Deskripsi:
Di sebuah ruang sunyi yang dihiasi mawar merah dan lilin-lilin berpendar redup, seorang pengantin dengan gaun merah darah duduk dalam keheningan yang mencekam. Wajahnya pucat, matanya mengeluarkan air mata darah, membawa kisah pilu yang tak terucap. Mawar-mawar di sekelilingnya adalah simbol cinta dan tragedi, setiap kelopaknya menandakan nyawa yang terenggut dalam ritual terlarang. Siapa dia? Dan mengapa ia terperangkap di antara cinta dan kutukan?
Ketika seorang pria pemberani tanpa sengaja memasuki dunia yang tak kasat mata ini, ia menyadari bahwa pengantin itu bukan hanya hantu yang mencari pembalasan, tetapi juga jiwa yang merindukan akhir dari penderitaannya. Namun, untuk membebaskannya, ia harus menghadapi kutukan yang telah berakar dalam selama berabad-abad.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6: DALAM BAYANGAN GELAP
Kuil itu tetap sunyi setelah makhluk itu hilang, namun Arjuna merasa seolah seluruh dunia sedang memantau langkahnya. Dia duduk terengah-engah di lantai, dengan tangan gemetar memegang belati yang masih menyala. Cahaya merah yang memancar dari ujung belati kini telah redup, tapi ada sesuatu yang tetap tinggal dalam dirinya—perasaan tidak pernah benar-benar aman. Sesuatu yang menekan di dadanya, membuatnya merasa terjebak dalam perjanjian yang tak bisa ia lepaskan.
Vera berdiri di hadapannya, matanya berkilat dengan kecemasan yang jelas. "Kau masih belum sepenuhnya bebas, Arjuna," kata Vera dengan suara serak, seolah menanggung beban yang lebih berat dari yang terlihat. "Perjanjian kita—perjanjian itu... dia akan kembali. Dan kali ini, dia akan lebih kuat."
Arjuna mendongak ke arahnya, wajahnya penuh kebingungan dan kebingungan yang lebih dalam. "Kenapa aku? Kenapa aku yang harus terlibat dalam semua ini?" suaranya bergetar, hampir seperti sebuah jeritan yang tertahan.
Vera menatapnya dengan mata penuh rasa sakit. "Karena kau adalah satu-satunya yang bisa mengalahkannya, Arjuna. Itu sebabnya aku membawamu ke sini."
"Tapi... aku bukan orang yang kuat! Aku tidak tahu apa yang sedang kita hadapi!" Arjuna merasa gelisah, pikirannya kembali berputar-putar. "Aku hanya ingin hidup biasa. Hidup tenang, seperti dulu."
Vera menunduk, seolah merasakan kedalaman perasaan Arjuna. "Aku tahu, dan aku menyesal telah membawamu ke dalamnya. Namun, ini sudah terjadi. Kau dan aku, kita terikat dalam kutukan ini. Aku tidak bisa menariknya kembali."
Tiba-tiba, sebuah suara dari kejauhan mengganggu mereka. Suara langkah berat yang semakin mendekat, disertai oleh bisikan halus yang menyelusup di telinga mereka. "Kalian tidak bisa lari..."
Arjuna dan Vera saling berpandangan, wajah mereka terbelalak ketakutan. "Dia sudah kembali..." Vera berbisik, dan dalam satu gerakan cepat, dia menarik Arjuna berdiri dan memerintahkannya untuk berlari.
Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, seluruh kuil berguncang hebat. Batu-batu besar jatuh dari langit-langit, menghantam tanah dengan suara keras, menciptakan lubang-lubang besar di mana-mana.
Dari dalam kegelapan, muncul bayangan itu—lebih besar, lebih mengerikan, dengan tubuh yang semakin sulit dikenali. Cairan hitam yang sebelumnya hanya menetes, kini mengalir deras dari tubuh makhluk itu.
"Tidak ada yang bisa melarikan diri dariku," suara itu menggelegar, menggetarkan setiap inci udara.
Arjuna merasakan tubuhnya terhuyung, hampir terjatuh, tetapi Vera dengan cepat menahannya. "Kita harus pergi, Arjuna! Jangan berhenti!"
