Aluna, seorang penulis sukses, baru saja merampungkan novel historis berjudul "Rahasia Sang Selir", kisah penuh cinta dan intrik di istana kerajaan Korea. Namun, di tengah perjalanannya ke acara temu penggemar, ia mengalami kecelakaan misterius dan mendapati dirinya terbangun di dalam tubuh salah satu karakter yang ia tulis sendiri: Seo-Rin, seorang wanita antagonis yang ditakdirkan membawa konflik.
Dalam kebingungannya, Aluna harus menjalani hidup sebagai Seo-Rin, mengikuti alur cerita yang ia ciptakan. Hari pertama sebagai Seo-Rin dimulai dengan undangan ke istana untuk mengikuti pemilihan permaisuri. Meski ia berusaha menghindari pangeran dan bertindak sesuai perannya, takdir seolah bermain dengan cara tak terduga. Pangeran Ji-Woon, yang terkenal dingin dan penuh ambisi, justru tertarik pada sikap "antagonis" Seo-Rin dan mengangkatnya sebagai selirnya—suatu kejadian yang tidak pernah ada dalam cerita yang ia tulis!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Setiap Tempat Memiliki Tantangannya Tersendiri
Setelah membaca undangan itu, Aluna terdiam sejenak, meresapi setiap kata yang tertulis di kertas itu. Tanpa sadar, ia menggenggam kertas tersebut erat, seakan mencoba menyerap kekuatan yang terkandung dalam kata-kata itu. Perjamuan ini jelas bukan sekadar sebuah acara sosial biasa. Ini adalah pertemuan yang akan menjadi titik balik, sebuah strategi besar yang akan membawa Putri Mahkota lebih dekat ke puncak kekuasaan.
"Jin-Ah, aku ingin kau mempersiapkan semuanya untuk aku," ucap Aluna dengan suara yang tenang namun penuh tekad. "Aku harus menghadiri perjamuan itu."
Jin-Ah memandangnya dengan cemas, namun tidak berkata apa-apa. Ia tahu bahwa Aluna—atau lebih tepatnya Seo-Rin—selalu memiliki cara untuk menghadapinya dengan keberanian, meskipun situasi terasa sangat berbahaya.
Aluna melanjutkan, "Aku akan menghadapi Putri Mahkota dan orang-orang yang mendukungnya. Aku tidak bisa lagi duduk diam, menunggu takdir datang menghampiriku. Aku harus membuat langkah pertama."
Dengan sedikit ragu, Jin-Ah mengangguk, meskipun ia tahu betapa sulitnya langkah yang akan diambil oleh majikannya. Namun, ia juga tidak bisa menahan rasa hormat dan kekagumannya terhadap keberanian Aluna.
Dalam persiapannya untuk perjamuan itu, Aluna tahu bahwa ia tidak bisa hanya mengandalkan keberanian semata. Ia harus cerdik, seperti permainan catur yang membutuhkan taktik dan perhitungan yang matang. Ia harus memanfaatkan setiap kesempatan untuk memperkuat posisinya di mata para bangsawan dan menteri, tanpa mengundang kecurigaan atau perlawanan yang tidak perlu.
Hari perjamuan pun tiba. Aluna mengenakan hanbok berwarna merah marun yang dipadukan dengan aksesoris emas, simbol kekuatan dan kemewahan. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi dengan perhiasan yang menunjukkan statusnya sebagai selir. Namun, di balik penampilannya yang anggun, hatinya berdebar-debar. Ia tahu bahwa ini adalah langkah pertama dalam perjuangannya untuk melindungi masa depan anak yang dikandungnya.
Sesampainya di ruang perjamuan, suasana terasa tegang. Putri Kang-Ji sudah duduk di kursi utama, ditemani oleh beberapa menteri dan tokoh penting lainnya. Mereka berbicara dalam kelompok kecil, tampak sangat serius. Begitu Aluna memasuki ruangan, semua mata seketika tertuju padanya. Sebagai selir, ia tahu bahwa tidak banyak yang akan menganggapnya sebagai ancaman, tetapi kali ini, ia datang bukan hanya sebagai Seo-Rin yang biasa, melainkan sebagai seorang wanita yang siap untuk bertarung.
Aluna melangkah maju, menundukkan kepala dengan sopan, namun matanya tidak lepas dari Putri Mahkota yang duduk di atas tahta itu. Ketegangan di antara mereka terasa nyata, seperti dua kekuatan besar yang saling menguji.
