Hidupku mendadak jungkir balik, beasiswaku dicabut, aku diusir dari asrama, cuma karena rumor konyol di internet. Ada yang nge-post foto yang katanya "pengkhianatan negara"—dan tebak apa? Aku kebetulan aja ada di foto itu! Padahal sumpah, itu bukan aku yang posting! Hasilnya? Hidupku hancur lebur kayak mi instan yang nggak direbus. Udah susah makan, sekarang aku harus mikirin biaya kuliah, tempat tinggal, dan oh, btw, aku nggak punya keluarga buat dijadiin tempat curhat atau numpang tidur.
Ini titik terendah hidupku—yah, sampai akhirnya aku ketemu pria tampan aneh yang... ngaku sebagai kucing peliharaanku? Loh, kok bisa? Tapi tunggu, dia datang tepat waktu, bikin hidupku yang kayak benang kusut jadi... sedikit lebih terang (meski tetap kusut, ya).
Harapan mulai muncul lagi. Tapi masalah baru: kenapa aku malah jadi naksir sama stalker tampan yang ngaku-ngaku kucing ini?! Serius deh, ditambah lagi mendadak sering muncul hantu yang bikin kepala makin muter-muter kayak kipas angin rusak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Souma Kazuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 14. Bayang-Bayang di Balik Asap
Di sebuah ruangan remang-remang, seorang pemuda duduk dengan tenang, hanya siluet tubuhnya yang terlihat di tengah kegelapan. Tak lama, sekumpulan asap hitam melayang masuk dari celah-celah dinding dan pintu, perlahan mendarat di punggung tangan kanannya. Wajahnya perlahan terungkap, dan ternyata dia adalah Arham, seorang senior tingkat empat yang selama ini selalu dikenal sebagai sosok baik hati oleh Ruri. Tapi kini, dengan senyum yang menyeringai, dia terlihat begitu berbeda.
Arham menatap asap hitam yang bergerak di tangannya, lalu mengumpat dengan suara rendah, “Tidak hanya kuntilanak tolol itu, kalian juga gagal mencelakainya. Payah!” Suaranya terdengar tajam, penuh amarah yang terpendam.
Pandangan matanya beralih ke koran yang tergeletak di meja, koran yang sama persis dengan yang dibaca oleh Ruri sebelumnya. Dia terkekeh pelan, sambil membaca salah satu headline berita.
"Gagak? Kau bilang pelakunya gagak? Hahaha..." tawanya semakin nyaring. "Tidak salah, sih, tapi kau tak akan pernah mengira kebenarannya lebih kompleks, kan, Ruri? Berkat si kucing penjaga yang selalu bersamamu... kucing yang seharusnya sudah kulahap dari dulu."
Wajahnya tampak menegang sejenak, mengingat kembali kejadian di masa lalu. "Aku takkan pernah memaafkan penghinaanmu merebut mangsaku kala itu," katanya lagi, kali ini suaranya terdengar lebih pelan, hampir seperti bisikan.
___
Kilas balik terlintas dalam benaknya. Dulu, ketika Carlos masih seekor anak kucing yang lemah, Arham dalam wujud gagak besar mencoba menyerangnya. Namun, sebelum dia bisa menancapkan cakar hitamnya pada tubuh kecil Carlos, seorang gadis kecil datang dan memungut kucing malang itu. Gadis itu adalah Ruri.
Sejak saat itu, dendamnya terhadap Ruri dan Carlos tumbuh. Arham tidak pernah bisa melupakan kekalahannya saat itu. Dia, yang memiliki kekuatan gagak hitam, merasa terhina karena mangsanya diambil alih oleh manusia yang lemah.
"Ruri... kau mungkin tidak sadar, tapi kau telah merebut mangsaku. Dan aku akan membalasnya," desis Arham sambil menatap punggung tangannya yang diliputi asap hitam, menandakan kekuatannya yang semakin besar.
