800 setelah perang nuklir dahsyat yang melibatkan Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok, dunia telah berubah menjadi bayangan suram dari masa lalunya. Peradaban runtuh, teknologi menjadi mitos yang terlupakan, dan umat manusia kembali ke era primitif di mana kekerasan dan kelangkaan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Di tengah reruntuhan ini, legenda tentang The Mockingbird menyebar seperti bisikan di antara para penyintas. Simbol harapan ini diyakini menyimpan rahasia untuk membangun kembali dunia, namun tak seorang pun tahu apakah legenda itu nyata. Athena, seorang wanita muda yang keras hati dan yatim piatu, menemukan dirinya berada di tengah takdir besar ini. Membawa warisan rahasia dari dunia lama yang tersimpan dalam dirinya, Athena memulai perjalanan berbahaya untuk mengungkap kebenaran di balik simbol legendaris itu.
Dalam perjalanan ini, Athena bergabung dengan kelompok pejuang yang memiliki latar belakang & keyakinan berbeda, menghadapi ancaman mematikan dari sisa-s
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Cahaya yang Pudar
Athena berjalan dengan langkah berat, udara dingin pegunungan mulai menusuk kulitnya. Malam terasa abadi, gelap yang menyelimuti dunia seperti menggambarkan kekosongan di hatinya. Kehilangan Elias adalah pukulan telak, tetapi ia tahu dirinya tidak bisa berhenti. Medali di lehernya kini terasa lebih berat, seperti membawa tanggung jawab yang bukan hanya miliknya.
Di kejauhan, langit mulai memancarkan warna abu-abu pucat. Fajar menyingsing perlahan, menerangi pegunungan yang menjulang tinggi di depan Athena. Puncak Relic, tujuan yang terus memanggilnya, kini lebih jelas terlihat. Namun, jalan menuju ke sana bukanlah jalan yang mudah.
---
Athena tiba di lembah yang sempit, sebuah jalur berliku yang membelah dua tebing tinggi. Pohon-pohon mati dengan ranting-ranting tajam berdiri seperti penjaga bisu. Ia tahu tempat ini berbahaya. Lembah seperti ini adalah tempat sempurna untuk penyergapan.
Athena mengencangkan genggamannya pada pisau yang terselip di pinggangnya. Langkahnya pelan, setiap derit ranting di bawah sepatu membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ia berhenti ketika mendengar suara samar—suara rantai yang diseret.
Clink... clink... clink.
“Ada seseorang,” gumamnya pada dirinya sendiri.
Dengan hati-hati, ia bersembunyi di balik batu besar, mengintip ke depan. Di sana, ia melihat tiga orang bergerak dengan langkah tertatih-tatih. Mereka kurus, wajah mereka seperti bayangan kematian, tubuh mereka penuh luka dan memar. Di belakang mereka, seorang pria besar bersenjata cambuk memaksa mereka maju.
“Tahanan?” pikir Athena.
Ia merasakan dorongan untuk membantu, tetapi pikirannya penuh pertimbangan. Melawan pria itu bisa berarti kematiannya. Namun, membiarkan para tahanan itu begitu saja bertentangan dengan nuraninya.
Saat Athena berpikir, suara cambuk terdengar keras di udara.
“Cepat, kalian anjing tak berguna!” teriak pria itu, suaranya menggema di lembah.
Athena tahu ia harus bertindak. Dengan napas dalam, ia merayap lebih dekat, mencoba mengintai lebih jelas. Ia melihat senjata pria itu—sebuah pistol tua tergantung di pinggangnya, bersama cambuk berduri yang ia gunakan.
Athena menyiapkan pisaunya. Ia tahu bahwa keberhasilannya bergantung pada serangan yang cepat dan tepat.
---
Athena melompat dari tempat persembunyiannya, melemparkan pisaunya ke arah pria besar itu. Pisau itu mengenai lengannya, membuatnya menjatuhkan cambuknya. Ia berteriak kesakitan, tetapi segera menarik pistolnya.
Athena tidak memberi kesempatan. Ia berlari, menendang pistol itu dari tangannya sebelum meninju wajahnya dengan kekuatan yang ia miliki. Pria itu terhuyung, tetapi tidak jatuh. Ia memukul balik, membuat Athena terjatuh ke tanah.
Pria itu tertawa, darah menetes dari lukanya. “Gadis kecil, kau pikir bisa melawanku?”
