"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rian solekhin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Berakhir?
Ryan tidak bisa tidur malam itu. Pikiran tentang tawa Ivan dan tatapan dingin Rei terus menghantui, seperti bayangan yang tidak pernah pergi. Setiap kali ia memejamkan mata, ingatan tentang bagaimana mereka mempermalukannya di kantin, di gang, di depan orang-orang, muncul lagi. Tak ada tempat aman. Bukan di sekolah, bukan di rumah, bahkan di pikirannya sendiri.
Hari-hari berlalu dalam kegelapan tanpa akhir. Tiap kali melangkah ke sekolah, perutnya melilit oleh kecemasan, takut apa yang akan terjadi. Rei dan Ivan selalu di sana, tidak perlu melakukan apapun- kehadiran mereka sudah cukup membuat Ryan tersiksa.
Pagi itu, langit kelabu, hujan gerimis turun perlahan. Udara lembap dan dingin menggigit kulitnya saat ia berjalan ke sekolah. Langkahnya berat, seolah-olah beban yang ia pikul menambah setiap detiknya.
'Semoga hari ini tidak ada apa-apa,' pikir Ryan. Namun, harapannya selalu kosong. Setiap kali ia berharap, kenyataan datang dengan lebih keras.
Sampai di sekolah, suasana terasa aneh. Tidak ada tatapan, tidak ada bisikan seperti biasa. Semua terlalu tenang. Ryan membuka lokernya, mencoba fokus pada rutinitas biasa. Tapi sebuah kertas kecil jatuh ke lantai.
Dia meraihnya dan melihat tulisan tangan yang sangat ia kenal. Hanya ada satu kalimat di sana.
[Temui kami di belakang gedung setelah sekolah.]
Jantungnya berdegup kencang. la tahu ini akan buruk.
Selama pelajaran, kata-kata guru menghilang dalam kabut kecemasan yang terus membelenggu pikirannya. 'Apa yang mereka inginkan kali ini?' Tidak ada tempat untuk bersembunyi. la sudah terjebak sejak awal.
Saat bel terakhir berbunyi, kepanikan menyebar di seluruh tubuh Ryan. Teman-temannya bergegas pulang atau berkumpul, tapi ia hanya bisa berjalan dengan hati yang berat. Seolah jalan itu tak punya ujung, namun ia tahu, tidak bisa lari.
Di belakang gedung, hujan sudah berhenti, tapi tanah masih basah. Suara tetesan air dari atap mengiringi keheningan yang mengerikan. Ryan berjalan pelan, dan melihat mereka. Rei dan Ivan sudah menunggunya di sana, seperti dua bayangan yang siap mencengkeram.
"Ah, akhirnya datang juga," Rei berkata dengan senyum sinis, melangkah maju. "Kupikir kau akan kabur."
Ryan menunduk, tak berani menatap mereka. "Apa yang kalian mau?" tanyanya dengan suara lemah.
Ivan mendekat, menyeringai. "Hanya ngobrol, tenang saja."
Ryan ingin lari. Tapi tidak ada gunanya. "Aku nggak mau masalah," ucapnya, nyaris tak terdengar.
"Masalah?" Rei tertawa kecil. "Kita cuma mau bersenang-senang."
Dalam sekejap, Ivan mencengkeram kerah bajunya, mendorong Ryan ke dinding. Kepalanya membentur tembok, rasa pusing langsung menyerang.
"Kenapa kalian lakukan ini?" Ryan mencoba bertanya, suaranya gemetar.
"Kau membosankan, Ryan," kata Rei dengan nada datar. "Mungkin sudah waktunya kita selesai main-main."
Ivan menyeringai lebih lebar. "Lagipula, siapa yang peduli?"
Mereka mulai menyeret Ryan ke gang sempit di belakang gedung. Tembok-tembok basah mengelilingi, tidak ada jalan keluar. Ryan mencoba melawan, tapi kekuatannya tak sebanding. Setiap kali ia mencoba bergerak, mereka mendorong lebih keras.
