Dr. Brain
Sebelumnya…
Pukul 11 malam, di ruang kerja megah penuh buku, Julias Hartono, tenggelam dalam pekerjaan. Mata tajamnya menelusuri berkas-berkas, sementara jemarinya bergerak lincah di atas keyboard laptop.
Tak ada yang aneh. Malam-malam panjang seperti ini sudah menjadi rutinitas bagi pria berambisi tinggi itu. Namun, tiba-tiba Julias tampak memegang kepalanya karena pusing. Tak lama kemudian, matanya berubah menjadi kosong, tatapannya lurus ke depan seolah menatap sesuatu yang tak terlihat oleh orang lain.
Dalam sekejap, tanpa alasan jelas, dia berdiri, mengambil kunci mobil, dan berjalan keluar dengan langkah mantap, seolah-olah tubuhnya dikendalikan kekuatan tak kasatmata.
Julias langsung menuju mobil, tanpa membangunkan sopir. Dia memilih mengemudi sendiri, hal yang tak pernah dilakukannya selama bertahun-tahun. Mobil itu melaju pelan di bawah sinar lampu jalan, menembus kesunyian malam kota yang mulai meredup.
Tidak ada tujuan jelas, tetapi arah mobilnya tampak pasti, seperti dipandu sesuatu di luar kehendaknya. Dia terus menyusuri jalan-jalan yang tak biasa dia lewati, hingga akhirnya hilang dari pandangan kamera keamanan di suatu titik tak dikenal.
* * *
Pagi ini Raisha melangkah ringan memasuki minimarket di sudut jalan yang selalu ramai setiap akhir pekan. Ia tampil santai dengan celana jeans dan jaket hoodie pink bergambar kucing.
Hari ini adalah hari liburnya, momen langka bagi seorang agen rahasia yang hampir tak pernah punya waktu untuk diri sendiri. Minimarket itu penuh sesak dengan pembeli, namun Raisha tidak merasa tergesa. Ia menghela napas panjang, menikmati momen kebebasan singkat ini sambil memeriksa rak-rak makanan ringan.
“Hmm, tinggal satu,” gumamnya saat matanya menangkap sebuah cokelat favoritnya yang tersisa di rak. Cokelat itu seperti mengedipkan mata padanya dari antara rak-rak penuh, seolah memanggilnya.
Dengan cepat, Raisha mendekat, meraih cokelat tersebut. Namun, tepat saat tangannya akan menyentuh cokelat itu, sebuah tangan lain tiba-tiba muncul, menjulur dari arah berlawanan.
“Maaf,” ujar seorang laki-laki yang tingginya sedikit lebih dari Raisha sambil mengambil cokelat itu dengan gerakan secepat kilat, “Tapi saya duluan,” sambungnya, dingin.
Raisha menoleh, kaget dengan kehadiran orang itu. Lelaki tersebut tampak rapi, memakai kemeja kotak-kotak lengan pendek dan celana jeans yang disetrika halus. Matanya tajam, namun ada aura dingin menyebalkan di sana.
“Tidak mungkin,” balas Raisha, tegas. “Saya yang lihat lebih dulu.”
Laki-laki itu tersenyum kecil, seolah menikmati situasi. “Kamu mungkin yang melihat lebih dulu, tapi saya yang butuh ini,” jawabnya, sambil memperlihatkan cokelat tersebut dengan gaya menyebalkan.
Raisha, marah. Gadis itu bergerak cepat. Hampir tak tertangkap mata, Raisha menangkap pergelangan tangan si laki-laki dengan gerakan tangkas lalu memelintirnya ke belakang, membuat laki-laki itu meringis kesakitan.
“Oke, oke,” kata si laki-laki, menahan nafas “Kamu menang. Ambil cokelat ini! Sudah, lepaskan saya!”
Raisha menghela napas lega. Dia merebut kembali cokelatnya dari tangan laki-laki itu. Sementara si laki-laki menjauh sambil menatap tajam ke arah Raisha. Dia tampak memijit-mijit bahu dan tangannya, mencoba meredam rasa sakit akibat gerakan mendadak tadi.
