Karina kembali membina rumah tangga setelah empat tahun bercerai. Ia mendapatkan seorang suami yang benar-benar mencintai dan menyayanginya.
Namun, enam bulan setelah menikah dengan Nino, Karina belum juga disentuh oleh sang suami. Karina mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada suaminya dan mulai mencari tahu.
Hingga suatu hari, ia mendapati penyebab yang sebenarnya tentang perceraiannya dengan sang mantan suami. Apakah Karina akan bertahan dengan Nino? Atau ia akan mengalami pahitnya perceraian untuk kedua kalinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fahyana Dea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa Lalu Nino (4)
Tangan Nino mengepal erat jika ingat hal itu. Matanya memejam kuat dengan air mata yang menetes. Ia sungguh tidak terima perbuatan biadab pria mana pun yang sudah membuat Clarissa seperti ini.
Tiba-tiba, pintu terbuka dengan cukup keras dan sedikit kegaduhan suara Amira di sana. Rayhan berjalan cepat menghampiri Nino. Ia mencengkeram kerah kemeja pria itu dengan penuh emosi.
“Lo apain adik gue, hah?!” geram Rayhan. Nino terkejut dengan ucapan Rayhan. “Lo berani hamilin adik gue!” Matanya nyalang menatap Nino yang terkejut mendengar kalimat itu.
“Ha-hamil?” gumam Nino tidak percaya.
“Ray, tenang. Bukan Nino yang melakukan.” Amira berusaha melerai. Rayhan memang tidak tahu yang terjadi pada Clarissa, karena ia tinggal terpisah. Rumah mereka berada di kota yang berbeda.
Rayhan menatap Amira sengit. “Dia pacarnya, Mbak. Kalau bukan dia siapa lagi?” Rahyan meninggikan suaranya sehingga beberapa orang di luar ruangan menatap ke arah mereka.
“Ray, tenang. Ini rumah sakit.” Amira mencoba untuk meredakan amarah adik laki-lakinya itu.
Rayhan melepaskan cengkeramannya dengan kasar, membuat tubuh Nino sedikit terdorong. Rayhan duduk di kursi yang sebelumnya diduduki oleh Nino.
“Apa maksudnya, Mbak? Clarissa hamil?” tanya Nino.
Amira mengangguk pelan. “Dua bulan. Usia kandungannya sudah dua bulan.”
Nino mendadak kehilangan tenaga. Ia terduduk di lantai, tangannya memegangi kepala yang terasa pening.
Rayhan kembali bangkit, lagi-lagi ia mencengkeram kerah kemeja Nino dengan kedua tangannya. Tubuh pria itu sedikit terangkat.
“Lo yang melakukan ini, kan?” Nino diam. Otaknya tidak bisa mencerna kata-kata untuk saat ini. “JAWAB?!” Rayhan tidak percaya Nino tidak melakukan itu. Nino satu-satunya pria yang dikenal oleh Rayhan yang dekat dengan Clarissa.
“Aku berani bersumpah.” Nino mengangkat wajah menatap Rayhan. “Bukan aku yang melakukannya.”
Amira menghampiri Rayhan dan pria itu melepaskan cengkeramannya pada Nino. “Ada yang memaksa Clarissa, Ray. Dan kita gak tahu siapa orangnya. Clarissa bungkam tentang ini.”
Rayhan mengacak rambutnya frustrasi. Kemudian, ia memilih pergi dari ruangan itu. Diane baru saja keluar dari ruangan dokter ketika melihat putra keduanya pergi. Sebagai seorang ibu, tentu merasa hancur mendengar sesuatu yang tidak seharusnya terjadi sebelum waktunya. Kenapa putrinya harus mengalami hal mengerikan seperti ini?
Begitu masuk ke ruangan, tempat itu diliputi dengan aura muram. Ruangan rawat rumah sakit hampir tidak pernah memperlihatkan aura menyenangkan. Kecuali, jika pasien sudah dapat tersenyum dan sadar sepenuhnya.
Diane menatap putrinya yang masih belum sadarkan diri. Lalu, pandangannya beralih pada Nino yang duduk di sofa dengan wajah tertunduk. Tampak Amira yang sedang berbicara pada pria itu. Diane pun menghampiri mereka dan duduk di samping Nino.
“Nino, apa kamu akan menerima keadaan Clarissa sekarang?” tanya Diane. Mereka akan segera menikah, tetapi dengan keadaan seperti ini, pernikahan itu rasanya mustahil terjadi. “Apa orang tua kamu akan tetap menerima Clarissa?” Diane merasa sakit ketika membayangkan penghakiman masyarakat terhadap putrinya nanti.
Nino diam. Ia tengah bimbang sekarang. Ia tetap mencintai Clarissa, tetapi jika ada seorang anak di antara mereka yang bukan darah dagingnya, bagaimana Nino bisa menerimanya dengan tangan terbuka? Dan bagaimana jika Clarissa tahu tentang keadaannya sekarang?
