Bintang panggung dan penulis misterius bertemu dalam pertemuan tak terduga.
Rory Ace Jordan, penyanyi terkenal sekaligus sosok Leader dalam sebuah grup musik, terpikat pada pesona Nayrela Louise, penulis berbakat yang identitasnya tersembunyi.
Namun, cinta mereka yang tumbuh subur terancam ketika kebenaran tentang Nayrela terungkap.
Ikuti kisah mereka....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FT.Zira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. KCTT 34.
'Gaun indah untuk seseorang yang sangat cantik akan melahirkan kata sempurna,'
Deretan tulisan pada secarik kertas yang Nayla temukan di dalam sebuah kotak berisi gaun malam yang ia terima ketika ia tiba di Apartemen cukup untuk membuat Nayla menepuk dahinya sendiri. Terutama setelah membaca nama yang tertulis diakhir tulisan itu. 'Rory'
"Aku lupa kalau dia mengatakan akan mengirim gaun," Nayla bergumam pelan.
Nayla menjatuhkan tubuhnya di sofa disertai hembusan napas kasar, lalu mengeluarkan ponsel dari saku celana, menggulir layar ponsel untuk mencari satu nama untuk dihubungi.
'ROY'
📞📞📞📞📞📞
"Apa yang kamu kirimkan ini, Roy?" protes Nayla begitu panggilan terhubung.
"Selamat malam, Nay," sapa Rory.
"Jawab aku!" tukas Nayla.
"Ayolah,,, Ucapan selamat malam tidaklah salah untuk mengawali sebuah percakapan bukan?" sahut Rory tertawa ringan.
Nayla menghembuskan napas panjang, merasa tidak memiliki tenaga lagi untuk berdebat setelah lelah bekerja.
"Selamat malam, Roy,"
"Begitu lebih baik," sahut Rory.
"Apakah kamu tidak menyukainya? Aku sendiri yang memilih gaun itu. Sepertinya akan lebih indah jika kamu yang memakainya,"
"Gaun ini indah, Hanya saja_,,,,"
Nayla menggantung kalimatnya, mengamati gaun yang belum ia keluarkan dari kotak, lalu mengulurkan tangan untuk menyentuh gaun itu hingga ia bisa merasakan betapa halusnya kain dari gaun itu. Ia bahkan bisa menebak berapa harga dari gaun itu.
"Hanya saja apa? Kamu tidak menyukai warnanya?" tanya Rory.
"Berapa banyak uang yang kamu habiskan untuk gaun ini? Kenapa kamu tidak menggunakan uangmu untuk kebutuhanmu sendiri? Ini mahal bukan?" cecar Nayla.
"Tidak ada kata mahal jika itu untukmu, kamu pantas mendapatkan ini bahkan yang jauh lebih baik," sahut Rory.
"Tapi_,,,,"
"Bersiaplah, sopir akan menjemputmu setengah jam lagi," potong Rory cepat.
"Haaahh,,, Baiklah," sahut Nayla.
"Aku tidak sabar untuk bertemu denganmu, Nay. Sampai jumpa sebentar lagi," ucap Rory.
📞📞📞📞📞📞
Panggilan terputus tepat setelah Rory menyelesaikan kalimatnya, tidak memberikan Nayla kesempatan untuk memberikan jawaban hingga membuat wanita itu menurunkan ponsel dari telinga dengan wajah kesal.
"Seenaknya saja!" gerutu Nayla.
Nayla beranjak dari duduknya menuju kamar, berniat untuk membersihkan diri sekaligus bersiap untuk pergi makan malam seperti yang telah disepakati pada malam sebelumnya.
Untuk kedua kalinya, Nayla kembali disambut oleh sopir yang sama ketika menjemput dirinya di malam festival, mendapatkan perlakuan yang sama hingga ia mencapai hotel yang menjadi tempat untuk bertemu.
Pintu mobil terbuka, memperlihatkan sosok pria dibaliknya dengan senyum menghiasi bibir, lalu mengulurkan satu tangan pada Nayla yang segera menyambutnya.
Selama beberapa saat, Nayla terpana dengan penampilan Rory yang berbeda dari biasanya. Setelan jas hitam yang dikenakan pria itu justru membuat wajah Rory terlihat sempurna di matanya.
"Terima kasih sudah menjemputnya," Rory berkata pada sopir.
"Keinginan Anda adalah perintah, Tuan," sopir itu menjawab, lalu berlalu pergi setelah pintu mobil kembali menutup.
"Sudahkah aku mengatakan padamu bahwa kamu terlihat sangat cantik malam ini?" bisik Rory didekat telinga Nayla.
"Aku ragu dengan ucapanmu," sahut Nayla sedikit mendongakkan kepala, mengunci pandangan pada pria yang kini berada tepat di depannya.
"Mengapa begitu?" tanya Rory dengan kening berkerut.
"Karena kamulah yang lebih bersinar malam ini," jawab Nayla jujur.
"Pernahkah ada yang mengatakan padamu bahwa kamu terlihat sangat tampan dengan setelan jas seperti ini?" tanya Nayla.
"Ada, dan aku baru saja mendengarnya," jawab Rory tersenyum.
"Pembohong! Aku yakin di tempat kerjamu, banyak yang menyukaimu," Nayla mencibir.
