Demi menghindari kejaran para musuhnya, Azkara nekat bersembunyi di sebuah rumah salah-satu warga. Tanpa terduga hal itu justru membuatnya berakhir sebagai pengantin setelah dituduh berzina dengan seorang wanita yang bahkan tidak pernah dia lihat sebelumnya.
Shanum Qoruta Ayun, gadis malang itu seketika dianggap hina lantaran seorang pemuda asing masuk ke dalam kamarnya dalam keadaan bersimbah darah. Tidak peduli sekuat apapun Shanum membela diri, orang-orang di sana tidak ada satu pun yang mempercayainya.
Mungkinkah pernikahan itu berakhir Samawa sebagaimana doa Shanum yang melangit sejak lama? Atau justru menjadi malapetaka sebagaimana keyakinan Azkara yang sudah terlalu sering patah dan lelah dengan takdirnya?
•••••
"Pergilah, jangan buang-buang waktumu untuk laki-laki pendosa sepertiku, Shanum." - Azka Wilantara
___--
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35 - Obatnya Cuma Satu ~ Azkara
Dengan langkah ragu, Sabila berlalu menuju kamar Shanum. Pertama kali dalam hidup dia akan meminta maaf lebih dulu. Padahal, seumur-umur pantang baginya melakukan hal itu, kecuali jika terpaksa jika sudah benar-benar dipaksa Kiyai Habsyi.
Tak heran jika hari ini Sabila sampai segugup itu. Dia mulai merangkai kata sejak awal keluar dari kamarnya, berkali-kali dia ulang hingga ketika hendak mengetuk pintu kamar Shanum, samar terdengar suara Azkara yang membuat Sabila mengurungkan niatnya.
"Sayang jangan gerak, susah jadinya."
"Mas Azka jangan dipencet!!"
"Ah? Sakit banget memang?"
"Iya lah, jauhin tangannya ... jahil banget heran."
Azkara tergelak, entah apa yang sebenarnya mereka lakukan, Sabila juga kurang tahu. Dia menerka-nerka dengan pikiran yang sama sekali tidak ada baiknya. Interaksi pasangan pengantin yang terdengar manis di dalam sukses membuatnya panas hati.
"Ck, mereka ngapain sih? Lebay banget."
Hanya karena mendengar, belum melihat apa yang mereka lakukan, tapi rahang Sabila sampai mengeras. Sejak dahulu, dia adalah seseorang yang paling tidak suka akan kebahagiaaan Shanum, apapun itu.
Tidak peduli kecil atau besar, selagi Shanum yang bahagia jelasnya dia murka. Niatnya untuk mengetuk pintu dan minta maaf tertunda, entah kenapa dia justru masih terus berdiri di sana.
Bertahan dengan suasana hati yang panas tiada tandingannya. Semakin dia dengar gelak tawa Shanum, kekesalan di jiwanya kian bergelora. Cukup lama berselang, Sabila kembali dibuat gelagapan tatkala pintu kamar terbuka dan memperlihatkan wajah datar Azkara di sana.
Seperti biasa, sama sekali tidak ada senyum keramahan di sana. Matanya masih setajam itu, tapi bukan berarti ditatap lekat. "Eh? Kak Azka?" tanya Sabila berlagak kaget dan sontak merapikan hijab yang membuat Azkara semakin geli.
"Sedang apa?"
"Ehm mau ketemu Kak Shanum, boleh 'kan ya?" tanya Sabila lemah-lembut sudah persis pasien tipes.
Mendengar alasannya, Azkara membuka pintu kamar dan mempersilakan Sabila masuk. Tanpa kata, benar-benar sedingin itu hingga membuat Sabila semakin beku.
Kendati demikian, tidak mungkin Sabila kembali tanpa hasil. Walau rasa malu sudah membelenggu bahkan lebih besar dari tubuhnya sendiri, Sabila tetap pada tujuan utamanya, meminta maaf pada Shanum tentu saja.
.
.
"Ehem!!"
"Sabila?"
Shanum mengerutkan dahi begitu melihat Sabila muncul dari balik pintu. Dia yang baru saja berganti pakaian sejenak membuat Sabila salah fokus. Bukan karena mewahnya saja, tapi otak Sabila sudah berpikir kemana-mana.
Terlebih lagi, beberapa saat lalu dia mendengar interaksi mereka yang bercanda berdua, jelas Sabila kian curiga. "Sabila? Apa ada yang ingin kamu bicarakan?"
"Ya Tuhan, sampai lupa akunya mau bilang apa ... Kak Shanum cantik sekali pakai gaun itu," pujinya pandai sekali mengambil hati.
Shanum yang mendengar hanya mengerutkan dahi. Aneh sekali sampai memuji, biasanya juga tidak pernah. Kalaupun pakaian Shanum lebih bagus di matanya, maka Sabila akan merengek dan meminta Umi Martika menukar pakaian mereka, dan itu terjadi hingga Shanum lulus SMA.