Dia mendengus kesal, dan matanya menatap tajam ke kejauhan. “Rumor tentangmu sebagai pengkhianat negara yang tersebar di internet? Itu juga aku yang buat. Aku ingin melihatmu hancur, tenggelam dalam keputusasaan, ratapanmu akan menjadi santapan paling lezat bagiku.” Dia tertawa keras, puas dengan kekacauan yang dia ciptakan di hidup Ruri.
“Sayang sekali, si kucing tolol itu selalu saja ada untuk menyelamatkanmu... Tapi tidak untuk waktu lama. Kau tak akan selalu selamat, Ruri,” gumamnya dengan penuh kebencian.
___
Sementara itu, di perpustakaan kampus, Ruri memandang Carlos dengan senyum kecil. "Carlos, tunggu di luar dulu, ya. Kamu nggak bisa masuk tanpa kartu mahasiswa," ucapnya sambil mengangkat alis.
Carlos hanya mengangguk dengan malas, jelas tidak menyukai ide harus menunggu di luar. "Ya, baiklah. Tapi jangan lama-lama. Aku nggak suka kau sendirian di tempat seperti ini."
Ruri tertawa kecil, lalu melambaikan tangannya. "Iya, iya, cuma sebentar kok," katanya sambil masuk ke dalam perpustakaan. Begitu masuk, dia langsung sibuk mencari buku referensi untuk tugasnya.
Tanpa dia sadari, di sudut lain perpustakaan, ada Arham yang tengah duduk membaca. Arham tersenyum kecil saat melihat Ruri. "Hai, Ruri!" sapanya dengan suara lembut.
Ruri yang sedang sibuk membaca buku menoleh dan terkejut melihat seniornya. "Oh, Kak Arham! Apa kabar? Kok bisa ketemu di sini?"
"Lagi cari referensi buat tugas akhir. Kampus semakin sibuk, ya?" jawab Arham dengan nada bersahabat, sambil berjalan mendekat ke arah Ruri.
Ruri tersenyum ramah. "Iya, makin sibuk. Apalagi mendekati ujian akhir. Tugas makin banyak." Dia terus mencari buku di rak sambil berbicara.
"Kamu terlihat sangat bersemangat, seperti biasa," puji Arham dengan nada penuh perhatian.
"Hehe, harus dong, Kak. Kalau nggak, kapan bisa selesai?" jawab Ruri santai sambil menelusuri judul buku di hadapannya. Suasana percakapan mereka terasa ringan, seperti dua teman lama yang berbicara.
"Tapi jangan terlalu keras sama diri sendiri. Jaga kesehatanmu juga," kata Arham, sambil menatap Ruri dengan senyum sopan.
Ruri tersenyum lagi, merasa dihargai oleh senior yang dia anggap baik hati. "Iya, Kak. Makasih ya, udah perhatian."
Setelah beberapa waktu mengobrol sambil mencari buku, akhirnya Ruri memutuskan untuk pergi. "Aku duluan ya, Kak Arham. Semoga tugasnya lancar," ucap Ruri sambil tersenyum dan melambaikan tangan.
"Sama-sama, Ruri. Hati-hati di luar," balas Arham dengan senyum ramah, tapi matanya menyimpan sesuatu yang Ruri tidak bisa lihat.
___
Ketika Ruri keluar dari perpustakaan, dia langsung menangkap sosok Carlos yang sedang duduk di bangku taman tak jauh dari pintu masuk. Sinar matahari sore menyinari wajahnya yang tampak damai. Carlos duduk dengan posisi sedikit membungkuk, kedua lengannya melipat di dada, dan dagunya hampir menyentuh dada seolah dia sedang meringkuk, tepat seperti kucing yang sedang tidur. Mata tertutup rapat, bibirnya sedikit terbuka, dan nafasnya teratur, begitu tenang.