Putri Mahkota menatapnya dengan senyuman yang sulit diartikan, namun kali ini senyumnya tidak mengandung kehangatan. “Seo-Rin, akhirnya kau datang juga,” ujar Putri Mahkota dengan suara yang datar, namun tajam. “Aku mendengar banyak hal tentangmu. Kau tampaknya sudah belajar bagaimana menjadi bagian dari istana ini, bukan?”
Aluna menundukkan kepala lagi, namun kali ini ada kekuatan yang lebih dalam pada sikapnya. "Aku berusaha menjalankan tugas dengan sebaik mungkin, Yang Mulia," jawabnya, suara tetap tenang meski ada gemuruh di dalam dadanya.
Namun, Putri Mahkota tidak membiarkan situasi itu berlalu begitu saja. "Aku mendengar bahwa kau berani melawan takdir yang sudah ditentukan," katanya, nadanya semakin dingin. "Kau benar-benar ingin melawan posisi yang sudah ada? Mengubah garis keturunan? Kau pikir bisa menggantikan posisi anakku sebagai pewaris?"
Aluna menatap mata Putri Mahkota dengan keyakinan yang tak terbendung. "Aku tidak akan menggantikan siapa pun, Yang Mulia. Tapi aku akan melindungi apa yang menjadi hakku, dan hak anak yang sedang aku kandung."
Putri Mahkota tercenung sejenak. Meskipun ia adalah wanita yang sangat berhati-hati, ia tidak bisa mengabaikan keberanian yang terlihat dalam diri Aluna. Ini adalah pertemuan pertama mereka yang bisa menjadi titik awal dari konfrontasi yang lebih besar.
Aluna tahu, pertempuran ini baru dimulai. Namun, ia sudah memutuskan—tak ada yang bisa menghentikannya untuk melangkah maju.
Ketika perjamuan berlanjut, Aluna duduk di salah satu tempat yang disediakan, memperhatikan dengan seksama setiap percakapan yang terjadi. Tidak ada kata yang terbuang begitu saja. Setiap detail, setiap sikap, setiap pernyataan dari orang-orang di sekitarnya menjadi informasi berharga yang bisa ia gunakan.
Putri Mahkota mungkin merasa dirinya menang, tapi Aluna tahu, ini hanya permulaan dari permainan besar yang akan membentuk nasibnya—dan nasib anaknya.
Malam semakin larut, namun perjamuan di ruang utama istana tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir. Para tamu yang hadir—terutama para menteri dan tokoh-tokoh penting yang mendukung Putri Mahkota—terus berbincang dengan penuh semangat, seolah-olah mengabaikan keberadaan Aluna di sudut ruangan. Walaupun terlihat tenang, Aluna tidak pernah kehilangan kewaspadaan. Ia duduk dengan anggun, menyimak setiap percakapan, mencoba menangkap petunjuk dari bahasa tubuh dan kata-kata yang diucapkan oleh orang-orang di sekitarnya.
Namun, meskipun ia terlihat tenang, pikirannya terus berputar, menganalisis setiap gerakan, setiap informasi yang berhasil ia peroleh. Hari ini adalah pertempuran pertama yang ia lakukan di atas papan catur istana, dan ia tidak bisa membiarkan dirinya lengah.
Tiba-tiba, tanpa diduga, salah satu menteri yang duduk di dekat Putri Mahkota mengangkat gelas anggur dan menyapa Aluna, dengan senyum yang sedikit mencurigakan. "Ah, Seo-Rin, kami jarang melihatmu di tengah acara besar seperti ini," kata menteri itu, matanya menyelidik. "Kau tampaknya semakin nyaman di sini, meski posisi yang kau miliki terbilang... tidak mudah."
Aluna menatap menteri tersebut dengan tenang, sedikit menyeringai. "Setiap tempat memiliki tantangannya sendiri. Aku belajar untuk menyesuaikan diri dan melakukan yang terbaik dengan apa yang ada di hadapanku," jawabnya, suaranya halus namun penuh makna.
Menteri itu terkekeh pelan, namun Aluna bisa merasakan bahwa kata-katanya bukan sekadar basa-basi. Menteri itu jelas berusaha mencari cara untuk menggali lebih dalam tentang posisinya, tentang apakah ia benar-benar akan tetap tunduk pada takdir yang sudah ditentukan, atau apakah ia akan berusaha melawan.
Aluna memutuskan untuk tidak terlalu banyak menanggapi. Sebagai gantinya, ia melanjutkan percakapan ringan yang tidak membahayakan, sambil terus mengamati sekeliling. Di antara para tamu, beberapa di antaranya tampaknya memperhatikan dinamika yang berlangsung. Walau mereka tidak berbicara langsung dengan Aluna, ia merasa mereka tidak bisa mengabaikan keberadaannya begitu saja. Mata mereka seperti mengukur, menilai.
