Namanya Erik, pria muda berusia 21 tahun itu selalu mendapat perlakuan yang buruk dari rekan kerjanya hanya karena dia seorang karyawan baru sebagai Office Boy di perusahaan paling terkenal di negaranya.
Kehidupan asmaranya pun sama buruknya. Tiga kali menjalin asmara, tiga kali pula dia dikhianati hanya karena masalah ekonomi dan pekerjaannya.
Tapi, apa yang akan terjadi, jika para pembenci Erik, mengetahui siapa Erik yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari Informasi
"Apa mereka mau memaafkan aku?" tanya Tuan besar nampak begitu ragu. Wajah yang biasa terkesan dingin, sekarang terpancar gelisah yang tak terhingga.
Alex tersenyum tipis. "Lalu, apa tujuan anda mencari mereka selama ini? Bukankah untuk menebus kesalahan?"
Ucapan Alex, bukannya menenangkan, tapi semakin menambah kepanikan pada wajah Tuan besar. Pria itu menyandarkan kepalanya dan memejamkan kedua mata.
"Pesankan beberapa makanan, Lex. Dia berangkat terlalu pagi, mungkin dia belum sarapan," titah Tuan besar mengalihkan pembicaraan agar suasana hatinya tidak semakin kacau.
"Baiklah," Alex pun langsung mengambil ponsel dalam sakunya.
Selang beberapa menit kemudian, datanglah dokter pribadi Tuan besar.
"Loh, kamu baik-baik saja?" Dokter bernama Inzagi itu nampak kaget, melihat keadaan Tuan besar yang sangat sehat.
"Ya, seperti yang kamu lihat. Masuklah ke kamar dan periksa anak yang ada di sana," titah Tuan besar.
Dokter Inzagi menatap heran sahabatanya, lalu dia juta menatap Alex menuntut sebuah penjelasan.
"Masuklah, nanti saya yang akan menjelaskan setelah anda memeriksa keadaan anak itu," ucap Alex.
Sang dokter mengangguk dan dia segera menuju satu-satunya kamar yang ada di ruang tersebut.
Begitu masuk, dokter itu nampak kaget dengan apa yang dia saksikan. Apa lagi setelah dia melihat seragam yang dipakai Erik, rasa penasarannya pun semakin menguat.
"Tidak perlu bangun," ucap sang dokter. "Aku akan memeriksa kondisi kamu, jadi tetaplah berbaring."
Erik pun langsung mengurungkan niatnya. Dengan cekatan dokter langsung melakukan pemeriksaan secara menyeluruh.
"Apa kamu baru saja kalah dalam pertarungan?" tanya sang dokter kala menyaksikan beberapa ruam merah pada beberapa bagian tubuh pasiennya.
"Bagaimana saya bisa menang kalau saya tiba-tiba mendapat serangan. Apa lagi pagi ini saya memang sedang tidak bersemangat. Jadinya, badan saya malah babak belur seperti ini," balas Erik.
Inzagi lantas tersenyum. "Lalu, apa hubunganmu sama Tuan besar?"
"Tuan besar?" Erik balik bertanya.
"Iya, pemimpin perusahaan ini," jelas Insagi.
"Oh, tidak ada, Tuan. Malah saya baru saja dipecat oleh beliau."
"Apa! Dipecat? Kok bisa?" Sang dokter kembali kaget.
"Karena saya dikira akan mencuri cincin miliknya, Tuan. Padahal tadi aku tidak sengaja melihat cincin itu saat sedang membersihkan meja kerja beliau."
Inzagi mengangguk beberapa kali meski rasa penasarannya masih menguat.
"Tapi kamu hebat, bisa berada di dalam kamar ini," ungkap Dokter.
"Hebat kenapa, Tuan?" Erik pun jadi penasaran.
"Ya hebat. Saya sendiri sebagai sahabatnya, dilarang keras masuk ke dalam kamar ini tanpa perintah. Apa lagi orang lain."
Erik terpengarah mendengarnya.
"Keadaanmu baik-baik saja. Tapi untuk memastikannya, kamu bisa berkunjung ke rumah sakit saya, mengerti?"
"Mengerti, Tuan. Terima kasih."
Dokter Inzagi hanya tersenyum. Setelah itu, dia pamit, meninggalkan Erik yang makin tenggelam dalam rasa penasaran.
Begitu Inzagi keluar, dia langsung memberi penjelasan kepada Tuan besar tentang kondisi Erik. Disaat itu pula, dia juga menuntut penjelasan kepada dua orang terdekatnya.
"Astaga!" betapa terkejutnya Inzagi setelah mendengar penjelasan dari Alex. "Kalau orang tuanya tahu, gimana nasib kamu, hah!" bentak Inzagi kepada Tuan besar.
"Iya, tuh, marahin aja, Dok," ucap Alex memprovokasi.
Tuan besar hanya menghela nafas. Begitu makanan yang di pesan datang, dia segera memberi perintah Alex untuk memanggil Erik. Sedangkan Insagi memlih pergi ke tempat kerjanya.