Yang paling membuat Ruri tak bisa menahan tawa adalah bagaimana Carlos duduk seolah tak peduli pada dunia di sekitarnya. Kakinya tertekuk ke arah tubuh, dan ada gerakan kecil pada ujung jemarinya, seperti kucing yang meliukkan ekornya dalam tidurnya. Seolah mengukuhkan keanehannya, ada helai rambut yang jatuh di atas wajahnya, dan entah kenapa itu mengingatkan Ruri pada telinga kucing yang berkedut saat tidur.
Ruri menutup mulutnya, berusaha menahan tawa yang hampir pecah melihat Carlos, manusia yang selalu dingin dan penuh kendali, bisa begitu mirip dengan seekor kucing yang sedang meringkuk mencari kenyamanan di bawah matahari. “Sejak kapan dia bisa begitu mirip kucing,” gumam Ruri, sebelum akhirnya tertawa kecil, merasakan hangatnya momen itu.
Carlos yang membuka sebelah matanya dengan ekspresi kantuk khasnya, segera mendapati Ruri. Namun begitu melihat Ruri, Carlos langsung menghampirinya dengan wajah serius. Ia mengendus pelan dan menatap Ruri dengan sorot mata yang penuh kewaspadaan.
"Kamu habis ketemu orang jahat, ya?" kata Carlos tiba-tiba.
Ruri melirik Carlos bingung. "Orang jahat? Maksudmu siapa? Tadi aku cuma ketemu Kak Arham, senior yang pernah kamu temui juga waktu itu."
Carlos mengernyit, wajahnya tiba-tiba berubah lebih tegas. "Jangan temui orang jahat itu lagi, Ruri."
Ruri tersentak, merasa aneh dengan reaksi Carlos yang tiba-tiba begitu tegas. "Carlos, kamu serius? Kak Arham itu baik, aku nggak ngerti kenapa kamu bilang dia jahat."
Namun, ketika Ruri melihat keseriusan di wajah Carlos, dia terdiam. Meskipun Carlos sering cemburu, ini pertama kalinya dia melarang Ruri dengan tegas seperti ini. Ada sesuatu yang berbeda, dan Ruri merasakannya. Akhirnya, dia mengangguk pelan, memilih untuk mempercayai naluri Carlos. "Baiklah, aku nggak akan temui dia lagi," katanya lembut.
Melihat Ruri setuju, Carlos tersenyum cerah, mencoba mencairkan suasana. "Yuk, lupakan yang tadi. Kita ke warung Bu Zakiah aja, kerja paruh waktu. Siapa tahu bisa dapet bonus es teh gratis," candanya sambil menarik tangan Ruri untuk berjalan.
Di perjalanan, Ruri memandang Carlos sambil tersenyum. "Kamu dukun, ya? Tiap kali ada sesuatu, kamu selalu tahu duluan. Entah itu di desa, di perumahan, bahkan serangan Aditya waktu itu."
Carlos hanya tertawa canggung.
Mereka berdua terus mengobrol ringan, saling bercanda dan mesra, hingga akhirnya sampai di warung Bu Zakiah. Begitu mereka masuk, ibu-ibu yang sama—yang sering memergoki mereka sebelumnya—kembali melihat mereka bermesraan. Kali ini, si ibu hanya menatap mereka dengan ekspresi datar.
"Kalian nunggu apa? Layanin pelanggan, dong," ucap si ibu dengan tenang, meskipun Ruri bisa mendengar nada sindiran halus dalam suaranya.
Ruri tersentak, langsung tersipu malu. "Iya, maaf, Bu!" jawabnya cepat sambil buru-buru mengambil buku catatan pesanan. Namun, sebelum dia mulai mencatat, si ibu masih sempat berkomentar lagi dengan lirikan tajam.
"Dasar generasi sekarang... ck."
Ruri menahan diri untuk tidak menjawab, sambil berusaha fokus mencatat pesanan si ibu yang tampaknya masih menggerutu pelan.