Raisha seorang agen rahasia ditugaskan menjaga seorang pegawai kantor bernama Arya dari kemungkinan ancaman pembunuhan Dr. Brain, seorang ilmuwan gila yang terobsesi menguasai negara dan dunia menggunakan alat pengendali pikiran yang terus di upgrade menggunakan energi kecerdasan orang-orang jenius. Temukan keseruan konflik cinta, keluarga, ketegangan dan plot twist mengejutkan dalam novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Here Line, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4 : Cap Misterius
Di depan, Greg berdiri dengan wajah serius. Mata pria setengah baya itu menatap tajam ke arah si petugas bagian informasi yang berdiri di hadapannya.
Kasus misterius yang terus berkembang itu seolah menggantung di udara. Menunggu informasi, penyimpulan, pemecahan lanjutan dan tindakan lain untuk segera digapai ke dalam genggaman. Semua menunggu kejutan lain itu.
Raisha duduk di barisan depan, sesekali menatap Greg, sesekali melirik ke si petugas bagian informasi. Ia tahu, momen berikutnya akan sangat krusial.
Greg terdiam sejenak, mencerna apa yang baru saja ia dengar dari petugas informasi itu.
"Guru bela diri silat?" Greg mengulang kata-kata itu, seolah mencoba meresapi makna di baliknya. "Bukankah ini tidak ada hubungannya dengan IQ?" Ia merasa heran, kasus ini sudah cukup membingungkan tanpa adanya tambahan elemen yang tak sesuai pola.
Petugas informasi berdiri, ragu sejenak sebelum menjawab, "Saya juga tidak mengerti, Pak. Mungkin pola IQ itu... tetap berlaku meski tidak mutlak."
Raisha, yang sejak tadi memperhatikan dalam diam, tiba-tiba menyela. "Saya rasa ini berhubungan juga dengan keahlian-keahlian tertentu, Pak!" suaranya tenang tapi tegas, membuat semua kepala di ruangan menoleh ke arahnya. "Kita semua tahu, orang-orang ini, mereka semua aset berharga bagi negara. Tak hanya jenius, tapi mereka ahli di bidangnya masing-masing."
Semua agen yang hadir mengangguk pelan, perlahan-lahan menerima penjelasan itu. Ada logika yang bisa dimengerti di balik semua ini, dan mereka merasa Raisha mungkin benar. Greg menatap Raisha dalam-dalam, mencerna argumen tersebut.
"Kalau begitu, cap apa itu?" Greg kemudian beralih pada petugas informasi, nadanya terdengar lebih serius.
Petugas informasi itu menunduk sejenak, lalu menjawab dengan nada sedikit gemetar, "Anda harus melihatnya sendiri, Pak."
Dengan cepat, ia mendekati meja Greg dan mengambil alih komputer.
"Kami menemukannya saat melakukan penyelidikan lebih lanjut pada mayat sang guru besar bela diri silat tersebut. Penemuan ini benar-benar tidak disengaja," katanya sambil membuka email. Tangannya bergetar sedikit saat ia mengoperasikan komputer di hadapannya.
Greg memperhatikan dengan mata tajam. Ketegangan di dalam ruangan semakin terasa. Agen-agen lain, yang semula berdiri bersiap pergi, kini duduk kembali dengan punggung tegak, menunggu hasil dari petugas informasi itu.
"Saya rasa tersangka menggunakan tinta fluoresens, yang hanya bisa terlihat dengan sinar UV. Tulisan ini… tertinggal di dada korban." Petugas informasi itu melanjutkan penjelasannya sambil mencoba mengunduh file di komputer.
Greg tak lagi sabar, ia ingin segera melihat apa yang tersembunyi di tubuh sang korban.
"Baik, tunjukkan sekarang!" Greg memerintah tegas, suaranya terdengar menekan di tengah-tengah keheningan ruangan. Semua agen mulai tegang, mata mereka terpaku pada layar.
Namun, komputer tampaknya sedikit bermasalah. Petugas informasi itu terlihat kesulitan mengakses file yang dimaksud. Petugas teknisi dengan cepat bergerak ke samping, membantu mempercepat proses.
"Para petugas menemukannya tanpa sengaja ketika seorang penyidik mencoba memindai tubuh korban dengan sinar UV," si petugas melanjutkan sambil berusaha tenang meski ada sedikit ketegangan di suaranya.
