Lunara Ayzel Devran Zekai seorang mahasiswi S2 jurusan Guidance Psicology and Conseling Universitas Bogazici Istanbul Turki. Selain sibuk kuliah dia juga di sibukkan kerja magang di sebuah perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI.
Ayzel yang tidak pernah merasa di cintai secara ugal-ugalan oleh siapapun, yang selalu mengalami cinta sepihak. Memutuskan untuk memilih Istanbul sebagai tempat pelarian sekaligus melanjutkan pendidikan S2, meninggalkan semua luka, mengunci hatinya dan berfokus mengupgrade dirinya. Hari-hari nya semakin sibuk semenjak bertemu dengan CEO yang membuatnya pusing dengan kelakuannya.
Dia Kaivan Alvaro Jajiero CEO perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI. Kelakuannya yang random tidak hanya membuat Ayzel ketar ketir tapi juga penuh kejutan mengisi hari-harinya.
Bagaimana hari-hari Ayzel berikutnya? apakah dia akan menemukan banyak hal baru selepas pertemuannya dengan atasannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21. Ayzel dan dua toddler dewasanya
...Hatiku penuh dengan goresan luka.
...
...Aku terpatahkan oleh harapanku sendiri.
...
...Aku menguncinya rapat.
...
...Aku pikir hatiku tak akan pernah goyah oleh siapapun.
...
...Sampai bertemu denganmu menjadi energi.
...
...Tapi ragu masih bergelumang dalam pikiranku.
...
...Ini nyata atau hanya sekedar harapan yang akan kembali mengecewakan.
...
...(Kaivan Alvaro Jaziero)
...
Alvaro dan Humey sudah bisa di pindahkan dari IGD ke ruang perawatan, hanya saja Ayzel bingung bagaimana harus menjaga mereka secara bersamaan. Tidak mungkin untuknya meminta bantuan Naira lagi, sementara sahabat sekaligus rekan seprofesinya tersebut besok juga harus kerja.
“Nai bisa bantuin?” Ayzel meminta Naira untuk melepaskan genggaman tangan Humey dari tangannya karena satu tangan Ayzel yang juga di genggam Alvaro.
“Sumpah Ay. Boleh ketawa gak sih ini?” Naira tak habis pikir dengan tingkah dua orang yang terbaring di brankar tersebut. Bisa-bisanya dalam kondisi setengah pingsan menggenggam tangan Ayzel seerat itu.
“Boleh saja, kalau kamu mau dapat teguran dari nakes di sana.” Ayzel menunjuk perawat-perawat dan dokter jaga yang ada di IGD malam itu.
“Kamu jangan sampai drop juga Ay. Kita butuh tubuh yang sehat untuk bekerja di dua tempat yang berbeda,” Naira tahu bagaimana lelahnya bekerja di dua tempat yang berbeda.
Naira juga menghadapai hal yang sama dengan Ayzel, bedanya Naira bekerja pada semacam lembaga pendidikan swasta untuk anak-anak sebelum siangnya ke pusat konseling. Sementara Ayzel bekerja di perusahaan yang lebih menyita waktu dan energinya sebelum siangnya pergi ke pusat konsul.
“Semoga saja tetap sehat Nai,” ucap Ayzel.
Naira menggantikan tangan Ayzel untuk di genggam Humey, dia tidak menyadarinya karena masih dalam pengaruh obat tidur. Sementara Ayzel sedikit kesusahan melepaskan genggaman tangan Alvaro yang terlalu kuat.
“Pak Alvaro bisa minta kerjasamanya sebentar? Saya harus mengurus administrasi anda dan Humey, bisa lepas dulu genggaman tangannya” bisik Ayzel di telinga Alvaro. Perlahan genggaman tangan Alvaro mulai melonggar.
“Good job CEO random,” ucapnya sambil tersenyum yang entah di dengar oleh Alvaro atau tidak. Namun tanpa Ayzel sadari, Alvaro terlihat seperti tersenyum dalam tidurnya.
Ayzel menanyakan pada nakes yang ada di sana, adakah ruang VIP yang dapat di gunakan untuk dua pasien tapi ada sekat. Tidak mungkin baginya menaruh Humey dan Alvaro dalam satu kamar tanpa sekat, karena mereka bukan mahram dan sebentar lagi Humey juga akan menikah.
“Kamu yakin menaruh mereka dalam satu ruangan Ay?” celetuk Naira yang melihat ada keragu-raguan dari raut muka Ayzel.
“Untuk sementara sampai pak Kim datang. Semoga saja ada ruang VIP dengan sekat,” walaupun sebenarnya dia masih ragu. Tapi solusi sementara hanya itu.
Mereka sudah di pindahkan ke ruang VVIP dengan Alvaro berada di ruang utama, sedangkan Humey berada di ruang sebelah bersekat dinding yang biasa di gunakan keluarga pasien yang menginap untuk tidur. Ruangan tersebut di buat seperti ruang perawatan, beberapa alat di pindahkan ke sana.
“Apapun kalau punya biaya sa ... bisalah ya Ay,” Naira sedikit tertegun dengan yang dilihatnya. Untunglah para petugas dan nakes yang membawa Humey juga Alvaro tidak mengerti bahasa Indo yan diucapkan Naira.
“Gak juga ah Nai. Emang bisa kita beli bahagia pake uang?” sanggah Ayzel.
“Iya sih gak bisa kalau itu,” Naira menggaruk pelipisnya.
“Kalau uang bisa beli bahagia, mereka berdua nih gak akan terbaring dengan jarum infus yang terpasang di tangan. Humey bisa beli apapun yang dia mau, tapi dia tidak bisa membeli isi pikirannya untuk memikirkan hal-hal yang membuatnya tidak stres.”
“Pak Alvaro? Tidak di ragukan lagi jika itu berkaitan dengan materi, tapi dia tidak bisa membeli malam hari untuk membuatnya terlelap tidur,” jelas Ayzel pada Naira.
“Tajam sekali pisaunya menancap di hati,” canda Naira pada sahabatnya setelah mendengar ucapan Ayzel. Naira dan Ayzel sama-sama bersyukur karena mereka saling memiliki satu sama lain sebagai rekan kerja maupun teman.
Ayzel bisa mengatakan tentang Humey dan Alvaro setelah dokter jaga memberikan diagnosa sementaranya setelah melakukan observasi beberapa saat pada ke dua pasien. Humey demam tak lain karena tekanan batin yang sedang dia hadapi, sedangkan Alvaro demam karena kelelahan dan insomnia yang dia miliki.
Ayzel tentu paham kenapa Humey mengalami hal tersebut, namun tidak untuk Alvaro. Ayzel hanya mengenalnya sebatas atasannya di kantor, dia tidak tahu apa yang terjadi dalam kehidupan pribadi Alvaro. Lebih tepatnya Ayzel tidak ingin masuk lebih jauh karena posisinya hanya sebagai karyawan Alvaro.
"Nai kamu pulang dulu saja,” Ayzel melihat arlojinya dan sudah jam satu dini hari. Naira besok harus kerja berangkat pagi juga.
“Gak apa-apa nih aku tinggal sendiri Ay?” Naira juga khawatir dengan kondisi Ayzel, takut dia tumbang. Tapi dia besok harus bekerja di lembaga pendidikan dan harus berangkat pagi.
“Gak apa-apa Nai. Beneran,” ucapnya meyakinkan Naira.
“Aku balik kalau begitu Ay. Kabari kalau butuh bantuan,”
“Terimakasih Nai,” Ayzel melambaikan tangan pada Naira yang sudah berjalan untuk pulang.
Ayzel tetap terjaga semalaman karena baik Humey maupun Alvaro sesekali terbangun karena merasa tidak nyaman dengan tubuh mereka. Lelah tentu saja, itu yang Ayzel rasakan. Tapi dia tetap berusaha selalu ada untuk dua orang yang sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
“Kak. Aku haus,” lirih Humey yang baru saja terbangun dari tidurnya. Ayzel bangkit dari duduknya dan memberikan minum pada Humey.
“Ada yang tidak nyaman?” tanya Ayzel padanya.
“Masih pusing tapi tidak separah semalam,” ujar Humey.
“Kalu bisa tidur lagi Humey. Biar besok badanmu lebih enakan,” Humey mengangguk menuruti titah kakak sepupunya.
Ayzel kembali duduk pada sofa panjang yang tadi sempat dia pindahkan dengan Naira ke ujung, lebih tepatnya posisi sofa berubah berada diantara ruangan Alvaro dan Humey. Jadi Ayzel tidak perlu bolak balik, dia bisa langsung tahu jika mereka butuh bantuan dari tempatnya duduk.
“Praanngg”
Ayzel tersentak mendengar sesuatu yang jatuh, dia baru saja memejamkan mata sebentar. Ayzel terkejut mendapati Alvaro berusaha turun dari ranjangnya. Karena masih lemas jadilah dia menyenggol nampan hanya berisi sendok yang ada di nakas hingga jatuh kelantai.
“Butuh sesuatu?” Ayzel mendekat ke ranjang Alvaro, memastikan kondisi pria itu.
“Emmm ... saya mau ketoilet,” ucapnya sedikit menahan malu pada Ayzel.
“Oh ... saya bantu,” Ayzel membantu Alvaro untuk ke kamar mandi. Ayzel memegang lengan Alvaro yang terlapisi baju pasien. Dia berusaha untuk tidak menggenggam tangan Alvaro.
Ayzel kembali ke sofa menunggu Alvaro keluar dari kamar mandi, untuk mengusir rasa kantuknya dia membuka macbook. Ayzel sebenarnya juga merupakan seorang penulis buku fiksi dan non fiksi, namun akhir-akhir ini dia berhenti sejenak karena rutinitasnya yang padat selama di Istanbul.
“Ceklek”
Ayzel buru-buru menghampiri Alvaro yang tertatih keluar dari kamar mandi. Dia membantu Alvaro naik kembali keranjang untuk berbaring. Ayzel menyelimuti Alvaro, memastikan juga selang infusnya tidak terbalik.
“Butuh sesuatu lagi?” tanya Ayzel sebelum dia kembali ke tempatnya.
“Bisa minta tolong ambilkan minum,” ucap Alvaro.
Ayzel menuangkan air mineral pada gelas untuk di berikan pada Alvaro, dia masih berdiri di samping ranjang Alvaro. Memastikan Alvaro meminumnya sampai tandas.
“Maaf sudah merepotkanmu,” ucap Alvaro saat melihat kantung mata perempuan yang mulai mengisi hatinya itu.
“Di maafkan. Asal pak Alvaro kembali istirahat dengan benar dan besok bisa lebih baik, jangan lupa saya jagain dua toddler besar malam ini. Jadi mohon kerjasamanya,” ucap Ayzel dengan penuh kelembutan dan ketulusan. Itu yang di rasakan Alvaro, tidak ada gurat kekesalan ataupun marah dari sorot matanya, yang terlihat hanya kantung mata lelah namun tak protes.
“Dua toddler?” Alvaro menaikkan satu alisnya.
“Satu di sana sedang tidur. Satunya di sini,” Ayzel menunjuk ruangan sebelah dan menunjuk pada Alvaro.
“Humey?” tanya Alvaro.
“Emmm ... dia juga demam. Saya sudah seperti mama dengan dua anak yang lagi rewel,” ucapan Ayzel bukan ucapan mengeluh tapi sekedar candaan pada Alvaro.
“Bukan mama tapi nyonya Alvaro,” protes Alvaro.
“Lagi sakit masih saja bisa bertingkah. Tidur pak Alvaro!!! Atau saya,” Ayzel sekarang mengerti harus bertindak bagaimana pada Alvaro.
“Saya tidur. Kamu tidak usah lanjutkan ucapanmu,” Alvaro langsung kembali merebahkan tubuhnya dan memejamkan matanya saat mendengar Ayzel mengucapkan mantranya.
Sebelum Ayzel kembali ke tempat duduknya, dia memastikan lebih dulu kondisi Humey. Bersyukur kondisinya lebih baik dari pada tadi, suara napasnya yang teratur menandakan dia tertidur dengan baik.
Ayzel duduk bersila pada sofa yang lumayan besar dan lebar tersebut, dia melanjutkan untuk menulis novelnya. Kantung matanya terlihat jelas, namun dia sudah tidak dapat tidur lagi. Tanpa di sadarinya, Alvaro memerhatikan Ayzel yang sedang fokus mengetik di macbooknya.
“Sebentar lagi Ze. Saya akan menjemputmu. Tolong tunggu sebentar lagi,” batin Alvaro melihat Ayzel yang terus memainkan jari-jarinya pada keyboard macbooknya.