Raisha melangkah ke antrian kasir yang cukup panjang, sambil menggenggam cokelat kemenangannya. Kepuasan kecil ini menambah semangatnya pagi itu. Tetapi ia tidak menyadari bahwa laki-laki itu masih mengintainya. Diam-diam si laki-laki mengintip dari sela-sela rak, menunggu kesempatan beraksi.
Saat antrian maju sedikit demi sedikit, laki-laki itu mulai bergerak. Dia tersenyum licik, otaknya yang cemerlang mulai memutar strategi. Dengan kecerdasannya tidak sulit baginya untuk memanipulasi situasi.
Ketika Raisha hampir sampai di kasir setelah antri cukup lama laki-laki itu melangkah cepat ke depan, menyela antrian tanpa ragu. Dia menyentuh bahu kasir dengan sikap santai dan tindakannya itu sukses menarik perhatian orang-orang di sekitar.
“Maaf, saya rasa ada kesalahpahaman,” ucap si laki-laki dengan nada lembut tapi meyakinkan. “Cokelat itu sebenarnya milik saya. Dan teman saya di sini,” dia melirik Raisha dengan senyum licik, “mungkin bingung, bagaimana sebuah barang di minimarket ini bisa menjadi miliknya.”
Kasir tampak ragu, tetapi dengan cepat mulai memeriksa barang di hadapannya. Raisha yang semula tenang mulai gelisah, merasa ada yang tidak beres.
“Tidak!” seru Raisha, suaranya sedikit meninggi, membuat beberapa orang di antrian menoleh. “Saya yang lihat cokelat itu lebih dulu, dan saya yang akan membayarnya.”
“Baiklah, kalau begitu... saya ingin bertanya ke kasir, bagaimana barang-barang di sini menjadi hak bagi seorang pelanggan untuk dibawa ke kasir, apakah setelah melihatnya atau memegangnya?” tanya si laki-laki.
Kasir itu tampak berpikir, kemudian temannya membisikan sesuatu ke telinganya, lalu kasir itu berkata, “Memegang, Pak, ya, mungkin… itu aturan tidak tertulisnya,”
“Dan… siapa tadi yang memegang lebih dulu?” tanya laki-laki itu pada Raisha.
Raisha tampak kesal.
“Siapa?” ulang laki-laki itu. “Tangan saya masih sakit loh!” bisiknya dengan gaya menyebalkan.
Para kasir dan orang-orang yang mengantri memperhatikan mereka berdua. Raisha berpikir lebih lanjut. Ia rasa mungkin ada beberapa petugas yang memperhatikan keributan mereka di dekat rak makanan ringan tadi. Atau lebih jauh lagi, CCTV merekam semuanya. Memikirkan semua itu, Raisha merasa tak berdaya.
“Kamu,” jawab Raisha akhirnya dengan wajah kesal.
Laki-laki itu tersenyum puas. Tanpa banyak bicara ia segera menaruh barangnya di samping barang Raisha di meja kasir dan memindahkan cokelat itu ke tengah-tengah barangnya lalu bicara :
“Tolong punya saya dulu,” katanya kepada kasir.
“Loh, kok nyerobot antrian sih?” protes Raisha.
“Kamu juga sudah nyerobot barang saya, dan... dengan ini kamu tak perlu membayar biaya pengobatan tangan saya,” jawab laki-laki itu, kemudian beralih ke kasir, “Tidak apa-apa kan?”
“Tapi…” kata-kata Raisha menggantung seolah tak menemukan kata-kata lagi.
Raisha tak percaya apa yang terjadi. Kasir, seolah terpengaruh oleh permainan dan pembawaan tenang si laki-laki. Kasir pun mengangguk dan membiarkan si laki-laki maju lebih dulu.
“Ini tidak benar!” protes Raisha, tetapi orang-orang di antrian tampaknya lebih menikmati drama kecil ini daripada ikut campur.
Si laki-laki dengan wajah penuh kemenangan, melakukan pembayaran kemudian berlalu membawa semua barang-barang belanjaannya termasuk cokelat itu.
