Di sebuah kota kecil yang diselimuti kabut tebal sepanjang tahun, Ardan, seorang pemuda pendiam dan penyendiri, menemukan dirinya terjebak dalam lingkaran misteri setelah menerima surat aneh yang berisi frasa, "Kau bukan dirimu yang sebenarnya." Dengan rasa penasaran yang membakar, ia mulai menyelidiki masa lalunya, hanya untuk menemukan pintu menuju dunia paralel yang gelap—dunia di mana bayangan seseorang dapat berbicara, mengkhianati, bahkan mencintai.
Namun, dunia itu tidak ramah. Ardan harus menghadapi versi dirinya yang lebih kuat, lebih kejam, dan tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri. Dalam perjalanan ini, ia belajar bahwa cinta dan pengkhianatan sering kali berjalan beriringan, dan terkadang, untuk menemukan jati diri, ia harus kehilangan segalanya.
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARIRU EFFENDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8:Cermin Masa Lalu
Ardan berlari tanpa henti, bayangan Selina dan serulingnya terus menghantui pikirannya. Rasa bersalah mulai mencengkeram hatinya, seolah setiap langkah menjauhkan dia dari sesuatu yang penting. Bayangan hitam yang menyerang danau tadi terasa seperti ancaman tak hanya untuk Selina tetapi juga untuk dirinya sendiri.
Namun, di tengah kegelisahannya, ia melihat sesuatu. Sebuah cahaya redup berkilauan di kejauhan, seperti pijar api kecil yang memanggilnya. Napasnya tersengal, tetapi rasa penasaran mengalahkan rasa lelahnya. Ia mempercepat langkah, melawan rasa nyeri di kakinya dan detak jantung yang tak beraturan.
Ketika ia mendekat, cahaya itu berubah lebih terang, seperti lentera yang ditiup angin. Ternyata, di tengah hutan terbuka itu berdiri sebuah cermin besar. Ukurannya hampir setinggi Ardan, dengan bingkai yang terbuat dari kayu tua berukir pola akar pohon. Permukaan cermin itu tidak memantulkan bayangan Ardan—hanya gelap, seperti langit malam tanpa bintang.
Ardan melangkah mendekat. Jantungnya berdetak lebih kencang, bukan karena lelah, tetapi karena firasat aneh yang mulai merayap. Hutan yang tadi hidup kini terasa sunyi, seakan setiap makhluk hidup memutuskan untuk diam, mengawasi tanpa suara.
Ketika ia berdiri tepat di depan cermin, suara lembut tiba-tiba terdengar di belakangnya.
"Sudah lama sekali, ya?"
Ardan berbalik dengan cepat. Tak ada siapa-siapa.
"Siapa di sana?!" serunya, suaranya lebih tegas daripada yang ia rasakan di dalam.
Namun, hutan tetap sunyi. Ardan kembali menghadap cermin itu, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Tiba-tiba, permukaan gelap itu bergerak seperti air yang beriak. Sebuah bayangan muncul—bukan pantulan dirinya, tetapi sosok lain.
Sosok itu adalah seorang anak kecil, tidak lebih dari 10 tahun. Ia berdiri di dalam cermin, mengenakan pakaian yang terlihat usang dan kotor. Wajahnya... wajah itu milik Ardan, tetapi lebih muda.
“Siapa kau?” tanya Ardan, suaranya gemetar.
Anak itu tersenyum tipis. “Aku adalah kau, dulu. Kau ingat?”
Ardan mundur satu langkah, kepalanya terasa berat. “Apa maksudmu? Kau bukan aku.”
Anak itu tertawa kecil, tetapi ada nada pahit dalam suaranya. “Tentu saja aku bukan kau yang sekarang. Tapi aku adalah bagian yang kau tinggalkan. Bagian yang kau lupakan.”
“Lupakan?”
“Ya,” jawab anak itu, nadanya berubah serius. “Dulu, kau punya mimpi, kau punya keberanian. Tapi semuanya hilang, sedikit demi sedikit. Kau mengubur aku dalam-dalam bersama semua harapanmu.”
Ardan menatap sosok itu dengan mata penuh kebingungan. “Aku tidak paham apa yang kau bicarakan. Aku masih berjuang. Aku masih hidup.”