"Duduklah," titah Alex begitu Erik keluar kamar. Erik pun merasa bingung. Apa lagi saat menatap sang presdir, pemuda itu sampai dibuat canggung.
"Duduk, Erik! Tuan besar tidak akan menerkammu," Alex mengulang titahnya membuat Erik hampir saja tertawa.
"Ini..." ucap Erik kala menatap makanan di hadapannya.
"Makanlah," perintah Alex lembut.
"Tapi, saya ..."
"Makan!" Kali ini Tuan besar yang memberi perintah sampai Erik terlonjak dibuatnya.
"Baik, Tuan," dengan perasaan bingung, Erik terpaksa menikmati hidangan yang sudah pasti harganya sangat mahal.
"Kamu, sudah berapa lama kerja di sini?" Tanya Alex beberapa saat kemudian untuk mencairkan suasana tegang dalam ruangan tersebut.
"Sudah masuk bulan ke empat, Tuan," jawab Erik pelan. Begitu juga saat menikmati makanannya.
"Apa kamu memiliki alasan khusus, memilih bekerja di sini?" tanya Alex lagi seperti sedang menyelidiki Erik.
Erik berpikir sejenak, lalu dia menggeleng. "Waktu saya melamar pekerjaan di perusahaan ini, sebenarnya saya juga melamar di tempat lain. Tapi ternyata yang menerima saya, hanya di sini saja."
Alex nampak mengangguk, sedangkan Tuan besar bersikap datar meski sebenarnya dia juga sangat penasaran.
"Terus, bagaimana reaksi keluargamu, saat tahu kamu kerja di sini? Pasti mereka sangat senang bukan?" terka Alex.
Namun sayang sekali, Erik malah menggeleng, dan hal itu cukup mengejutkan dua pria dewasa di sana
"Sampai detik ini, Ibu belum tahu, kalau saya bekerja di sini," jawab Erik.
"Belum tahu?" kali ini Tuan besar tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
Erik mengangguk pelan beberapa kali. "Ibu pasti bakalan marah besar, kalau tahu saya bekerja di Paragon."
"Marah? Kenapa bisa marah?" cecar Tuan besar.
"Saya tidak tahu, Tuan. Pokoknya ibu selalu ngasih peringatan, jangan sampai saya bekerja di sini."
"Terus, kalau ayah kamu?" Alex kembali melempar pertanyaan.
Erik nampak menghela nafas berat. "Kata Ibu, ayahku sudah meninggal sejak aku masih bayi."
"Apa!" suara Tuan besar langsung menggelegar. Bahkan dia langsung meletakkan sendok dengan keras ke atas meja. "Bagaimana bisa dia ngomong seperti itu?"
"Saya tidak tahu, Tuan. Tapi memang dari kecil saya tidak pernah melihat wajah ayah saya," jawab Erik, agak takut melihat sikap Tuan besar yang kembali murka.
"Kalau begitu, cepat habiskan makanannya, lalu kita ke rumahmu, sekarang!" titah Tuan besar, langsung beranjak menuju kursi kebesarannya.
"Tapi, Tuan..." Erik kaget. Saat itu juga dia merasa panik.
"Sudah, turuti aja," ucap Tuan Alex mencoba menenangkan.
Erik pasrah dengan pikiran yang cukup kalut.
####
Selang beberapa menit kemudian, hampir semua mata yang berkerja di gedung Paragon, nampak terkejut kala menyaksikan hal yang tak biasa dalam perusahaan tersebut.
Seorang pria yang menggunakan seragam petugas kebersihan, melangkah bersama dua petinggi perusahaan tersebut, sontak menjadi bahan perbincangan.
Apa lagi banyak yang menyaksikan petugas kebersihan itu memasuki mobil yang sama dengan atasan mereka, membuat para karyawan itu semakin berspekulasi.
Erik yang duduk di sebelah Tuan besar, semakin panik dan canggung. Pikirannya sudah berkelana, membayangkan marahnya sang Ibu karena Erik telah melanggar larangannya.
Ingin rasanya Erik mencegah, tapi dia tidak punya kemampuan untuk mengungkapkannya. Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, mobil yang dikendarai Alex sudah sampai di halaman rumah Erik yang cukup sederhana.
"Erik?" seorang wanita yang sedang menjemur pakaian nampak kaget saat melihat Erik keluar dari dalam mobil. "Kok kamu jam segini sudah pulang? Kamu pulang sama siapa?"
Erik tidak langsung menjawab. Sementara itu Tuan besar menenangkan hatinya begitu dirinya hendak turun dari mobil.
Begitu Tuan besar turun dari mobil dan menatap wanita yang sama, mata wanita itu langsung membulat. Tiba-tiba wanita itu mengangkat ember bekas cucian dan melangkah cepat ke arah Tuan besar.
Byur!
"Ibu!" Erik terperanjat