Athena menggertakkan giginya, mengangkat tubuhnya perlahan. Ia meraih batu di dekatnya dan melemparkannya ke wajah pria itu. Ketika pria itu teralihkan, Athena melompat ke arahnya, mengambil cambuk berduri yang terjatuh. Dengan satu gerakan cepat, ia melilitkan cambuk itu di leher pria itu dan menariknya dengan keras.
Pria itu tercekik, mencoba melawan, tetapi Athena tidak berhenti sampai tubuhnya roboh ke tanah. Napas pria itu berhenti, dan lembah itu menjadi sunyi.
---
Setelah memastikan pria itu mati, Athena menghampiri para tahanan yang kini menatapnya dengan campuran rasa takut dan harapan.
“Kalian baik-baik saja?” tanya Athena.
Salah satu dari mereka, seorang pria tua dengan rambut putih kotor, menjawab dengan suara lemah, “Kami... kami adalah buronan dari kelompok Militer Timur. Dia menangkap kami untuk dijual.”
Athena mengernyit. Militer Timur adalah salah satu kelompok faksi besar yang tersisa, terkenal karena kekejaman mereka.
“Kalian bisa pergi sekarang,” kata Athena, melepas rantai dari tubuh mereka.
Namun, salah satu dari mereka, seorang wanita muda dengan mata tajam, menatap Athena dengan curiga. “Kenapa kau membantu kami?”
Athena menghela napas. “Karena aku tidak tahan melihat orang menderita seperti ini.”
Wanita itu tersenyum tipis, tetapi tetap berjaga-jaga. “Hati-hati, tidak semua orang yang kau selamatkan akan berterima kasih.”
Athena merasa ada kebenaran dalam kata-kata itu. Namun, ia memutuskan untuk tidak memikirkan kemungkinan buruk. Para tahanan itu pergi, meninggalkan Athena sendirian lagi.
---
Athena melanjutkan perjalanan, tetapi langit mulai gelap. Awan hitam tebal menggantung di atas, dan aroma aneh memenuhi udara. Athena tahu apa yang akan datang.
“Hujan asam,” katanya dengan suara rendah.
Ia segera mencari perlindungan. Di kejauhan, ia melihat sebuah bangunan kecil yang masih berdiri di atas bukit. Dengan langkah cepat, ia berlari menuju tempat itu, berusaha mengalahkan hujan yang mulai turun.
Setibanya di sana, ia mendapati bangunan itu adalah sebuah gereja tua, dindingnya penuh dengan retakan dan lumut. Athena masuk, tubuhnya menggigil karena basah.
Di dalam, ia menemukan tempat yang lebih hangat, meski tak terlalu nyaman. Salib besar masih tergantung di depan altar, meski warnanya telah memudar. Athena duduk di bangku kayu, membiarkan tubuhnya beristirahat.
Namun, rasa aman itu hanya sementara. Dari sudut ruangan, ia mendengar suara langkah pelan.
“Siapa di sana?” Athena bertanya, menggenggam pisaunya.
Sosok kurus muncul dari kegelapan, seorang pria tua dengan jubah robek. Wajahnya penuh dengan bekas luka, matanya tampak lelah tetapi tajam.
“Tenang, aku bukan musuh,” katanya. “Aku penjaga tempat ini... atau setidaknya, itulah yang aku pikirkan.”
Athena menurunkan pisaunya sedikit. “Penjaga? Kau tinggal di sini?”
Pria itu mengangguk. “Sudah bertahun-tahun. Tapi tidak ada yang tersisa untuk dijaga, kecuali kenangan.”
Athena merasakan kesedihan dalam kata-kata pria itu. Mereka berbicara selama beberapa saat, berbagi cerita tentang dunia yang telah hancur.
Pria itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Father Gideon, memberikan Athena sebuah peta kecil dengan jalur alternatif ke Puncak Relic.
“Jalur utama terlalu berbahaya,” katanya. “Kalau kau ingin selamat, ambil jalan ini.”
Athena menerima peta itu dengan rasa terima kasih. Namun, ketika ia hendak pergi, Gideon berkata, “Hati-hati, anak muda. Tidak semua orang yang mencari Relic melakukannya untuk tujuan mulia.”
---
Athena meninggalkan gereja itu saat hujan mulai reda, peta baru di tangannya. Ia tidak tahu apa yang menantinya di depan, tetapi kata-kata Gideon terus terngiang di pikirannya.
Puncak Relic semakin dekat, tetapi bahaya dan kebenaran tentang tempat itu mungkin lebih gelap dari yang ia bayangkan.
---