Ashana Keyra Zerrin dan Kafka Acacio Narendra adalah teman masa kecil, namun Ashana tiba-tiba tidak menepati janjinya untuk datang ke ulang tahun Kafka. Sejak saat itu Kafka memutuskan untuk melupakan Asha.
Kemana sebenarnya Asha? Bagaimana jika mereka bertemu kembali?
Asha, bukankah sudah kukatakan jangan kesini lagi. Kamu selalu bertindak sesuka hati tanpa memikirkan orang lain. Aku butuh privasi, tidak selamanya apa yang kamu mau harus dituruti.” Ucapakan Kafka membuat Asha bingung, pasalnya tujuannya kali ini ke Stanford benar-benar bukan sengaja menemui Kafka.
“Tapi kak, Asha ke sini bukan sengaja mau menemui kak Kafka. Asha ada urusan penting mau ke …” belum selesai Asha bicara namun Kafka sudah lebih dulu memotong.
“Asha, aku butuh waktu untuk menerima semua ini. Walaupun untuk saat ini sebenarnya tidak ada kamu dalam rencanaku, semua terjadi begitu cepat tanpa aku bisa berkata tidak.” Asha semakin tidak mengerti dengan yang diucapkan Kafka.
“Maksud kak Kafka apa? Sha tidak
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12. Masalah baru
...Ingin aku berlari kearahmu....
...Mendekapmu setelah sekian lama kamu menghilang tanpa jejak....
...Sayangnya rasa takutku dan egoku lebih besar....
...Rasa kecewa atas kepergianmu tanpa pamit....
...Rasa takut kehilangan....
...Rasa takut ditinggalkan kembali. ...
...(Kafka Acacio Narendra)...
Beberapa bulan berlalu dari saat mereka makan siang bersama, semenjak itulah Asha setiap hari mulai membuatkan bekal makan siang untuk Kafka. Kafka saat ini sedang mempersiapkan ujian masuk universitas, meskipun dia berprestasi tapi salah satu impiannya adalah bisa masuk Stanford jadi dia harus ekstra belajar. Apalagi jurusan yang dia inginkan adalah sekolah kedokteran, dia benar – benar fokus dengan pendidikannya saat ini.
Kafka cukup populer di sekolahnya, dia adalah mantan kapten tim basket dan juga salah satu siswa dengan segudang prestasi akademik. Dia berjuang untuk bisa masuk universitas impiannya di Stanford, saat ini dia sedang giat-giatnya belajar agar bisa lulus dengan nilai yang baik. Mempersiapkan seleksi beasiswa luar negerinya, tidak berbeda dengan Asha yang sebenarnya juga siswi berprestasi saat di Singapur. Namun ketika dia pindah ke Indonesia dia tidak terlalu memperlihatkan prestasinya, dia hanya ingin menikmati hari-harinya menjadi siswi sekolah biasa tanpa menonjolkan kecerdasannya.
Hari itu Asha datang ke kelas Kafka yang ada di lantai dua ditemani Nana salah satu temannya, Asha membuatkan bekal makan siang untuk Kafka seperti biasanya.
"Sha, aku tunggu di sini ya?" Nana masih saja enggan masuk ke kelas 12-3 meskipun setiap hari sudah sering ke sana menemani temannya itu.
"Oke. Aku kasih ini ke kak Kafka dulu," Asha melangkah masuk dengan tenangnya, sedangkan Nana berada di luar menunggu Asha.
Tidak perduli dengan tatapan anak-anak kelas dua belas, dia tetap berlalu mendekat pada meja Kafka yang saat itu sedang ngobrol santai dengan Revan teman sebangkunya. Kafka tidak menyadari kedatangan Asha sampai Revan menyenggol lenganya sambil menggerakkan kepalanya mengode Kafka.
"Kak Kafka," seperti biasa dia sudah tau siapa pemilik suara itu. Kafka sudah jenuh juga melarang Asha untuk tidak membuatkannya makan siang, tapi siapa yang bisa melarang gadis itu.
"Ada apa?" tetap dengan nada ketus menjawab panggilan Asha.
"Aku Cuma mau kasih ini, hari ini aku buatin pasta. Jangan lupa dimakan, bye Asha kembali ke kelas dulu. Harus dimakan!" gadis remaja lainnya nampak memperhatikan dari jarak pandang yang tidak terlalu jauh, dalam hati dia berkata (berani sekali dia godain Kafka).
Seperti biasa Kafka hanya diam tak sepatah katapun keluar dari mulutnya untuk sekedar menanggapi ucapan Asha. Dia menghela napas panjang setelah Asha tak lagi terlihat dari jarak pandangnya. Di bukanya bekal buatan Asha, pasta dengan saus bayam yang tampak menggoda selera. Kafka tak pernah menyentuh bekal yang di buatkan Asha dan selalu di berikan pada temannya.