Mereka berlari melalui kuil yang mulai runtuh. Di sepanjang jalan, bayangan itu mengejar mereka, meluncur dengan kecepatan luar biasa. Setiap kali Arjuna menoleh, makhluk itu tampak semakin dekat.
"Lari!" teriak Vera, menarik tangan Arjuna dengan kuat.
Namun, Arjuna tidak bisa menahan rasa takut yang semakin mengguncang hatinya. Tubuhnya terasa berat, kakinya serasa terjebak dalam pasir yang dalam. Setiap langkah terasa semakin sulit.
"Vera... aku tidak bisa!" teriak Arjuna, napasnya terengah-engah.
Vera memutar tubuhnya, memegang wajah Arjuna dengan lembut, meski ada kekuatan yang tersembunyi dalam tatapannya. "Kau harus, Arjuna. Ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang masa depan dunia kita. Kau tahu apa yang harus dilakukan. Jangan biarkan dia menang."
Arjuna menatap Vera dengan matanya yang semakin kosong, dipenuhi ketakutan. "Apa yang harus aku lakukan?"
Vera menarik napas dalam-dalam dan mengangguk ke arah altar yang jauh di ujung ruangan, yang kini dihancurkan sebagian oleh kehancuran yang ditimbulkan oleh makhluk itu. "Ada simbol kuno di sana, Arjuna. Itu adalah satu-satunya cara untuk mengalahkan makhluk itu selamanya. Tapi kita harus mencapai altar itu, sebelum dia benar-benar menguasai kita."
Namun, langkah mereka semakin lambat, karena kegelapan semakin menyelubungi mereka. Makhluk itu semakin dekat, suaranya menggelegar di seluruh kuil, membuat Arjuna dan Vera hampir kehilangan harapan.
---
"Jangan berhenti, Arjuna!" Vera berteriak dengan suara yang memaksa Arjuna untuk melangkah maju.
Mereka mencapai altar, tetapi saat mereka melangkah lebih dekat, bayangan itu menyelubungi mereka. Kali ini, makhluk itu lebih nyata dari sebelumnya. Tangan besar yang terbuat dari kegelapan menghampiri mereka dengan kecepatan luar biasa, dan tubuh Arjuna terasa seperti terhimpit oleh tekanan yang tidak terlihat.
"Vera!" Arjuna terjatuh ke lantai, matanya melotot. "Aku... aku tidak bisa mengalahkannya!"
"Kau bisa!" Vera hampir menangis. "Kau punya kekuatan itu dalam dirimu. Itu adalah takdirmu, Arjuna."
Arjuna menggenggam belati yang sekarang terasa lebih berat dari sebelumnya. Namun, dia merasakan sesuatu yang berbeda—sesuatu yang tumbuh dalam dirinya. Energi yang panas mulai mengalir dari dalam tubuhnya, lebih kuat dari sebelumnya. "Aku bisa... Aku bisa mengalahkanmu!"
Dengan segenap kekuatan, Arjuna berdiri, memegang belati dengan kedua tangan. Cahaya merah bersinar lebih terang dari sebelumnya, lebih kuat, lebih membakar.
Makhluk itu menggeram keras. "Tidak! Ini belum selesai!"
Arjuna menatapnya dengan mata yang penuh tekad, dan dengan satu serangan mematikan, dia menusukkan belati ke jantung makhluk itu. Makhluk itu mengeluarkan raungan mengerikan, suaranya menggema sepanjang ruangan, dan tubuhnya mulai hancur menjadi debu yang terbang terbawa angin.
Namun, meskipun makhluk itu hancur, Arjuna tahu bahwa kegelapan itu belum benar-benar pergi. Ada rasa takut yang mengendap dalam dirinya, bahwa selama perjanjian itu masih ada, kegelapan akan selalu mengintai.
"Kita belum selesai," bisik Vera, mendekat ke Arjuna. "Ini baru permulaan."
Arjuna menatap langit-langit kuil yang runtuh, merasakan kegelapan yang masih mengintai. Dan di dalam dirinya, ia tahu bahwa pertarungan ini—pertarungan untuk bertahan hidup dan mencari penebusan—baru saja dimulai.