"Ah iya, aku sengaja datang ke kamar Kakak ... kita belum maaf-maaf an tadi, aku sibuk soalnya." Sembari bicara, Sabila meraih tangan Shanum dan menarik wanita itu dalam pelukan.
Tak lupa mencium pipi kanan kiri seolah memang akur sekali. Padahal, di awal pertemuan setelah bersalaman dengan kedua orang tuanya, Shanum sempat menuju ke arah Sabila.
"Eh bentar, ini cincinnya juga Masya Allah sekali, Kak ... Kak Azka yang kasih?"
Seolah tak puas dengan memuji pakaian, Sabila terang-terangan memuji cincin berlian yang tersemat di jari manis Shanum. Wajahnya terlihat berbinar, seolah bahagia sekali Shanum mengenakannya.
Padahal, sebelum ini Sabila sempat mempertanyakan keaslian berlian tersebut saking panasnya. Dan, kali ini dia bersikap luar biasa manis hingga Shanum tersenyum miris.
"Tentu saja, kalau aku mana kebeli, Sabila," balas Shanum ogah-ogahan.
Perubahan sikap Sabila yang terkesan tidak masuk akal ini membuatnya sangat muak, sungguh. Masih Shanum ingat betul sesinis apa Sabila menatap mereka tatkala hendak berangkat ke Jakarta.
Tak heran jika sang suami sampai bertekad menunjukkan seberapa kaya dirinya. Orang-orang seperti Sabila memang pantas ditampar dengan fakta.
"Iya juga," sahut Sabila agak sedikit kaku karena Shanum mendadak cuek juga.
Tidak seperti biasanya, entah karena ketularan Azkara atau karena terlalu dalam rasa sakitnya, Shanum terlihat begitu berbeda. "Ehm, oh iya? Kalau boleh tahu Kak Azka sekaya apa?"
"Untuk apa kamu bertanya?"
"Tanya saja, sebagai adik aku hanya ingin memastikan hidup Kakak benar-benar terjamin di Jakarta," ungkap Sabila dengan wajah super seriusnya.
Telinganya belum tuli, seketika Sabila mengucapkan omong kosong yang paling menjijikkan sepanjang sejarah. "Memastikan?"
"Hem, aku sama Umi benar-benar kepikiran nasib Kakak di sana gimana ... karena tahu sendiri buat pulang ke Jakarta saja Kak Azka harus pinjam uang Abi," lanjut Sabila panjang lebar dan sungguh, ini adalah puncak dimana Shanum sampai tertawa hambar.
"Terima kasih kepeduliannya, aku jadi terharu ... kalian banyak berubah ternyata."
"Ma-maksudnya?" tanya Sabila mulai tidak enak, cara Shanum semakin mencurigakan di matanya.
"Ya berubah, agak aneh sebenarnya ... karena seingatku, dulu kalian bahkan sampai melarang Abi mengirimkan uang ketika aku kuliah di Yaman, padahal di sana aku sendirian. Tapi Masya Allah-nya sekarang Umi dan adikku seperhatian ini, padahal aku tinggalnya sama suami dan jarak Yogya-Jakarta itu termasuk dekat, bukankah ini aneh jika dibilang peduli?"
Sembari melayangkan tatapan tak terbaca ke arah Sabila, Shanum sengaja melontarkan kalimat menohok yang sukses membuat lawan bicaranya ciut.
Wajah Sabila seketika berubah, dia yang agaknya sadar maksud Shanum mendadak tidak sudi bicara lebih lama. Sadar jika niatnya terbaca, Sabila berlalu keluar tanpa kata.
Langkahnya menghentak-hentak, tidak peduli sekalipun orang di ruang tamu masih ramai. Dada wanita itu naik turun, hingga setelah keluar dari kamar Shanum dia sudah tidak kuasa untuk meluapkan kekesalannya.
"Cih!! Baru juga sebentar makanya diperlakukan semanis itu, kalau sudah lama pasti Kak Azkara bosan, Shanum!! Jangan sombong kamu," gumamnya sembari memukul angin seolah Shanum berada di hadapannya.
Tanpa sedikit pun Sabila sadari jika sejak tadi tingkahnya tertangkap oleh mata seseorang yang sama sekali tidak berpindah sejak awal dia masuk ke kamar Shanum.
Dia yang tak sadar masih terus mengomel, hingga setelah Azka berdehem barulah Sabila pucat pasi dan terpaku di tempat.
Azkara tertawa pelan, tak lupa dia menghampiri adik ipar dengan penyakit iri yang sudah tidak bisa diselamatkan itu. "Ternyata benar."
"Be-benar apanya?" sahut Sabila menatap Azkara yang kini sedang bersedekap dada.
"Manusia kalau sudah kena penyakit hati susah ... setahuku obatnya memang cuma satu, MATI," pungkas Azkara sengaja menekan kata-kata diujung kalimat sebelum kemudian masuk kembali ke kamar istrinya.
.
.
- To Be Continued -
kanebo kering manaaaa
gak boleh num-num