Hanya karena Fadila berasal dari panti asuhan, sang suami yang awalnya sangat mencintai istrinya lama kelamaan jadi bosan.
Rasa bosan sang suami di sebabkan dari ulah sang ibu sendiri yang tak pernah setuju dengan istri anaknya. Hingga akhirnya menjodohkan seseorang untuk anaknya yang masih beristri.
Perselingkuhan yang di tutupi suami dan ibu mertua Fadila akhirnya terungkap.
Fadila pun di ceraikan oleh suaminya karena hasutan sang ibu. Tapi Fadila cukup cerdik untuk mengatasi masalahnya.
Setelah perceraian Fadila membuktikan dirinya mampu dan menjadi sukses. Hingga kesuksesan itu membawanya bertemu dengan cinta yang baru.
Bagaimana dengan kehidupan Fadila setelah bercerai?
Mampukah Fadila mengatasi semua konflik dalam hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lijun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28.
Sore ini Fadila ikut kebandara bersama suaminya dan kedua mertuanya. Tak ketinggalan pula si kecil Anan yang sedang duduk di kursi belakamg bersama kakek dan neneknya.
Arnan memang membawa sendiri mobilnya agar bisa pergi bersama ke bandara.
Sesampainya di bandara, Arnan membantu papa Simon untuk membawa koper-koper orang tuanya. Sedangkan kedua wanita mereka berjalan dengan menggandeng Anan yang terlihat begitu senang.
"Mami, aku mau main bola-bola." Anan melihat mendongak melihat maminya.
Bocah itu mengira kalau mereka berada di mall saat ini. Apa lagi begitu banyaknya orang yang berlalu lalang.
"Di sini gak ada permainan bola, sayang. Ini bandara tempat orang-orang pergi." Fadila menjelaskan.
"Pelgi kemana, Mi? Ciapa yang mau pelgi?" Tanya bocah itu. "Nenek sama kakek mau pulang, Anan nanti perginya sama Mami dan Daddy, ya?" Mama Marni yang menanggapi ucapan Anan.
"Nenek cama kakek mau pulang mana? Aku mau ikut." Anan yang sudah paham dengan kata pulang dan pergi pangsung memegangi tangan mama Marni.
Wajah Anan bahkan nampak sedih seolah tak mau di tinggal.
"Anan, pulangnya 2 minggu lagi sama Mami, Daddy. Sekarang Nenek sama Kakek dulu yang pulang," ucap mama Marni menjelaskan.
"Mau ikut Nenek pulang ..." lirih Anan hampir menangis.
Fadila cukup heran melihat anaknya yang bersikap manja pada orang yang baru di kenalnya.
"Sayang ... Kalau Anan pergi sama Nenek, trus Mami gimana? Nanti Mami sedih dong di tinggalkan, Anan." Fadila memasang wajah sedihnya agar sang anak tak terus merengek ingin pergi.
Benar saja, Anan sudah bisa di bujuk dan memeluk maminya erat. "Mami, jangan nagis. Aku ndak pelgi kok! Tapi becok kita jemput nenek cama kakek, ya?" Bocah itu menatap polos Fadila.
"Iya, Nak. Besok kita ke tempat kakek sama nenek. Tapi tunggu kerjaan Daddy sama Mami selesai, ya! Sebelum pergi, kita nanti belikan Mami baju yang cantik dulu."
Bukan Fadila yang menyahuti ucapan Anan, melainkan Arnan. Pria itu berjongkok di dekat Anan yang memeluk kedua kaki Fadila.
"Baju cantik? Mami, ndak punya baju cantik?" Anan mendongan melihat Maminya. Pengucapan bocah itu sudah mulai terdengar jelas setiap hurufnya.
"Ehm ... Gak, makanya nanti Mami mau beli kalau kerjaan Mami sudah selesai. Kalau Anan pergi, Mami gak ada temennya dong beli baju cantik. Gak ada yang temenin Mami main bola-bola, main capit-capit."
Kalimat terakhir Fadila benar-benar membuat Anan terpesona. "Mau cama Mami aja, main capit-capit cama main bola-bola." Senangnya.
"Kalau begitu, Nenek sama Kakek pergi. Yang nurut sama Mami dan Daddy ya, sayangnya Nenek." Mama Marni pamit sembari mengecup kedua pipi Anan.
Papa Simon juga berpamitan dan bergerak menuju bagian pemberangkatan luar negeri. Walau sebenarnya masih ingin bersama Anan sang cucu. Tapi mengingat harus segera menyiapkan resepsi pernikahan anak sulungnya.
Kembali membuat mama Marni semangat dan begitu senang.
Setelah kedua orang tua mereka tidak tetlihat lagi. Arnan membawa keluarga kecilnya meninggalkan bandara.
"Mau kemana, Mas?" Tanya Fadila melihat suaminya.