Raisha termenung, tak habis pikir bahwa pembunuh ini meninggalkan petunjuk pada tubuh korban. Bahkan bukan hanya itu, guru besar bela diri silat, seorang ahli yang seharusnya tak terhubung dengan pola IQ tinggi, namun ternyata sekarang bagian dari pola yang lebih besar. Raisha mulai menghubungkan titik-titik di kepalanya.
Raisha merasa bahwa Greg harus segera mengambil tindakan lebih besar, bukan hanya mengerahkan agen-agen yang ada, tetapi juga mempertimbangkan perlindungan lebih bagi tokoh-tokoh penting lainnya.
"Kematian ini... tidak hanya menyasar orang-orang jenius, tetapi juga mereka yang memiliki keahlian terbaik di bidangnya." gumam Raisha berpikir keras, suaranya penuh perenungan. "Ini lebih besar dari yang kita duga, Pak. Orang-orang ini, semuanya aset berharga negara. Kita kehilangan mereka satu per satu. Saya rasa... NIMBIS perlu memperluas operasi."
Greg tak bicara, namun ia tampak benar-benar mencerna perkataan Raisha.
Agen-agen tampak berpikir. Pembunuh ini bukan hanya menargetkan orang-orang ber-IQ tinggi, tapi juga menargetkan orang-orang yang punya keahlian luar biasa, ini mungkin akan semakin menyibukkan mereka, dan mereka siap untuk ini.
"Dan ternyata..." petugas informasi kembali bicara, suaranya pelan tapi jelas, "Setelah kami memeriksa ulang beberapa korban sebelumnya—yang belum sempat dimakamkan—kami menemukan hal yang sama." Ia berhenti sejenak, membiarkan semua orang mencerna kata-katanya.
Greg tampak terkejut, matanya menajam ke arah petugas itu. "Apa maksudmu, hasilnya sama?"
"Ya, Pak," jawab petugas dengan nada lebih yakin sekarang. "Cap yang sama ternyata tercetak di dada korban-korban sebelumnya—pejabat, profesor, ilmuwan, dan petinggi militer. Semuanya memiliki cap yang sama."
Kekagetan menyelimuti ruangan. Semua agen saling bertukar pandang, berusaha mencerna apa yang baru saja didengar. Mereka mulai sadar bahwa semua kasus ini memang berhubungan.
"Berhasil!" teriak teknisi, akhirnya berhasil mengekstrak file gambar dengan resolusi tinggi. Layar mulai menampilkan sesuatu, dan setiap mata di ruangan menatap tajam ke arah gambar yang perlahan-lahan muncul di layar.
Ketegangan mencapai puncaknya, membuat semua orang menahan napas. Ruangan briefing kembali dilanda keheningan mencekam, foto yang terpampang di layar adalah foto mayat dengan wajah pucat dan mata terbelalak. Di dada mayat itu, samar-samar, sebuah cap fluoresens yang hanya bisa dilihat di bawah cahaya UV tampak menampilkan tulisan :
Dr. Brain
Raisha menghela napas dalam-dalam, merasa detak jantungnya semakin kencang. Sementara Greg menatap tulisan itu dengan seksama, tampak berusaha mencerna teka-teki apa yang kini ada di hadapannya.
Brain, secara harfiah artinya otak, pikir Raisha. Ingatannya tiba-tiba berputar ke hasil autopsi. Para korban sebelumnya, semua memiliki ciri khas yang sama: volume otak mereka berkurang secara misterius.
Siapa Dr. Brain ini? Apa sebenarnya yang terjadi? pikir Raisha seraya menajamkan mata. Pelaku sepertinya ingin dikenal, tapi bersembunyi di balik teka-teki yang rumit, seperti sedang menantang dirinya untuk menemukan jawaban.
“Pak, saya rasa, ini lebih dari sekadar pembunuhan,” kata Raisha, "Sepertinya cap itu mengandung teka-teki yang harus dipecahkan," lanjutnya membuat para agen terhenyak.
"Aku setuju," jawab Greg, “Kalau begitu, ada petunjuk lain?” tanya Greg kepada si petugas informasi.
“Sejauh ini, tidak ada lagi, Pak!” jawab petugas informasi.
Greg menghela napas panjang.
“Aku akan mencoba menangani ini,” Greg memutuskan. “Kalian semua laksanakan tugas sesuai instruksi tadi, sekarang!” perintah Greg kepada seluruh agen.
Seluruh agen bergerak cepat, kecuali Raisha. Dia masih menunggu instruksi untuk dirinya. Greg mendekati Raisha dengan tatapan serius. “Raisha, aku punya tugas khusus untukmu. Kau harus melindungi seseorang yang mungkin... juga akan sangat penting dalam misi ini.” Kata Greg, terdengar ragu.
