🔥Bocil dilarang mampir, dosa tanggung masing-masing 🔥
———
"Mendesah, Ruka!"
"El, lo gila! berhenti!!!" Ruka mendorong El yang menindihnya.
"lo istri gue, apa gue gak boleh pakek lo?"
"El.... kita gak sedekat ini, minggir!" Ruka mendorong tubuh El menjauh, namun kekuatan gadis itu tak bisa menandingi kekuatan El.
"MINGGIR ATAU GUE BUNUH LO!"
———
El Zio dan Haruka, dua manusia dengan dua kepribadian yang sangat bertolak belakang terpaksa diikat dalam sebuah janji suci pernikahan.
Rumah tangga keduanya sangat jauh dari kata harmonis, bahkan Ruka tidak mau disentuh oleh suaminya yang merupakan Badboy dan ketua geng motor di sekolahnya. Sementara Ruka yang menjabat sebagai ketua Osis harus menjaga nama baiknya dan merahasiakan pernikahan yang lebih mirip dengan neraka itu.
Akankah pernikahan El dan Ruka baik-baik saja, atau malah berakhir di pengadilan agama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nunna Zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Perlahan-lahan, mata El terbuka. Cahaya lampu yang redup dan aroma antiseptik memenuhi indra penciumannya, membuatnya terbangun dalam kebingungannya. Ia mendesis pelan, merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya saat mencoba untuk bangun. Tubuhnya terasa berat, dan kepalanya seakan dipenuhi oleh awan tebal yang berputar-putar.
Tiba-tiba, suara yang familiar terdengar di telinganya, membuatnya kembali menoleh. Ruka, yang terlihat lelah dengan mata merah dan wajah yang penuh kekhawatiran, sudah duduk di samping tempat tidur, menatapnya dengan cemas.
"Lo udah sadar, El?" tanya Ruka.
El hanya bisa mengangguk sedikit, walau gerakannya terlihat terhambat karena rasa pusing yang terus menggerogoti kepalanya.
Tanpa menunggu lebih lama, Ruka buru-buru berdiri dan berlari keluar untuk memanggil perawat, meninggalkan El dalam kesunyian yang aneh, hanya ditemani oleh suara detakan mesin rumah sakit yang monoton.
Tak lama kemudian, perawat datang dengan langkah cepat, memeriksa kondisi El yang masih tampak lemah. "Bagaimana perasaannya, Mas El?" tanya perawat itu dengan hati-hati, sambil memeriksa tekanan darah El yang tampaknya tidak stabil.
"Masih pusing... dan... kepala gue... sakit," jawab El pelan, mencoba untuk tetap tenang meski tubuhnya masih terasa lemah.
"Sus, apa parah lukanya?"
Perawat itu tersenyum lagi, meyakinkan Ruka bahwa kondisi El tidak seburuk yang dibayangkan. "Beruntung sekali. hasil CT-SCAN bagus, kata dokter Mas nya hanya perlu istirahat untuk memulihkan kondisi tubuh dan luka lecet di pelipisnya. Dan satu lagi, jangan biarkan dia terlalu banyak bergerak dulu."
Ruka menghela napas lega, beban yang menekan dadanya sedikit terangkat. "Syukurlah... Gue pikir... Gue pikir bisa lebih parah dari ini," katanya pelan, wajahnya yang sebelumnya tegang mulai sedikit lebih rileks, meskipun masih tampak cemas.
Perawat itu mengangguk sambil mencatat sesuatu di clipboardnya. "Untuk sementara, kita akan terus pantau kondisinya. Jika ada perubahan, segera beri tahu kami."
Ruka mengangguk, "Pasti, terima kasih."
Begitu perawat itu pergi, Ruka kembali duduk di samping El, memperhatikan wajah El yang masih tampak lelah. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak mengomel.
"Kepala gue pusing Ruka, bisa dipending dulu gak ngomelnya?"
Ruka mendengus, melipat tangan di dada sambil memandang El dengan tatapan kesal. "Lo tuh ya, El. Udah bikin gue panik setengah mati, eh sekarang malah sok minta gue diam. Kalau kepala lo pusing, ya salahin diri lo sendiri!"
El meringis, memijit pelipisnya pelan. "Ya kan gue gak sengaja jatuh... Lagian gue menang kan tadi? Harusnya lo bangga, bukan ngomel."
"Menang, tapi dengan harga nyaris metong! Hebat banget lo, nyawa lo ada berapa sih?" Ruka menarik napas panjang, mencoba meredam emosinya. "El, lo tahu gak gimana rasanya gue tadi malam? Lo pingsan, darah di pelipis lo ngalir... Gue gak tahu harus gimana kalau lo kenapa-kenapa. Mana bokap lo gak bisa di hubungi."
El membuka matanya lebih lebar, menatap Ruka dengan sedikit rasa bersalah. "thanks, lo udah mirip bini gue beneran kalau lagi ngomel."
"Idih najong!"
***
Sore harinya El sudah diperbolehkan pulang karena kondisinya sudah mulai stabil. Dibantu Rico mereka kini sudah ada di rumah.
"Sejak kapan lo tahu gue sama El?" tanya Ruka, begitu sampai di rumah.
"Sejak dia dijodohin."
Ruka melotot tajam pada El yang rebahan di sofa, meminta kejelasan.
"Tenang aja, Rico bisa dipercaya. Lo gak perlu khawatir sama dia. Kalaupun dia ember udah sebulan yang lalu pernikahan kita terekspose." jelas El.
Ruka mendengus kesal, melipat tangannya di dada sambil memandangi El yang tampak santai di sofa. "Jadi lo cerita ke Rico? Sejak kapan lo jadi tukang gosip, El?"
"Dia sahabat gue. Gue butuh seseorang buat curhat, apalagi soal pernikahan ini. Tenang aja, Rico gak bakal buka mulut ke siapa-siapa."
Rico, yang berdiri tak jauh dari mereka, terkekeh kecil. "Santai, Ruka. Gue udah sumpah setia sama rahasia kalian. Lagian, gue juga gak mau repot sama drama kalian."
"Drama?" Ruka mengulang dengan nada tajam, menatap Rico seolah dia baru saja menghina garis keturunannya.
Rico mengangkat tangan, menyerah. "Oke, salah ngomong. Maksud gue... hubungan unik kalian."
El terkekeh, menikmati ekspresi kesal Ruka.
"Lo bener-bener gak ngomong ke siapa-siapa, kan?"
"Serius," jawab Rico sambil mengangkat dua jari, seperti bersumpah. "Lagian, gue bukan tipe ember. Kalau gue buka mulut, gue yang kena masalah sama lo dan El. Dan, trust me, gue gak mau itu."
Ruka menghela napas panjang, mencoba meredam emosinya. "Baiklah, gue percaya sama lo. Tapi kalau gue sampai dengar ada yang tahu soal ini, gue gak bakal ragu buat nyalahin lo."
Rico tersenyum kecut. "Noted, Nyonya El."
"JANGAN PANGGIL GUE BEGITU!" protes Ruka cepat, wajahnya memerah.
"Iya-iya maaf bu Ketos. Btw, gue harus balik dan mohon bantuannya untuk merawat suami Anda, bu Ketos." Rico menunduk, lalu buru-buru kabur, sebelum Ruka menahannya.
"RICO!!!
Bersambung...