkah aku mengambil sedikit nektarnya?” pinta Gubee memelas.
“Silahkan. Tapi setelah itu kau harus menjadi santapanku! Ha..ha..haa..!” Semut merah raksasa tertawa keras.
“Ayo! Turunlah kunang-kunang kecil! Ha..ha..ha!” cetus semut itu sambil memainkan capitnya yang tajam.
“Jangan Gubee! Dia bisa memakanmu!” Kunang-kunang tua menghalangi Gubee yang hendak terbang lebih rendah mendekati Semut merah raksasa.
“Jangan khawatir, aku akan berhati-hati.” bisik Gubee meyakinkan kunang-kunang tua yang semakin cemas.
Gubee perlahan-lahan merendah mendekati semut merah raksasa. Jarak mereka sudah semakin dekat, namun Gubee tampak tetap tenang tanpa rasa takut sedikitpun.
“Hehehe.. sepertinya umurmu sudah benar-benar tua semut merah. Sampai-sampai kau tidak bisa membedakan antara kunang-kunang dan lebah,” kelakar Gubee tertawa kecil.
Semut merah raksasa memandangi tubuh Gubee yang masih memancarkan cahaya. Lingkaran cincin berwarna hitam tampak jelas membalut cahaya yang terang di tubuh Gubee bagian bawah. Ia juga memperhatikan kepala Gubee yang tak serupa dengan kunang-kunang tua yang juga terbang merendah di atasnya. Antena Gubee dan kunang-kunang tua jelas tampak berbeda.
“Kau terlihat seperti seekor lebah?” simpulnya heran.
“Aku memang lebah.
“Kenapa tubuhmu bercahaya seperti kunang-kunang?” Semut merah raksasa semakin keherenan mendengar pengakuan Gubee.
“Ini berkat minyak pemberian Ratumu.” ungkap Gubee.
“Ratuku??
Gubee membuka tabung minyak yang terikat di pinggangnya. Kemudia ia meneteskan minyak pemberian Ratu semut merah itu ke tubuh semut merah raksasa. Tetesan minyak itu tepat mengenai bagian ekor semut merah raksasa. Dan bagian belakang tubuh Semut merah raksasa itupun bercahaya.
“Apa kau mengenal minyak itu?
Semut merah raksasa hanya diam. Ia masih terpaku memandangi ujung ekornya yang memancarkan cahaya.
“Apa kau lupa sebuah sarang megah yang ada di bawah pohon willow?
Selintas, ingatan semut merah raksasa terbawa ke sebuah sarang yang terletak di bawah pohon Willow yang menjuntai dengan anggun. Sarang tersebut terdiri dari gundukan tanah yang ditinggikan, berwarna cokelat kemerahan, terbuat dari butiran tanah yang disusun rapi oleh semut-semut merah pekerja.
Di sekitar sarang, tampak akar-akar pohon Willow yang menyembul dari tanah, menambah kesan alami pada lingkungan tersebut. Ranting-ranting pohon Willow yang lembut menggantung di atas sarang, memberikan naungan dan perlindungan dari sinar matahari langsung.
Semut-semut merah yang sibuk lalu lalang keluar masuk sarang, membawa makanan dan bahan-bahan untuk memperluas sarang, juga membayang dalam lamunan semut merah raksasa. Dan ingatan akan suara gemerisik daun Willow yang tertiup angin, menambahkan kerinduan semut merah raksasa pada tempat dimana koloninya itu berada.
“Aku sangat merindukannya,” lirihnya kemudian.
“Aku rindu tempat itu. Aku rindu mereka dan juga Ratu,” desahnya mengusap-usap ujung ekornya yang bercahaya.
Lanjut Bab 9