Raisha mengangguk.
“Aku belum bisa memberitahumu siapa orangnya, tapi nanti aku akan mengirimkan file-nya di jalan. Pergilah ke alamat ini.” Greg menyerahkan secarik kertas bertuliskan alamat kantor, tanpa penjelasan lebih lanjut.
Raisha memandangnya waspada dan sedikit bingung, namun tak membantah. “Baik, Pak,” jawabnya singkat sambil menerima secarik kertas itu.
Tatapan Greg beralih pada foto di layar.
“Aku setuju denganmu, seharusnya cap ini mengandung tantangan teka-teki. Tidak semata-mata pembunuh itu membuatnya kalau tidak mempunyai tujuan. Dan... untuk ini aku rasa aku membutuhkan seorang yang cukup bisa diandalkan di bidang kriptografi..." gumam Greg, membuat Raisha kembali memfokuskan diri. “Cap ini, pasti mengandung petunjuk,” imbuh Greg terdengar sangat yakin.
Raisha melirik foto pada slide itu lagi. Sejak tadi ia menatap cap itu, mencoba memproses sesuatu dalam pikirannya, tapi belum menemukan petunjuk apa pun.
“Sebenarnya, aku tahu seseorang yang cukup dapat diandalkan di bidang kriptografi. Sayangnya... hubungan antara aku dan orang itu tak terlalu baik.” kata Greg.
Greg memperlihatkan sisi pribadinya. Dia berkata seolah-olah Raisha adalah bagian dari keluarga, bukan sekedar bawahan. Raisha sendiri, selama ini kerap merasa menemukan sosok ayah dalam diri Greg.
“Siapa dia?” tanya Raisha, “Biar saya membujuknya,” sambungnya penuh tekad.
Greg mendesah pelan. “Kau akan segera tahu, orang itu adalah orang yang sebentar lagi akan kau temui untuk dilindungi.” Greg kembali menghela napas.
Raisha terkejut sekaligus penasaran.
“Aku juga percaya padamu, kau agen terbaik di NIMBIS. Kuharap kau dan orang itu bisa segera bekerjasama memecahkan kasus ini,” simpul Greg.
Raisha terpana, merasa tersanjung dengan tugasnya.
Greg melirik hoodie pink yang dikenakan Raisha. “Sekarang segera berangkat, tak perlu ganti pakaian. Tak ada waktu lagi. Lagi pula, itu akan menjadi penyamaran yang bagus,” ucap Greg sambil mengangguk. “Laksanakan!” perintah Greg, tegas.
“Siap! Laksanakan!” jawab Raisha. Gadis itu segera berdiri, menyoren tas besarnya, dan bergerak menuju pintu. Namun sebelum ia sempat melangkah keluar, Greg menghentikannya.
“Tunggu!” cegah Greg seraya melemparkan sebuah benda berkilau ke arah Raisha.
Dengan sigap, Raisha menangkap benda itu. Ia terkejut melihat apa yang ada di tangannya: kalung bermata metal persegi warna silver, miliknya.
“Aku menemukannya di sekitar NIMBIS. Itu milikmu, kan?” Greg bertanya.
Raisha tersenyum lega, merasa beban emosional yang selama ini membebani pikirannya akhirnya terangkat.
Raisha ingat, gara-gara persoalan ini ia jadi terlalu sensitif, sampai-sampai ia tega memelintir tangan seorang laki-laki di minimarket hanya karena sebungkus cokelat.
“Ya, Pak, terima kasih. Kalung ini sangat berharga bagi saya.”
Greg mengangguk pelan. “Jangan ceroboh di lapangan,” katanya sebelum Raisha berbalik dan melangkah pergi.
“Siap, Pak!” jawab Raisha dengan semangat yang kembali penuh, meninggalkan ruangan briefing dengan langkah cepat. Tugasnya belum jelas, tapi instingnya berkata bahwa misi ini akan lebih dari sekadar tugas biasa. Dia merasa ada sesuatu yang besar sedang bergerak, dan Raisha sadar, dia berada di pusatnya.
TBC
Dukung terus "Raisha & Arya" menghadapi kejahatan Dr. Brain di cerita ini ya teman-teman ! Jangan lupa LIKE, COMMENT, KASIH BINTANG & IKUTI Author, biar Author tambah semangat !!! Nantikan chapter berikutnya, daaah... !!!