"Kurasa kamu akan digilai banyak wanita jika kamu menjadi seorang model atau sejenisnya," Nayla menambahkan.
'Kalimat seperti itu sangat sering kudengar, namun terasa berbeda ketika kamulah yang mengatakannya,' batin Rory.
"Jika aku boleh jujur, aku lebih memilih digilai oleh satu wanita saja," ucap Rory.
"Dirimu." imbuh Rory sembari menyentil ringan hidung Nayla.
Nayla memalingkan wajah, menyembunyikan rona merah yang mulai menjalar di kedua pipinya.
"Kenapa kita harus berpenampilan seformal ini hanya untuk makan malam, Roy?" tanya Nayla.
"Karena mereka menerapkan kode berpakaian untuk semua tamu yang datang dan tidak mengijinkan siapapun masuk jika hanya mengenakan setelan celana jens," jawab Rory.
"Ayo! Pertanyaannya nanti saja." ajak Rory seraya memberikan lengannya.
Nayla mengangguk, melingkarkan satu tangan pada lengan pria itu, lalu melangkah masuk.
Mereka kini berada di Rooftop dari hotel itu yang telah di sulap menjadi tempat makan malam yang hanya diperuntukkan untuk dua orang. Dua kursi satu meja dengan bunga mawar dan lilin di atasnya.
Nyala lilin di meja sesekali bergerak ketika angin berhembus pelan. Kelap-kelip lampu menerangi sekeliling mereka dipadukan dengan lampu kota yang menyala terang di bawah mereka bagaikan berlian menambah keindahan malam itu.
Dalam jarak beberapa meter, tiga pria memainkan biola di tangan mereka, memperdengarkan melodi lembut mengisi keheningan malam. Disisi berbeda, dua pelayan berdiri tak jauh dari meja, siap untuk memberikan pelayanan terbaik mereka.
Rory menarik kursi untuk Nayla, membiarkan wanita itu duduk lebih dulu sementara satu pelayan menarik kursi lain untuk diduduki Rory. Hingga mereka mulai menjalankan tugasnya untuk menyiapkan menu makan malam.
Beberapa waktu berlalu, dua pelayan itu menjauh setelah semua tugasnya selesai. Memberikan waktu privasi untuk tamu mereka. Hal yang cukup untuk membut Nayla mencondongkan tubuhnya ke depan.
"Roy, ini terasa berlebihan, kau tahu?" bisik Nayla.
"Lagi pula, kita hanya makan malam bukan?"
"Tidak, masih ada hal lain, dan kamu akan tahu nanti," jawab Rory.
"Tapi_,,,,"
"Tenang saja, ada yang membantuku dalam hal ini. Jadi, aku tidak perlu membayar penuh jika itu yang kamu khawatirkan," jawab Rory santai.
"Nikmati saja makanannya, tidak perlu menghawatirkan hal sederhana itu,"
Hening....
Nayla ingin memberikan sanggahan, namun urung ia lakukan ketika memikirkan betapa pria itu akan kecewa jika dirinya terus mempertanyakan hal sensitif.
Makan malam mereka berlangsung tanpa bicara, memikirkan hal berbeda dalam benak mereka masing-masing.
Nayla beranjak dari duduknya, dan melangkahkan kaki menuju pembatas disisi gedung itu, hingga ia bisa melihat pemandangan kota yang terbentang di depannya.Terpesona dengan kemilau ratusan bahkan ribuan lampu yang menerangi kota diikuti Rory berdiri di sampingnya.
"Selama ini aku tidak pernah menyadari, kota di mana aku berada di dalamnya ternyata seindah ini," ucap Nayla tanpa mengalihkan pandangannya dari kota.
"Kita hanya sibuk dengan rutinitas sehari -hari tanpa menikmati dengan benar apa yang disajikan tempat di mana kita tinggal," sambung Rory.
"Ya, dan disini benar-benar terasa_,,,"
"Bebas," sambung Rory.
"Tepat, seakan kita bisa melakukan apapun tanpa memikirkan apa yang akan dikatakan orang lain," ucap Nayla.
"Bagaimana kamu bisa menemukan tempat seindah ini Roy?" tanya Nayla.
"Anggaplah sebuah kebetulan, saat aku harus berada disini karena suatu hal yang berkaitan dengan pekerjaan," jawab Rory.
"Itu kebetulan yang menyenangkan," sahut Nayla.
Nayla menutup mata, menarik nafas dalam-dalam merasakan hembusan angin lembut yang menerpa wajahnya dan menyibakkan rambut, lalu tertawa sembari membuka mata dan merapikan rambutnya sendiri.
"Aku tidak akan pernah bosan jika harus melihat ini setiap hari. Sangat indah," ucap Nayla lagi.
"Ya, sangat indah dan aku menyukainya," sahut Rory.
Nayla menoleh, baru menyadari Rory mengatakan kalimat yang baru saja dia ucapan namun kedua matanya hanya tertuju pada Nayla, bukan pemandangan kota. Tatapan matanya melembut, mengunci pandangan Nayla untuk tidak berpaling darinya.
"Aku Mencintaimu Naya."
. . . . .
. . .. . .
To be continued....
kalimatnya ini astagaa😖😖