Raisha hanya bisa berdiri tertegun. Dia masih di depan kasir, bingung dan marah. Apa yang baru saja terjadi? Bagaimana bisa seseorang dengan begitu mudah memanipulasi situasi dan membuatnya kalah begitu saja? Apakah dia benar-benar secerdik itu, ataukah dirinya yang lengah karena terlalu fokus pada liburannya?
Dengan perasaan tidak karuan, Raisha membayar barang-barang yang tersisa di keranjang belanjanya, semuanya kecuali cokelat yang sekarang sudah ada bersama-sama laki-laki itu. Sambil menjauhi meja kasir, Raisha mencoba menenangkan pikiran. Namun, kejadian ini mulai mengusik insting profesionalnya sebagai agen.
Siapa sebenarnya laki-laki itu? pikirnya sambil melangkah menuju pintu keluar.
Raisa segera keluar dari minimarket. Ketika baru saja menutup pintu kaca tiba-tiba ponselnya berdering. Dengan cepat, dia mengeluarkan ponsel dari saku celana dan melihat nama yang muncul di layar. Raisha terkejut. Dengan sedikit keraguan, ia menjawab panggilan tersebut.
“Raisha,” suara di ujung telepon terdengar tegas dan mendesak, jelas itu suara Greg, sang kepala agen. “Kamu secepatnya diminta untuk ke markas. Ini sangat mendesak dan tidak bisa ditunda lagi.”
“Di hari libur?” tanya Raisha, heran. “Ada masalah, Pak?” tanya Raisha dengan enggan.
“Lebih dari sekadar masalah. Ada tugas mendesak yang sangat penting, dan aku butuh kehadiranmu segera. Detailnya akan aku jelaskan saat semua agen berkumpul,” jelas suara tersebut.
“Tugas mendesak? Semua agen?” tanya Raisha, terkejut.
“Ya, semua agen harus berkumpul sekarang juga,”
“Tapi ini hari libur, Pak, saya…”
“Maafkan saya, saya tahu, tapi sekali lagi ini mendesak, ini… perintah langsung dari Presiden!”
“Perintah langsung Presiden?” Raisha terbelalak. Selama ia bertugas, belum pernah ada perintah langsung Presiden seperti ini. Semendesak apa tugas ini sebenarnya.
“Ya, itulah kenyataannya. Baik, tak ada waktu lagi, saya harap kamu segera ke markas. Saya tunggu.”
Raisha merasa berdebar. Dia tahu bahwa setiap panggilan mendesak dari atasannya berarti ada sesuatu yang serius, apalagi kini perintah langsung Presiden. Meski untuk ini ia merasa me-time-nya sedikit terganggu.
“Baiklah, saya segera menuju markas,” jawabnya cepat, seraya berusaha menutupi perasaan kesal.
Raisa melirik jam tangannya sesaat. Pukul delapan pagi. Jam tangan Hello Kitty masa kecilnya itu masih saja menemaninya bahkan setelah dia bertugas sebagai agen rahasia. Raisha tak peduli meski kadang teman-temannya sesama agen rahasia mengejeknya. Raisha selalu merasa cukup dengan memberi alasan bahwa jamnya itu bisa jadi penyamaran yang bagus untuknya. Ketika melihat jam itu, musuh akan lengah bahwa dirinya adalah ahli taekwondo sabuk hitam.
Raisha segera masuk ke dalam mobil. Dengan cepat dia memutar kunci kontak dan merasakan mesin menyala nyaring. Tanpa membuang waktu, gadis itu memindahkan tuas gigi lalu menginjak pedal gas, melesat membelah angin Jakarta, menelusuri jalan menuju markas.
TBC
Dukung terus "Raisha & Arya" menghadapi kejahatan Dr. Brain di novel ini ya teman-teman ! Jangan lupa LIKE, COMMENT, KASIH BINTANG & IKUTI Author, biar Author tambah semangat !!! Sampai jumpa di chapter berikutnya, daaah... !!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments