Hidup Kirana Tanaya berubah dalam semalam. Ayah angkatnya, Rangga, seorang politikus flamboyan, ditangkap KPK atas tuduhan penggelapan dana miliaran rupiah. Keluarga Tanaya yang dulu disegani kini jatuh ke jurang kehancuran. Bersama ibunya, Arini—seorang mantan sosialita dengan masa lalu kelam—Kirana harus menghadapi kerasnya hidup di pinggiran kota.
Namun, keterpurukan ekonomi keluarga membuka jalan bagi rencana gelap Arini. Demi mempertahankan sisa-sisa kemewahan, Arini tega menjadikan Kirana sebagai alat tukar untuk mendapatkan keuntungan dari pria-pria kaya. Kirana yang naif percaya ini adalah upaya ibunya untuk memperbaiki keadaan, hingga ia bertemu Adrian, pewaris muda yang menawarkan cinta tulus di tengah ambisi dan kebusukan dunia sekitarnya.
Sayangnya, masa lalu keluarga Kirana menyimpan rahasia yang lebih kelam dari dugaan. Ketika cinta, ambisi, dan dendam saling berbenturan, Kirana harus memutuskan: melarikan diri dari bayang-bayang keluarganya atau melawan demi membuktika
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecurigaan
Arini terdiam, merasa tersudut. Kata-kata Mirna terasa seperti racun yang menyusup ke pikirannya. Ia benci mengakuinya, tapi sebagian kecil dari dirinya tahu bahwa Mirna benar hidup memang keras. Namun, apakah itu alasan untuk kehilangan harga diri? Arini memutuskan, untuk saat ini, ia harus pergi.
“Aku tidak butuh bantuan seperti ini, Mirna. Jangan ganggu aku lagi!” ujarnya tegas sebelum berbalik dan meninggalkan klub dengan langkah cepat, meninggalkan Mirna yang hanya tersenyum sinis sambil menggelengkan kepala.
...----------------...
Arini pergi ke rumah Haryo sesuai permintaan Haryo untuk menemui Kirana. Di ruang tamu yang megah, Haryo menyambutnya dengan senyum penuh percaya diri.
“Pernikahan akan diadakan dua hari lagi,” ujar Haryo sambil menyerahkan sebuah kotak besar kepada Arini. “Ini pakaian yang akan kau kenakan untuk acara nanti. Kuharap kau menyukainya.”
Arini membuka kotak itu dengan penuh antusias. Matanya berbinar melihat gaun cantik berwarna pastel dengan desain elegan. “Terima kasih, Haryo. Aku sangat senang anakku akan menikah dengan pria sehebat dirimu,” katanya dengan nada tulus, meski ada sedikit rasa bersalah yang ia coba sembunyikan.
Setelah berbicara sejenak, Arini meminta izin untuk menemui Kirana. “Boleh aku ke kamarnya? Sudah lama sekali aku tidak melihatnya,” tanyanya.
Namun, Haryo menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. “Kirana tidak ada di kamarnya. Dia sedang di taman belakang. Dia sudah menunggu untuk berbicara denganmu.”
Arini mengangguk, lalu melangkah menuju taman di belakang rumah Haryo. Saat tiba di sana, ia melihat Kirana duduk di sebuah bangku taman, dikelilingi bunga-bunga indah. Penampilannya berbeda dari yang biasanya rambutnya tertata rapi, wajahnya bersih dan bercahaya, serta gaun putih sederhana yang ia kenakan membuatnya tampak anggun.
“Sepertinya dia diurus dengan baik di sini,” gumam Arini pelan sambil mengamati Kirana dari kejauhan.
Kirana menyadari kehadiran Arini yang berjalan ke arahnya. Tatapan Kirana tetap dingin, penuh dengan rasa kecewa dan luka yang ia coba sembunyikan. Saat Arini memeluknya, Kirana hanya membalasnya dengan pelukan kaku, tanpa ekspresi yang tulus.
“Aduh, anak Mama sebentar lagi mau menikah,” ucap Arini dengan nada penuh kegembiraan, seolah-olah ini adalah pernikahan yang penuh cinta.
Namun, Kirana menatap ibunya dengan tajam. “Apakah Mama benar-benar senang dengan semua ini? Puas menikmati uang dari hasil menjual aku ke Haryo?” tanyanya dengan nada sarkastis. “Mama udah beli apa aja dari uang itu? Rumah baru? Barang mewah?”
Wajah Arini berubah canggung sejenak, tapi ia mencoba menutupi rasa bersalahnya. “Kirana, kamu jangan bicara seperti itu sama Mama. Mama ngelakuin ini semua buat kamu! Biar kehidupan kita nggak sengsara lagi. Kita nggak mungkin terus tinggal di kontrakan kumuh itu, Nak. Sekarang, Mama udah bisa beli rumah yang layak, semua ini untuk kita,” jawabnya sambil tersenyum bangga, tanpa menunjukkan penyesalan sedikit pun.
Kirana mendengus sinis. “Oh, jadi itu alasannya? Rumah baru sebagai harga untuk aku menikah dengan Haryo?” Ia menunduk sejenak, lalu menatap ibunya lagi dengan pandangan penuh luka. “Oh ya, aku mau tanya sesuatu. Haryo kelihatannya baik sekali sama Mama. Mama bilang, kalau aku nggak mau menikah dengannya, dia akan memenjarakan Ayah lebih lama. Apakah kalau aku meminta Haryo membebaskan Ayah sebagai syarat menikahiku, dia akan setuju?”
Pertanyaan Kirana membuat Arini terdiam. Wajahnya menunjukkan kebingungan dan rasa bersalah yang ia coba sembunyikan. Arini tahu ia telah berbohong tentang ancaman Haryo memenjarakan Rangga lebih lama. Semua itu ia katakan hanya untuk memaksa Kirana menerima pernikahan ini, sekaligus memastikan uang yang telah diberikan Haryo tidak ditarik kembali.
Arini mencoba meredam rasa panik yang melanda dirinya. Ia tahu jika Kirana sampai menanyakan hal itu langsung kepada Haryo, kebohongannya akan terbongkar. Tidak hanya itu, Haryo mungkin saja menarik kembali uang yang sudah diberikannya. Dengan wajah sedikit tegang, Arini berusaha menyusun kata-kata yang tepat.
“Kirana,” ujar Arini dengan nada yang dibuat selembut mungkin, “Mama paham kenapa kamu menanyakan hal itu. Tapi, percayalah, Haryo itu orang yang sangat berkuasa. Kalau kamu membahas soal pembebasan Ayah secara langsung dengannya, itu bisa memperburuk keadaan.”
Kirana menatap ibunya dengan ekspresi dingin. “Memperburuk keadaan bagaimana, Ma? Bukankah Haryo akan menikahiku? Harusnya aku bisa meminta itu sebagai syarat.”
Arini tersenyum tipis, meskipun dalam hatinya ia merasa semakin terpojok. “Haryo mungkin mencintai kamu, tapi dia juga orang yang sangat tegas, Nak. Kalau kamu menyinggung hal itu, dia bisa merasa kamu nggak tulus menerima pernikahan ini. Dan kalau itu terjadi, siapa yang tahu apa yang akan dia lakukan terhadap Ayah? Mama nggak mau ambil risiko.”
“Risiko?” Kirana menyipitkan matanya, mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. “Bukannya Mama bilang dia yang mengancam akan memperpanjang hukuman Ayah kalau aku menolak menikah? Kalau dia memang berniat melakukan itu, kenapa aku nggak boleh menanyakan ini?”
Arini terdiam sejenak, merasa sudut sempit yang ia masuki semakin menekan. Ia kemudian menghela napas panjang, mencoba menciptakan alasan lain. “Mama nggak bilang kamu nggak boleh menanyakan, Kirana. Tapi, kamu tahu kan, orang seperti Haryo… dia punya ego yang besar. Kalau kamu terlalu frontal, itu bisa membuatnya merasa kamu tidak menghormatinya. Mama hanya ingin kamu berhati-hati.”
Kirana tidak menjawab. Ia hanya menatap Arini dengan pandangan yang penuh curiga, seolah mencoba membaca apa yang sebenarnya sedang disembunyikan oleh ibunya. Hening sejenak mengisi udara di antara mereka.
“Lagipula,” lanjut Arini, mencoba memecah keheningan, “kita tidak perlu terburu-buru membahas soal Ayah. Setelah pernikahan, kamu akan punya banyak waktu untuk bicara dengan Haryo secara baik-baik. Sekarang fokus saja dulu ke pernikahanmu. Ini kan demi masa depanmu juga, Nak.”
...----------------...
Chandra membuka pintu rumahnya dengan langkah berat. Rasa bersalah menghantui pikirannya sepanjang perjalanan pulang. Saat masuk, dia melihat istrinya, Fani, duduk di ruang tamu dengan wajah penuh kecemasan. Di sebelahnya, Arzan, putra mereka, tampak gelisah sambil memainkan ponselnya.
“Kemana saja, Pak?” tanya Fani begitu melihat Chandra masuk. Nada suaranya terdengar lembut, namun sarat dengan kekhawatiran. “Semalaman tidak pulang tanpa kabar. Saya sampai tidak bisa tidur memikirkanmu.”
Chandra menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan rasa bersalah yang menghimpitnya. “Maaf, Bu. Semalam ada urusan mendadak... pekerjaan,” jawabnya dengan nada pelan.
Arzan memandang ayahnya dengan tatapan tajam. “Urusan apa, Yah? Saya semalam cari Ayah di kantor, tapi Ayah nggak ada di sana. Saya bahkan coba hubungi semua rekan kerja Ayah, mereka bilang Ayah juga nggak ada rapat.”
Chandra tersentak mendengar ucapan putranya. Dia tahu, berbohong lebih jauh hanya akan memperburuk situasi. Namun, dia belum siap mengatakan yang sebenarnya. “Itu urusan pribadi, Zan. Ayah tidak ingin membahasnya sekarang,” ujarnya singkat.
Fani berdiri dari duduknya dan mendekati Chandra. “Pak, apa ada sesuatu yang disembunyikan dari kami?” tanyanya dengan nada lembut namun tegas. “Saya ini istrimu. Kalau ada masalah, bicarakan. Jangan membuat saya khawatir seperti ini.”
Chandra menghela napas panjang, kemudian memandang istrinya. Wajah Fani yang penuh perhatian membuat rasa bersalahnya semakin dalam. Namun, dia tidak bisa mengakui apa yang terjadi semalam. “Tidak ada apa-apa, Bu. Hanya masalah pekerjaan yang tiba-tiba muncul,” katanya, mencoba terdengar meyakinkan.