Arah yang di ambil sang suami bukan menuju apartemen sang suami atau apartemen dimana Dwi dan Sinta tinggal.
"Ke butik, kita pesan sekarang supaya bisa cepat di rancang dan di jahit," sahut Arnan santai.
"Tapi kan masih akan di pakai sekitar 2 atau 3 minggu lagi, Mas."
"Gak masalah, Mas mau mereka buatkan yang terbaik untuk kamu. Jadi dari sekarang kita pesan dulu, sebelum pulang ke Indo baru di ambil."
Fadila mengangguk patuh saja, sedangkan Anan yang tak mengerti apa yang di ucapkan orang tuanya hanya menangkap satu kata saja.
"Pulang? Kita juga mau pulang, Daddy?" Tanya bocah itu polos menatap Arnan. "Gak sekarang, Nak." Arnan melihat anaknya sekilas lalu kembali fokus ke jalanan.
Teringat akan desainnya yang sudah selesai, Fadila memilih untuk mengatakan pada suaminya segera.
"Oh iya, Mas. Desainnya sudah selesai, kapan mau di ambil? Atau harus aku antarkan ke perusahaan seperti biasa?" Fadila melihat suaminya.
"Besok Mas ambil sekalian antar kamu," sahut Arnan di angguki Fadila.
"Minggu depan produk desain kamu itu sudah akan di luncurkan. Mas, sangat berharap kamu bida ikut hadir."
"Kalau aku pergi, Anan bagaimana? Gak mungkin di tinggal sendirian di apartemen kamu kan, Mas."
Tampak kekhawatiran di wajah ibu muda itu kalau harus meninggalkan anaknya.
"Ya gak lah, Anan kita bawa juga. Mas, mau tunjukkan sama semua orang. Kalau sekarang Mas punya putra tampan yang sangat menggemaskan."
Arnan mengcubit pelan pipi Anan yang membuat bocah itu menoleh. "Apa, Daddy?" Tanyanya. "Gak apa-apa, Nak."
Anan kembali melihat benda di tangannya yang bisa di gunakan untuk menggambar dan menulis.
Fadila juga membantu Anan belajar menulis melalui benda yang seperti tablet itu. Sementara Arnan fokus mengemudi mobil.
Sampai di butik, Arnan menggendong tubuh Anan dan menggenggam tangan Fadila untuk di bawa masuk ke dalam butik terbesar di kota itu.
"Selamat datang, Tuan." Para pelayan itu menyambut kedatangan pemilik butik dengan sesekali melirik heran keberadaan Fadila dan Anan.
Arnan hanya diam mendapat sambutan itu dan terus berjalan menuju ruang VVIP yang ada di butik. Ruangan yang biasa ia gunakan jika datang berkunjung untuk memeriksa keadaan atau menginginkan pakaian.
"Kok langsung masuk, Mas? Nanti kalau ada yang marah gimana?" Tanya Fadila heran.
Meski ia sangat jarang pergi ke butik, dan bisa di hitung dengan jari berapa kali ia mendatangi butik. Wanita itu sangat tahu kalau ingin masuk ruangan khusus harus reservasi dulu.
Sedangkan yang di ketahui Fadila, suaminya belum melakukan resevasi atau pemesanan untuk ruangan berkelas itu.
"Kalau memang ada yang berani marah, pecat saja." Alis Fadila mengkerut mendengar ucapan suaminya. "Maksudnya, Mas? Memangnya kita siapa bisa pecat orang di butik ini?"
Pandangan Fadila mengelilingi ruangan mewah dan berkelas yang mereka gunakan. Sungguh tak percaya ia bisa berada di ruangan ekslusif seperti ini.
Walaupun sekarang dirinya seorang pengusaha dan memiliki banyak uang. Fadila tak pernah menggunakan ruangan ekslusif. Baginya lebih baik uangnya di tabung untuk masa depan dirinya dan Anan. Dari pada harus di hambur-hamburkan hanya untuk kesenangan sesaat.
"Kita yang punya, kalau ada yang berani macam-macam sama kamu, pecat saja mereka. Tempat ini hanya butuh orang yang mau bekerja secara profesional saja," ucap Arnan.
Fadila hanya bisa menghela napas melihat kemewahan ruangan itu. Bahkan apartemen yang di tempatinya dan kedua sahabatnya selama beberapa tahun. Tak bisa menyamai mewahnya ruangan ini.
Tak berapa lama masuklah seorang pria yang tampak gagah dengan setelan modis khas seorang desainer.
"Halo, Bos! Lama gak ketemu, jadi kanget berat deh aku nya."
Betapa terkejutnya Fadila mendengar suara dan gaya centil pria itu. Bahkan saking kagetnya, wanita itu sampai memeluk Anan yang duduk di antara dirinya dan sang suami.