"Kaf, yakin tu pasta di kasih ke orang lain? Dia bikin buat kamu padahal," Revan nampak heran dan mencoba mengingatkan sahabatnya itu.
"Hmm ... aku tidak minta di buatkan bekal juga," jawab Kafka tanpa rasa bersalah.
Revan menggelengkan kepalanya, dasar memang sahabatnya itu selain populer dan punya banyak prestasi hanya satu minesnya dia selalu bersikap dingin pada siapapun. Revan sudah mengenal Kafka semenjak pertama kali menjadi siswa di JIS dan selama tiga tahun mereka selalu satu kelas.
Siang itu beberapa anak kelas dua belas sudah selesai ujian praktek, beberapa memilih untuk bermain basket tak terkecuali Kafka. Beberapa anak mulai berdatangan untuk melihat mereka saat jam istirahat berbunyi. Seperti biasa Asha mau ke kelas Kafka tapi di hentikan oleh Nana.
"Sha gak usah ke kelas dua belas, crush lu tu lagi main basket di lapangan." Nana menarik tangan Asha untuk mengikutinya ke lapangan.
"Tumben banget pada main basket?"
"Kelas dua belas kan hari ini ada ujian praktek, karena sudah selesai jadi beberapa pilih main bakset," mereka berjalan menuju lapangan yang sudah ada banyak siswa-siwa melihat permainan basket kelas dua belas.
Bagaimana tidak ramai kalau di sana ada mantan kapten tim basket dua tahun berturut-turut bersama timnya yang tampan. Kafka dan Revan adalah mantan tim basket yang sangat populer, banyak yang mendekati mereka tidak hanya teman seangkatan tapi juga adik-adik kelas mereka.
Asha dan Nana sampai di lapangan melihat permainan basket Kafka dan yang lainnya, setiap kali Kafka atau Revan mendapatkan poin siswi-siswi pasti bersorak. Ada beberapa adik kelas maupun kakak kelas yang tampak melihat Asha dengan sinis, semua sudah tahu tentang Asha yang selalu datang untuk memberikan bekal pada Kafka.
"Kak Kafka semangat," beberapa siswi memandang ke sumber suara dengan tatapan tidak suka, sementara si pemilik suara tetap acuh dan meneruskan teriakannya.
"Ada cegilnya Kafka tu, ha .. ha .. ha," yang diikuti gelak tawa anak-anak yang sedang bermain di lapangan basket.
"Bisa diam gak?" Kafka melemparkan bola mengenai tangan Revan, kemudian mereka melanjutkan permainan sampai selesai.
Asha berjalan menuju ke tempat Kafka dan teman-temannya istirahat setelah selesai main basket, tiba-tiba ada beberapa orang menghadangnya.
"Jadi kamu yang namanya Asha? Berani juga ya tiap hari godain Kafka. sok-sokan buatin bekal segala," mereka adalah siswi-siswi kelas dua belas, ada juga kelas sebelas dan sepuluh. Mungkin mereka adalah penggemarnya Kafka yang penasaran dengan Asha, karena tiap hari dia datang ke kelas 12-3 memberi Kafka bekal.
"Maaf, siapa ya? Permisi aku mau lewat kak," Asha berusaha untuk lewat dan tidak mau menimbulkan masalah. Sementara Nana langsung mencari Kafka untuk minta bantuan karena dia tahu hanya Kafka yang bisa menghentikan siswi-siswi itu.
"Jangan dekati Kafka lagi atau kamu tahu akibatnya." seorang siswi dari samping mengambil kotak bekal dari tangan Asha dan membuangnya ke tanah.
Kepala Asha menggeleng pelan, rahangnya mengeras sementara matanya mulai menyipit tajam, memancarkan amarah yang dia tahan dengan penuh usaha. Tidak ingin menimbukan masalah mengingat dia adalah siswi pindahan, Asha berjongkok mengambil kotak bekalnya yang berserakan.
"Kalian gak ada kerjaan atau gimana? Sana bubar, mau diaduin ke kepala sekolah?" Alena menghentikan ulah siswi-siswi tadi, dia adalah teman sekelas Kafka dan termasuk akrab dengan Kafka dan Revan. Banyak yang bilang Alena dan Kafka itu couple goals, sama-sama cerdas dan memang dari kelas sepuluh sudah sering ikut olimpiade bersama Kafka dan Revan.
"Makasih kak," Asha berdiri setelah mengambil kotak bekalnya yang berserakan dan berterima kasih pada Alena dan beberapa temannya karena sudah membantu.
Di sisi lain Nana dengan napas yang terengah-engah menemui Kafka, di situ masih ada Revan yang tampak sedang minum.
"Kak bisa tolong ke sana sebentar? Asha, dia dicegat beberapa anak perempuan. Mereka sepertinya penggemar anak basket," Revan yang melihat Nana ngos-ngosan menawarkan minuman namun ditolaknya.
"Apa urusannya sama aku?" Kafka masih dengan santai menenggak minumannya sampai tandas.