Namun, perhatiannya kembali tertuju pada Putri Mahkota yang duduk di tempat yang paling tinggi. Aluna bisa melihat betapa kuatnya pengaruh Putri Mahkota di antara mereka. Putri Mahkota mengendalikan percakapan, memberikan arahan, bahkan ketika menteri-menteri lainnya mencoba mengemukakan pendapat mereka. Sosok itu sangat karismatik, dan Aluna tahu, untuk bisa bertahan hidup di istana ini, ia harus bisa mengendalikan kekuatan seperti itu.
Tiba-tiba, sebuah kejutan datang. Seorang tamu yang belum dikenal memasuki ruangan, seorang bangsawan muda dengan pakaian yang tampak mewah namun sedikit mencolok, dengan mata yang tajam dan penuh perhitungan. Aluna bisa merasakan ada sesuatu yang tidak biasa dari kehadiran pria itu, yang langsung menarik perhatian para tamu yang ada di dalam ruangan.
Putri Mahkota sepertinya tidak terkejut dengan kedatangannya. “Ah, Keturunan Lord Joo,” kata Putri Mahkota, suara lembut namun tegas. “Kau akhirnya datang juga. Kami sudah menantikanmu untuk memperkuat pertemuan ini.”
Aluna mengerutkan keningnya. Lord Joo? Nama itu tidak asing, tetapi ia belum mengetahui sepenuhnya siapa pria ini dan apa tujuannya di sini. Didalam Novel, Seo-Rin tidak pernah menghadiri acara ini. Jadi, alur ceritanya menjadi berubah, dengan tambahan karakter baru yang muncul secara tak terduga. Namun, ia segera memahami bahwa kehadiran orang ini sangat penting. Mungkin ini adalah tokoh baru yang akan mengubah keseimbangan di istana, atau bahkan bisa menjadi sekutu bagi Putri Mahkota yang sedang memperkuat cengkeramannya.
Pria muda itu, yang ternyata bernama Joo Min-Seok, berjalan dengan penuh percaya diri menuju meja perjamuan, menyapa tamu lainnya dengan penuh kehormatan. Namun, Aluna tidak bisa mengabaikan tatapan tajam yang dilemparkan kepadanya begitu ia melangkah melewati kursinya. Tatapan itu seolah ingin menilai, mengukur siapa dirinya.
Aluna berusaha untuk tetap tenang. Dalam setiap gerakan, ia berusaha menunjukkan sikap yang penuh percaya diri, meskipun di dalam hatinya, ia tahu bahwa permainan besar baru saja dimulai. Kehadiran Joo Min-Seok mungkin membawa perubahan besar—sebuah ancaman baru yang harus ia hadapi.
Suasana perjamuan mulai berubah menjadi lebih tegang. Putri Mahkota tampaknya ingin berbicara lebih banyak dengan Joo Min-Seok, dan diskusi mereka semakin memanas. Beberapa kali Aluna menangkap kata-kata yang mencurigakan dari pembicaraan mereka—tentang kekuatan baru yang akan muncul, tentang rencana besar yang sedang disusun untuk mengamankan kedudukan pewaris takhta.
Namun, Aluna tidak kehilangan fokus. Ia menyadari bahwa saat ini, ia harus berfokus pada satu hal: melindungi anaknya dan memastikan bahwa takdir yang sudah ia tulis tidak akan dirubah begitu saja oleh tangan orang lain.
Dengan penuh perhatian, Aluna mengamati momen demi momen. Dia tahu, perjamuan ini bukan hanya soal strategi politik, tetapi juga soal persaingan yang lebih besar. Putri Mahkota, dengan segala kekuatannya, sedang mencari cara untuk menyingkirkan siapa pun yang bisa mengancam kedudukannya, termasuk dirinya.
Namun, alih-alih mundur, tekad Aluna semakin menguat. Ia tidak hanya akan berjuang untuk mempertahankan hidupnya—tetapi juga untuk masa depan anak yang ia kandung, dan untuk menulis ulang takdir yang telah ditentukan.
Saat perjamuan semakin larut dan para tamu mulai meninggalkan ruang, Aluna tetap di tempatnya, berpikir keras tentang apa yang telah ia pelajari. Semua informasi yang ia kumpulkan, semua perilaku yang ia amati, mulai membentuk gambaran besar dalam benaknya. Ia tahu, langkah-langkah berikutnya akan jauh lebih berbahaya. Namun, ia juga tahu, dirinya tak bisa mundur. Tidak sekarang.
Bersambung >>>