Hidup Nicho Javariel benar-benar berubah dalam sekejap. Ketenaran dan kekayaan yang dia dapatkan selama berkarir lenyap seketika akibat kecanduan obat-obatan terlarang. Satu per satu orang terdekatnya langsung berpaling darinya. Bukannya bertobat selepas dari rehabilitas, dia malah kecanduan berjudi hingga uangnya habis tak tersisa. Dia yang dulunya tinggal Apartemen mewah, kini terpaksa tinggal di rumah susun lengkap dengan segala problematika bertetangga. Di rumah susun itu juga, ia mencoba menarik perhatian dari seorang perempuan tanpa garis senyum yang pernah menjadi butler-nya. Dapatkah ia menemukan tempat pulang yang tepat?
"Naklukin kamu itu bangganya kek abis jinakin bom."
Novel dengan alur santai, penuh komedi sehari-hari yang bakal bikin ketawa-ketawa gak jelas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yu aotian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Ide Cemong yang mengajak Sera keluar makan mie ayam tidak membuat Nicho senang. Untuk pertama kali, dia berharap Sera akan menolak ajakan tersebut.
"Mong, kalo kak Sera gak mau, gak usah dipaksa," ucap Nicho dengan pelan dan terbata-bata.
Ucapan Nicho malah membuat Sera merasa sungkan untuk menolak ajakan mereka. Ditambah lagi, Cemong masih terus menangkup tangan seolah memaksanya untuk mengiyakan.
"Kalo gitu, tunggu sebentar. Aku ambil sweater dulu," ucapnya sambil masuk ke dalam.
Mata Nicho melotot seketika seakan hendak meloncat saat itu juga. Sebaliknya, Cemong bersorak senang karena taktiknya untuk mengajak Sera berhasil.
"Bang, kita berhasil, Bang! Ini saatnya Abang buat mepetin kak Sera," ucapnya sambil menepuk lengan Nicho.
Tak menjawab apa pun, Nicho malah tampak kesulitan menelan ludahnya sendiri. Otaknya sudah kusut memikirkan harga mie ayam untuk tiga porsi. Padahal itu tak seberapa dengan total sekali makan di restoran favoritnya dulu. Sialnya, sekarang sepersen pun uang ia tak punya.
Di tengah kebingungan dirinya saat ini, Sera sudah keluar dengan berganti pakaian dan rambut yang dikuncir. Cemong langsung menggandeng Nicho dan Sera menuju warung tendaan mie ayam yang masih berada di lingkungan rusun.
Saat berjalan, Nicho mengambil ponselnya, tampak mengirim pesan pada Ucup.
^^^Cup, tolongin gua. Gua butuh duit buat traktirin Sera. Gua tunggu lu di warung mie ayam ya!^^^
Langit sudah bernuansa kehitaman menandakan pergantian waktu ke malam hari. Menyantap mie ayam memang menjadi pilihan yang tepat di tengah cuaca yang mendung di mana rintikan gerimis mulai menyentuh kulit mereka.
Begitu sampai, Nicho langsung memendarkan mata ke tempat makan yang menjadi pilihan Cemong saat ini. Jujur, ini pertama kalinya ia masuk ke warung gerobakan pinggir jalan seperti ini. Karena ramai, mereka pun hanya bisa memilih jajaran bangku kosong yang terletak paling ujung. Dengan sigap, Nicho mengambil posisi duduk di samping Sera, sementara Cemong berada di depan mereka.
Sambil menunggu pesanan mereka datang, Nicho mencoba membuka obrolan.
"Oh, iya, kita sudah sering ketemu, tapi belum kenalan. Aku Jaka." Nicho mengulurkan tangannya.
"Bukannya kamu dah tahu namaku?" balas Sera dengan sebelah tangan yang memangku dagu.
"Aku ingin kita berkenalan secara resmi." Nicho masih setia mengulurkan tangannya meski tampak diabaikan oleh Sera. "Ayolah, jangan dingin gitu dong sama aku! Soalnya aku ini orangnya gampang pilek," lanjutnya lagi.
"Sera," ucap Sera yang akhirnya menyambut uluran tangan Nicho.
"Kamu asli Jakarta atau pendatang?"
"Pendatang yang cukup lama berada di Jakarta."
"Oh, begitu. Terus kenapa kamu milih tinggal di rusun ini? Padahal kan penghuninya pada random," celetuk Nicho setengah berbisik.
"Kamu sendiri gimana?" tanya Sera balik, "mungkin jawaban kita sama."
"Aku? Kalo aku ..." Nicho meluruskan badannya sambil berkata, "Aku hanya diajak tinggal sementara sama temanku yang biasa bareng aku itu. Dia ngajak aku tinggal di sini karena kebetulan rumah aku lagi direnovasi," ucapnya beralasan sambil tertawa hambar.
Tiga mangkok mie ayam telah datang dan diantarkan ke meja mereka. Tak seperti Cemong dan Sera yang langsung membumbui kuah mie ayam dengan saus dan sambal, Nicho malah tampak ragu-ragu untuk memakannya. Pasalnya, ia belum pernah mencicipi mie ayam gerobakan seperti ini. Ada sedikit perasaan jijik saat melihat air kobokan berwarna keruh yang dijadikan tempat untuk membasuh mangkok, gelas dan sendok kotor.
Melihat Sera yang sudah lebih dulu menyantap mie ayam, Nicho lantas melayangkan pertanyaan. "Apa mie ayam makanan favoritmu?"
"Gak juga."
"Terus, apa makanan favorit kamu?"
"Semua makanan sama aja, gak ada yang lebih spesial."
Nicho mengambil sumpit lalu mengelapnya dengan tisu sebelum ia pakai untuk makan. Dengan sumpit tersebut, ia mencapit sejumput mie dan mulai mencicipinya.