"Dasar ente bahl*l Kaf. Kamu yang bisa menghentikan mereka, pasti mereka penasaran dengan Asha yang buatin kamu bekal tiap hari." Nana menganggukkan kepala menyetujui perkataan Revan.
"Ayo, ke sana." Kafka bangun dari duduknya bersama Revan dan Nana, mereka pergi ke tempat Asha di hadang anak-anak tadi.
Asha masih berdiri di tempatnya bersama Alena dan juga beberapa teman Alena. Mereka tampak masih berbicara saat Kafka dari arah belakang menuju mereka.
"Asha kamu tahu kalau Alena dan Kafka dekat dari kelas sepuluh?" salah satu teman Alena yang mengatakan hal itu, Asha seolah tahu arah pembicaraan mereka akan ke mana. Namun Asha tetap masih berusaha dengan tenang menjawab mereka.
"Aku siswi pindahan belum lama kak. Jadi aku kurang tahu," perkataan mereka pelan namun mengintimidasi. Itu yang di rasakan Asha saat ini.
"Mereka itu sebenarnya udah jadian. Tapi sepakat gak mau publish, biar tidak terjadi seperti yang kamu alami tadi. Iya kan, Al?" Alena yang ditanya hanya menyunggingkan senyum.
"Selama ini bekal yang kamu buat tidak pernah dia makan. Kafka selalu memberikan bekal buatanmu pada teman-temannya. Bukankah itu sudah menunjukkan kalau dia ingin menghargai Alena sebagai orang yang spesial meskipun cuma teman dekat mereka yang tahu."
Asha masih tetap tenang menanggapi mereka semua, sampai dia sadar Kafka sudah berada di belakang Alena beberapa saat. Harusnya dia mendengar apa yang di katakan teman-teman Alena, yang ada di benak Asha saat ini Kafka harusnya menyanggah apa yang mereka katakan jika memang itu tidak benar. Tapi sebaliknya Kafka hanya diam memperhatikan sampai Asha bertanya padanya.
"Benar begitu kak?" Mereka semua terkejut dan menoleh ke belakang, terlihat raut wajah khawatir mereka saat tahu Kafka sudah di sana.
"Jam pelajaran sudah dimulai Sha, masuk kelas sana. Jangan sampai kamu dan temanmu di hukum karena telat ikut Pelajaran." Kafka membalik badannya hendak pergi, Alena dan teman-temannya hanya diam membeku.
"Kakak belum jawab pertanyaanku. Aku tidak akan pergi sebelum kak Kafka menjawabnya," Asha kekeh dengan yang di katakannya, sementara wajah Alena sedikit pucat menanti jawaban Kafka.
"Kamu butuh jawaban apa? Anggap saja itu benar. Oh, satu lagi sudah pernah aku katakan jangan buatkan bekal untukku. Tapi kamu selalu keras kepala Sha," Kafka melihat sebentar ekspresi Asha sebelum dia pergi. Tanpa mereka semua sadari ada seseorang yang memperhatikan tidak jauh dari tempat mereka.
Asha tersenyum miris, dia memejamkan matanya sejenak. Bibirnya terkatup rapat, seolah menahan gelombang perasaan yang mengoyak dari dalam sebelum akhirnya dia berlalu pergi tanpa sepatah katapun. Nana berjalan mengekori di belakang tanpa berani bertanya sedikitpun, mereka berjalan masuk menuju kelas.
Revan merasa kasihan melihat ekspresi Asha, ingin rasanya dia pukul Kafka. Haruskah bersikap seperti itu pada Asha, meskipun Revan tahu kisah di balik Kafka bersikap seperti itu padanya. Dia juga membiarkan begitu saja perkataan Alena dan teman-temannya, padahal tidak semua yang mereka katakan adalah benar.
Berbeda dengan hari biasanya, Asha biasanya mengekori atau menunggu Kafka ketika pulang sekolah. Setelah kejadian tadi siang dia tidak menunggu Kafka turun dari kelasnya, Asha nampak berjalan lebih cepat dari biasanya dan Kafka melihat itu.
"Nana aku duluan ya?"
"He em .. hati-hati Sha," Nana tahu saat ini Asha sedang sedih, setelah kejadian tadi bahkan dia hanya diam di kelas dan dia mengirim pesan minta di jemput ayahnya, tidak mau di jemput yang lain.
"Ayah." Asha melambaikan tangannya saat melihat Malvin sudah menunggunya di pos satpam, Asha mempercepat langkahnya hampir sedikit berlari sampai ayahnya mengingatkannya.
"No .. no .. no Ashana Keyra Zerrin no lari-lari sayang," Asha tidak perduli dengan peringatan ayahnya. Dia terus berjalan dengan cepat dan menghambur ke pelukan ayahnya. Malvin paham ketika putri sulungnya itu sudah bertingkah seperti ini, sudah pasti dia melalui hari yang tidak baik.