“Batalkan pernikahannya, Nino. Itu yang terbaik,” ujar Diane lagi, membuat Nino mengangkat wajah dengan mata yang melebar dan mulut sedikit ternganga.
“Tante—-”
“Tante gak mau keluarga kamu ikut menanggung malu karena hal ini.” Diane menepuk dadanya. “Biar Tante yang menanggungnya. Kamu masih bisa mendapatkan seseorang yang lebih pantas daripada Clarissa.” Diane menahan air mata di pelupuk matanya. Napasnya sudah sesak karena menahan kesedihan yang begitu hebat menghantam dadanya.
“Enggak, Tante.” Nino menggeleng kuat. “Aku gak akan pernah membatalkan pernikahan ini sampai kapanpun.”
“Nino, benar apa yang Mami bilang. Keluarga kamu akan ikut terseret jika tahu apa yang terjadi pada Clarissa. Semua akan menyangka jika kamu yang menghamilinya. Kami gak mau Clarissa mengalami kesulitan suatu hari nanti karena pandangan orang lain yang buruk tentangnya. Apalagi jika mereka tahu kebenarannya.” Amira ikut memberi tanggapan atas ucapan ibunya.
Nino menoleh pada Amira. “Mbak, sebelumnya Mbak mau dukung aku. Kenapa sekarang begini? Aku bersedia pindah keluar kota, asalkan tetap izinkan aku menikahi Clarissa.” Nino beralih duduk berlutut di hadapan Diane dan Amira. “Tolong, Mbak, Tante. Aku bersedia bertanggung jawab.” Tanpa berpikir panjang, Nino mengatakannya. Nino menatap bergantian Diane dan Amira.
Sebelumnya Amira mengatakan, setelah mereka menikah nanti, mereka lebih baik pindah ke kota lain. Itu demi kenyamanan Clarissa. Agar Clarissa tidak mendengar ucapan negatif dari orang-orang sekitarnya. Namun, Amira kembali berpikir, itu bukanlah pilihan terbaik. Nino akan sulit menerima anak yang dikandung oleh Clarissa.
Amira menggeleng. “Kamu enggak akan bisa, Nino. Kamu gak akan bisa menerima anak yang bukan anak kamu.”
Nino terduduk lemas.
“Itu yang terbaik untuk kita, Nino.” Diane menepuk bahu Nino.
***
Clarissa membuka mata perlahan. Ia merasa asing dengan tempat itu, ruangan yang didominasi warna putih itu bukan kamarnya. Lalu, ia teringat sesuatu, ia melihat Nino berlari menujunya saat terjatuh dari tempat tidur. Clarissa juga mendengar pria itu menyebut namanya berkali-kali sebelum akhirnya Clarissa tidur tanpa mimpi. Entah itu tidur atau dirinya pingsan, entahlah. Ia ingin seperti tadi dan berharap tidak bangun lagi, dan semua kenangan buruk yang terus berputar di kepalanya akan hilang.
Clarissa hanya menatap langit-langit, tenggelam ke dalam kegelapan yang selama ini setia menemani. Tatapannya kembali kosong, pikirannya jauh mengelana. Clarissa hampir tidak bisa lagi melihat jati dirinya, semua hal dalam hidupnya yang indah kini hilang bagai ditelan bumi. Yang tersisa hanya raga tanpa jiwa yang utuh. Clarissa tidak menemukan lagi alasan dan tujuan untuk hidupnya sekarang. Rencana pernikahan yang sudah di depan mata pun kini bagai mimpi indah yang sulit digapai.
Dalam diam, air matanya mengalir. Walau wajahnya tak menampakkan kesedihan, tetapi kesadaran dalam hati yang masih tersisa merasakan sakit teramat dalam.
“Clarissa.” Diane baru menyadari jika putrinya sudah sadar, tetapi Clarissa tidak menyahut. Wanita itu mengusap air mata yang terus mengalir dari sudut mata putrinya. “Apa yang sedang kamu pikirkan sampai menangis seperti ini?”
Clarissa masih tidak menjawab.
Diane sedikit menengadah untuk menahan air matanya.
“Sayang.” Diane mengelus kepala Clarissa dengan penuh kasih sayang. “Mami … terpaksa harus mengatakan ini. Mami akan membatalkan pernikahan kamu sama Nino.”
Clarissa tidak bereaksi, tetapi Diane mulai mendengar isak tangis darinya. Diane menggenggam tangan putrinya.
“Kamu gak bisa menikah dalam keadaan seperti ini.” Diane tidak bisa lagi menahan air matanya. Ia juga tidak bisa mengatakan jika Clarissa sedang hamil sekarang. Terlalu takut untuknya mengungkapkan hal itu. Ia takut jika Clarissa akan semakin tertekan, tetapi ia juga tidak bisa menyembunyikan hal itu dari putrinya. Semakin hari, janin di dalam perutnya akan semakin tumbuh.
Clarissa bisa merasakan hatinya tersayat ketika mendengar hal itu dari ibunya. Kenapa ia harus mengalami takdir seperti ini. Clarissa meremas seprai dengan sekuat tenaga.