"Tolong, hentikan," suara Ryan serak, tapi tidak didengar.
Pukulan pertama mendarat di perutnya, membuatnya terhuyung ke tanah. Rei menendangnya, diikuti dengan pukulan Ivan ke punggungnya. "Kau ini benar-benar tidak berguna," ejek Rei sambil menendang lagi. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh, membuatnya terbaring, gemetaran.
Pukulan demi pukulan, semakin membuat tubuh Ryan melemah. Setiap benturan seakan memotong sedikit demi sedikit kekuatannya. la mencoba bertahan, tapi tidak bisa. Tubuhnya mulai menyerah.
"Sudah cukup, dia nggak bisa berdiri lagi," Ivan tertawa, menendang kaki Ryan yang sudah terlipat di tanah.
Ryan meringkuk, tubuhnya basah oleh air hujan dan darah. Dunia di sekitarnya kabur, suara tawa mereka terdengar jauh, seperti di dunia lain. Pandangannya mulai menggelap. 'Apakah ini akhirnya?' pikirnya, tubuhnya perlahan kehilangan kesadaran.
"Yah, cukup untuk hari ini," Ivan menyeringai, berdiri.
"Benar," kata Rei, melihat tubuh Ryan yang tak bergerak. "Ayo pergi."
Tak lama kemudian, Ryan terbangun di atas tanah yang dingin dan basah. Kepalanya berdenyut, tubuhnya terasa berat. Sakit menjalar ke seluruh tubuh, setiap inci terasa memar. Gang sempit di belakang gedung masih gelap, dan tak ada seorang pun di sana. Hanya dirinya, tergeletak seperti sampah yang dibuang.
Dia mencoba duduk, menggertakkan gigi menahan nyeri di punggung dan dadanya. Setiap gerakan terasa menyiksa. Darah mengalir dari sudut bibirnya, dan ada rasa besi yang pahit di lidahnya. Napasnya pendek-pendek, tertahan oleh rasa sakit yang menggigit.
"Kenapa... kenapa aku harus terus kayak gini?" gumamnya, suara yang hampir tak terdengar di tengah dingin yang membekukan.
Ia meraba tanah dengan tangan gemetar, mencoba menopang tubuhnya untuk berdiri. Kakinya bergetar hebat, dan lututnya nyaris menyerah begitu saja. Pandangannya buram, tapi ia tahu tak bisa tetap di sana. Dia harus pergi. Harus keluar dari tempat ini.
Dengan susah payah, Ryan menyeret langkah, setiap gerakan seperti menyayat tubuhnya lebih dalam. Langit masih mendung, sisa hujan masih menetes dari atap. Dia berjalan perlahan, membiarkan air hujan mengguyur tubuhnya, mencoba menghapus rasa sakit, meskipun itu tak mungkin.
Begitu tiba di rumah, Ryan langsung menuju kamarnya, mengunci pintu di belakangnya. Dia menatap cermin, melihat wajahnya yang penuh luka, lebam-lebam menghiasi kulitnya. Ada darah kering di sekitar mulutnya, dan matanya tampak redup, kehilangan cahaya.
"Ini... semua nggak adil," bisiknya pelan.
Ryan menatap pantulan dirinya, dan kemarahan itu mulai membakar. Bukan kemarahan yang meledak-ledak, tapi kemarahan yang dalam, gelap, yang menggerogoti sedikit demi sedikit. Ia sudah muak. Muak menjadi mainan. Muak dengan semua ini.
"Mereka kira bisa terus seperti ini..." gumamnya, menggenggam tangannya hingga buku-bukunya memutih. "Suatu hari, aku akan buat mereka menyesal."
Pikiran itu mulai meresap, mengisi setiap celah kepalanya yang kosong. Ia tahu, tak bisa terus bertahan seperti ini. Tidak selamanya.
Di novelku juga ada permainan seperti itu, judul chapternya “Truth to Truth. Tapi beda fungsi, bukan untuk main atau bersenang-senang. 😂