Anak itu menggeleng. “Berjuang? Hidup? Apa yang kau lakukan sekarang bukan hidup. Kau hanya bertahan, bersembunyi dari kegelapanmu sendiri. Kau tahu itu benar.”
Kata-kata itu menusuk Ardan. Ia ingin membantah, tetapi tidak bisa. Ada kebenaran yang menyakitkan dalam ucapan anak itu.
“Apa yang kau inginkan dariku?” tanyanya pelan.
Anak itu menatapnya dengan mata yang tajam. “Aku ingin kau ingat siapa dirimu sebenarnya. Kau tidak akan bisa melawan kegelapan yang mengejarmu jika kau terus menyangkal masa lalumu.”
“Masa lalu?”
Anak itu mengulurkan tangan kecilnya ke permukaan cermin. “Lihatlah. Ingatlah.”
Sebelum Ardan bisa bereaksi, cermin itu berkilauan, dan ia merasa seperti ditarik ke dalamnya. Pemandangan di sekitarnya berubah menjadi kabut tebal, dan ketika kabut itu memudar, ia berdiri di tempat yang asing namun akrab.
---
Ardan berdiri di tengah sebuah desa kecil yang penuh dengan suara tawa anak-anak. Matahari bersinar cerah, dan bau makanan dari dapur-dapur rumah bercampur dengan udara segar. Ia mengenali tempat ini—rumah masa kecilnya.
Namun, ada sesuatu yang berbeda. Desa ini tampak lebih hidup dari yang ia ingat. Orang-orang tersenyum, saling menyapa dengan hangat. Semua terasa seperti mimpi indah yang pernah ia tinggalkan.
Ia berjalan perlahan, menyusuri jalan setapak yang menuju sebuah rumah kecil di pinggir desa. Langkahnya terasa berat, karena ia tahu apa yang akan ia temui di sana.
Pintu rumah itu terbuka, dan seorang anak kecil keluar sambil tertawa riang. Anak itu adalah dirinya sendiri, lebih muda, lebih polos. Di belakangnya, seorang perempuan berdiri dengan senyuman lembut—ibunya.
Ardan merasa dadanya sesak. Ia tidak melihat wajah ibunya selama bertahun-tahun, dan kini ia berdiri di depan sosok itu, seperti kenangan yang hidup kembali.
Namun, momen itu tidak berlangsung lama. Langit tiba-tiba gelap, dan suara tawa berubah menjadi jeritan. Bayangan hitam mulai menyelimuti desa, melahap segalanya dalam kegelapan.
“Ibu!” teriak Ardan, mencoba berlari ke arah perempuan itu. Tetapi langkahnya tertahan, seperti ada sesuatu yang menariknya kembali.
“Ibu!”
Semua berubah menjadi gelap. Ardan terjatuh, merasa seperti tenggelam dalam lautan kehampaan.
---
Ketika ia membuka mata, ia kembali berdiri di depan cermin. Napasnya terengah, keringat dingin mengalir di dahinya. Sosok anak kecil di cermin itu menatapnya dengan tatapan penuh belas kasih.
“Sekarang kau ingat?” tanya anak itu.
Ardan mengangguk pelan, air mata menggenang di matanya. “Aku ingat. Aku ingat semuanya.”
“Bagus,” kata anak itu dengan senyum tipis. “Tapi ini baru permulaan. Kau harus menghadapi dirimu sendiri, Ardan. Hanya dengan begitu kau bisa melangkah maju.”
Cermin itu kembali berkilauan, dan sosok anak itu menghilang. Yang tersisa hanyalah bayangan Ardan sendiri, tetapi ia tahu bahwa sesuatu telah berubah.
Ia menatap bayangannya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ada harapan—seperti sinar kecil di tengah kegelapan yang tak berujung.
---
Ardan melangkah pergi dari cermin, meninggalkan hutan di belakangnya. Ia tidak tahu ke mana ia harus pergi, tetapi ia merasa lebih kuat dari sebelumnya. Kata-kata anak itu terus terngiang di telinganya:
"Kau harus menghadapi dirimu sendiri."
Dan ia tahu, perjalanan ini belum selesai.
---