"Lah, Bang, diaduk dulu kali mie ayamnya biar bumbunya tercampur. Jangan lupa tambahin juga saus sambel sama kecap biar makin maknyus," celetuk Cemong sambil menyodorkan botol sambal.
Nicho mengambil botol sambal tersebut, lalu mulai menuangkan ke mangkoknya. Namun, tak ada setetes pun isinya keluar. Sambil memencet kuat, ia kembali menuang sambal botol tersebut. Apesnya, botol sambal terbuka penuh hingga membuat hampir setengah isinya jatuh ke dalam mangkok mie ayam miliknya.
"Waduh, malah ketumpahan sambel!" cetus Nicho kaget.
"Ya, udah ganti aja yang baru, Bang," balas Cemong.
Tak mau menambah biaya bayaran, Nicho lantas berkata, "Udah gak papa. Kebetulan aku doyan makan yang pedas-pedas." Ia bahkan langsung mencampurkan sambal ke dalam mie tersebut.
"Yakin nih, Bang? Awas ntar mules loh, Bang!" Cemong mencoba memperingati.
Melihat Sera dan Cemong yang tengah menatap ke arahnya, ia lantas langsung mencicipi mie tersebut.
"Hhmm ... tuh, kan! Kalo pedas gini enak banget!" ucapnya dengan mata yang melotot menahan sensasi pedas. Lidah dan tenggorokannya terasa terbakar, bahkan telinganya seolah tengah mengeluarkan asap.
Pada suapan ketiga, ia sudah menitikkan air mata karena tak kuasa menahan sensasi pedas. Meski begitu, ia masih berlagak sok kuat di hadapan Sera. Ia mengambil tisu untuk mengelap air mata dan keringat yang sudah bercampur di wajahnya.
"Kok panas banget, ya, nih, warung. Padahal di luar kek mau ujan," ucapnya berlagak kepanasan sambil terus mengusap wajahnya dengan tisu.
"Bang, aku tambah satu porsi lagi, ya!" pinta Cemong yang sudah menghabiskan satu mangkok.
Permintaan Cemong, membuat Nicho hampir tersedak. Tanpa menunggu konfirmasinya, Cemong langsung berteriak pada penjual untuk menambah seporsi mie ayam lagi. Nicho lantas hanya bisa meneguk air segelas penuh. Untuk membayar tiga porsi mie ayam saja sudah membuatnya kebingungan, apalagi harus tambah seporsi lagi. Hingga kini Ucup pun belum membalas pesannya.
Keadaan warung yang semakin ramai, membuat jajaran bangku mereka penuh seketika. Tampaknya, Nicho dan Sera harus mengalah dan bergeser hingga ke pojok ketika konsumen lain ikut duduk di kursi panjang tersebut. Saking padatnya, lengan dan paha keduanya sampai berhimpitan, hingga membuat mereka sesekali saling melirik tanpa kata.
Di luar mendadak hujan deras. Setetes air jatuh ke mangkok Nicho. Ia menoleh ke atas, rupanya, ternyata terpal tenda warung tersebut bocor. Ini membuat Nicho semakin tak berselera untuk melanjutkan makannya. Ia pun memilih memerhatikan Sera dari samping.
Nicho mulai gelisah kala Sera dan Cemong telah selesai makan. Artinya, sudah waktunya membayar empat porsi mie ayam. Bagaimana ini? Hingga kini Ucup belum membalas pesannya. Di luar pun sedang hujan deras.
"Cepat bayar, Bang!" celetukan Cemong semakin membuat Nicho tersentak di tengah otaknya sedang berpikir keras.
"Iya, gua juga tahu!" Nicho lantas meninggalkan meja sambil menghampiri penjual. "Berapa semuanya, Bang?"
"Empat puluh rebo aja," jawab penjual.
Nicho berlagak merogok saku celana, kemudian mendadak memasang wajah panik yang natural. Ia lalu berpura-pura melihat ke bawah seolah sedang mencari-cari sesuatu.
"Kenapa, Bang?" tanya Cemong.
"Dompet gua keknya jatuh," sahutnya sambil berjongkok seakan tengah memeriksa kolong meja tempat mereka makan.
"Masa, sih, Bang?" tanya Cemong ikut berjongkok.
"Iya, tiba-tiba gak ada di saku gua!" imbuhnya masih berakting bak orang yang tengah kehilangan dompet. Tidak salah lagi, dia memang seorang aktor yang baik. Terbukti, Cemong dan abang-abang penjual pun sampai turut sibuk mencari.
Di waktu yang sama, Sera langsung mengeluarkan dompetnya dan menyodorkan uang kertas lima puluh ribu. "Saya aja yang bayar."
Nicho lantas berlagak menolak. "Jangan, biar aku cariin dulu dompet aku. Kali aja nyelip di mana gitu."
"Udah, Bang. Abang lupa kali bawa dompet. Tenang, Bang, kalo kata bapak aku, sekarang pembayaran bukan cuma via tunai atau transfer, tapi bisa juga via teman, contohnya: pake duit lu dulu, ya, entar gua ganti," ucap Cemong dengan ekspresi meledek.
Nicho menatap Sera dengan wajah sungkan. "Gua janji bakal gua ganti."
"Gak perlu. Anggap aja aku yang traktir kalian."
.
.
.
Ini aku edit buru-buru ya karena lagi kejar target kerjaan akhir tahun di kantor. Entar kalian spill aja kalo ada typo atau kalimat rancu. Jangan lupa like dan komeng.
masih misterius ini neng Sera, nantinya Nic kerja apa ya, biar punya mata pencaharian
untung Sera gak baperan jadi tak terbawa arus