“Clarissa, sebenarnya Mami gak mau mengatakan ini, tapi kamu harus tahu,” ujar Diane sambil terisak. “Sekarang kamu sedang hamil dua bulan. Katakan pada Mami, siapa yang sudah menghamili kamu?”
Pupil mata wanita itu membesar. Clarissa tidak bisa lagi menahan sesuatu yang mengganjal di dadanya dan akan meledak ketika waktunya tiba.
“Siapa yang sudah melakukan ini padamu, Sayang?” Diane mendesak Clarissa untuk bicara.
Clarissa menggeleng kuat. Ia ingin mengatakan, tetapi mulutnya terasa dikunci. Akhirnya, Clarissa berteriak histeris ketika mengetahui dirinya hamil. Mimpi buruk itu semakin menggerogoti hidupnya. Ia meronta-ronta sehingga infus yang tertancap di lengannya hampir tercabut, Diane pun berusaha menenangkan putrinya. Tidak peduli seberapa perih infus di lengannya, hal itu tidak akan mengalahkan rasa perih dan sakit dalam dada. Hidupnya kini benar-benar sudah hancur.
Clarissa menangis meraung-raung, suaranya menggema di ruangan itu. Tangisan putus asa itu tidak akan ada habisnya. Clarissa merasa hidupnya sudah tidak berguna lagi. Diane memeluk putrinya erat. Pria macam apa yang sudah membuat putrinya seperti ini. Tak lama kemudian, petugas medis datang untuk menenangkan sekaligus memeriksa keadaan Clarissa.
Clarissa kembali tenang setelah kelelahan menangis. Diane duduk di kursi samping ranjang sambil mengusap-usap puncak kepala putrinya. Tak lama kemudian, Amira masuk.
“Kata dokter, Clarissa sudah boleh pulang. Keadaannya sudah cukup membaik,” ujar Amira.
Diane menatap Amira sejenak, lalu kembali beralih pada Clarissa.
“Biar aku yang tangani psikologisnya, Mam. Aku udah ajuin surat pengunduran diri di rumah sakit tempatku kerja. Mungkin, besok aku harus kembali ke Surabaya buat urus prosedurnya. Kalau ada apa-apa, Mami bisa telepon aku.”
Diane membuang napas berat. “Kamu gak apa-apa tinggalin kerjaan demi adik kamu?”
Amira mengangguk. “Aku gak bisa lihat Clarissa seperti ini. Dia pasti akan sembuh kalau cepat ditangani.” Amira mengalihkan tatapan pada Clarissa yang kini berbaring dengan posisi membelakanginya.
***
Nino duduk termenung di hadapan ibu dan kedua adiknya. Mereka sudah mendengar apa yang terjadi pada Clarissa sekarang. Reaksi ketiga perempuan di hadapannya tentu terkejut dan tidak percaya. Terlebih ketika Nino mengatakan bersedia akan bertanggung jawab meski itu bukan anaknya.
“Ibu gak setuju!” ujar Azizah dengan tegas. “Kamu gak berhak menikahi dia dalam keadaan hamil anak orang lain.”
“Tapi, Bu—-”
“Ibu gak akan mengizinkan walaupun kamu memohon. Ibu akan bicara dengan Bu Diane terkait pembatalan pernikahannya.” Azizah beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kamar, menyisakan Tasya dan Nania di sana. Mereka beranjak menghampiri Nino, lalu duduk di sampingnya.
“Kami ikut prihatin, Mas,” ujar Tasya. “Pasti berat buat Mbak Clarissa, juga buat Mas Nino.”
Nino menarik napas dalam. “Ternyata memang benar, manusia hanya bisa berencana dan Tuhan yang menentukan.”
Nania memeluk Nino terlebih dahulu, diikuti oleh Tasya. Mereka hanya bisa memberikan dukungan seperti ini pada kakaknya. Namun, jauh di lubuk hatinya, Nino merasa lebih hancur daripada yang ia perlihatkan pada orang-orang.
Sejak kepulangannya dari rumah sakit, belum ada perubahan berarti pada Clarissa. Yang wanita itu lakukan hanya merangkai bunga untuk mengalihkan semua pikirannya. Langkah kecil yang cukup bagus, itu yang dikatakan oleh Amira. Sementara ini, Amira hanya bisa memantau perkembangannya dari jarak jauh, karena ia harus mengurus pengunduran dirinya.
Sore ini, Clarissa duduk di halaman belakang rumahnya. Termenung melihat sang ibu yang sedang menyiram bunga di taman mini miliknya. Beberapa hari yang lalu, Azizah datang ke rumahnya dan Clarissa sempat mendengar percakapan mereka walau hanya samar-samar. Ia mendengar ibunya menangis dan ditenangkan oleh Azizah. Kemudian, mereka membicarakan tentang pernikahan mereka yang harusnya digelar kurang dari dua minggu lagi dan mereka memutuskan untuk membatalkannya.