Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?
Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 : Mereka bukan Keluarga
Setelah menjebloskan dua pelaku jambret ke dalam penjara, Arga merasa sedikit lebih tenang. Pekerjaan pertama yang dia jalani sebagai polisi ini memang penuh dengan kejutan, terutama yang berbau "heroik" ala warteg dan pot bunga. Meskipun fisiknya lelah, hatinya tetap merasa bangga, meski tidak sepenuhnya yakin apakah itu karena keberhasilan atau sekadar karena bisa bertahan hidup dari situasi yang agak konyol.
Saat sedang berjalan kembali ke ruang kerjanya, Arga melihat Rini baru saja keluar dari ruang interogasi. Rini tampak agak murung, berbeda dengan biasanya yang selalu tampak penuh semangat. Arga pun memutuskan untuk menghampirinya, rasa ingin tahu lebih besar daripada rasa kantuknya yang mulai menyerang.
"Eh, Rini! Gimana keadaan korban si Ivan, tuh?" tanya Arga dengan nada penasaran, berharap mendengar kabar baik.
Rini menghela napas panjang. "Jessica, korban penganiayaan itu, ya? Nah, dia... dia malah memutuskan mau cabut laporan dan menyelesaikan ini secara kekeluargaan."
Arga langsung menatap Rini dengan ekspresi yang sangat mirip dengan orang yang baru saja disiram air es. "Kekeluargaan? Apa?!! Mereka aja bukan keluarga! Gimana bisa menyelesaikan masalah seberat ini cuma dengan 'kekeluargaan'?!"
Rini mengangkat bahu dengan pasrah. "Ya, menurutku sih... ini tekanan dari orang tua Ivan yang pejabat. Biasalah, kalau udah urusan orang besar gitu, suka ada yang ngatur-atur."
Arga langsung mengernyitkan dahi, serasa mendengar penjelasan yang terdengar seperti plot film drama, tapi sayangnya, ini kenyataan. "Gila, ini namanya bukan penyelesaian, ini namanya... gimana pun caranya, mereka mau sembunyiin semuanya, ya?"
"Yup," jawab Rini sambil menggelengkan kepala. "Selain itu ada perintah dari atas bilang buat segera tutup laporan Jessica."
Arga menghela napas, perasaan kesalnya makin memuncak. "Kalau gitu, buat apa semua yang kita lakukan? Kerja keras kita buat nangkap pelaku, malah diselesaikan kayak urusan remeh!"
Rini tersenyum kecil, mencoba menenangkan Arga. "Sabar, kita pasti bisa jeblosin Ivan ke penjara."
Arga menatap Rini, bingung antara merasa frustasi atau tertawa. "Sabar? Gimana sabar, ya? Kalau udah kayak gini, lebih baik gue masuk warteg lagi deh, main kursi plastik sama pot bunga. Setidaknya itu lebih jelas!"
...****************...
Arga, yang masih dipenuhi rasa gemas seperti anak kecil kehilangan balon di pasar malam, memutuskan sesuatu. Dengan penuh tekad dan mata menyala seperti superhero di komik, dia menatap Rini.
"Mbak Rini, temenin gue ke rumah sakit. Gue harus ngomong sama Jessica," ujarnya dengan nada penuh semangat.
Rini yang sedang sibuk merapikan map di mejanya, mengangkat alis. "Ngapain, Ga? Lo mau ngasih ceramah motivasi kayak Mario Teguh? Atau lo pikir lo bisa ngubah keputusan dia gitu aja?"
"Bukan gitu, Mbak Rin! Gue cuma nggak rela kalau dia nyerah gitu aja. Ini bukan soal gue, tapi soal keadilan. Kalau kayak gini terus, keadilan bakal makin hancur," balas Arga dengan gaya pidato ala ketua OSIS.
Rini menatapnya dengan pandangan setengah kagum, setengah geli. "Wih, motivasi lo tinggi banget, Ipda muda. Tapi seriusan, lo yakin bakal bisa bikin dia berubah pikiran? Jangan-jangan malah lo yang kena omelan nanti."
"Ah, bodo amat. Gue nggak bisa diem aja, Mbak Rin. Lo ikut gue, ya? Kan lo lebih berpengalaman soal ngomong-ngomong sama korban," pinta Arga sambil menunjukkan wajah memelas yang mirip anak kecil minta es krim.
Rini akhirnya menyerah dan mengambil tasnya. "Ya udah, tapi kalau ini gagal, jangan salahin gue, ya. Gue ikut cuma buat nge-backup lo kalau-kalau ada yang nggak beres."
Mereka berdua pun berangkat ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Arga terus mengoceh soal strategi bicara dengan Jessica, sementara Rini hanya menanggapi dengan gumaman setengah hati. Sesekali Rini memutar bola matanya, merasa seperti mendengarkan podcast yang nggak ada tombol pause-nya.
Setibanya di rumah sakit, Arga langsung melangkah dengan penuh percaya diri menuju kamar Jessica, seperti seorang pahlawan yang siap menyelamatkan dunia. Tapi begitu sampai di depan pintu kamar, keberaniannya mendadak hilang, dan dia berhenti di ambang pintu.
Rini meliriknya dengan tatapan tajam. "Lah, kok diem? Tadi lo semangat banget, sekarang malah kayak patung pancoran."
"Aduh, Mbak Rin... Gimana kalau dia marah? Gimana kalau dia nggak mau dengerin gue?" bisik Arga dengan suara kecil.
Rini menepuk pundaknya dengan keras. "Udah, maju aja. Kalau dia nggak mau dengerin, lo tinggal balik badan. Lagian, gue di sini buat nge-backup lo."
Dengan napas panjang, Arga akhirnya mengetuk pintu dan masuk ke dalam. Jessica, yang terlihat lemah di atas ranjang rumah sakit, menatap mereka dengan wajah penuh kebingungan.
Arga mencoba tersenyum, meskipun lebih mirip orang minta maaf ketahuan ngintip contekan. "Hai, Mbak Jessica. Saya Arga, polisi yang nangkep Ivan waktu itu. Saya cuma mau ngobrol bentar, kalau nggak keberatan."
Jessica mengangguk pelan, sementara Rini duduk di kursi dekat pintu, siap mengamati drama ini dengan mata elang. Arga pun mulai berbicara, berusaha meyakinkan Jessica bahwa mencabut laporan bukanlah solusi.
Namun, seperti yang sudah diduga Rini, awalnya Jessica hanya diam. Bahkan, dia sempat menatap Arga dengan ekspresi bingung yang membuat Arga berkeringat dingin. Tapi, siapa sangka, dengan bantuan humor canggung dan sedikit kesungguhan di suaranya, perlahan Jessica mulai membuka diri.
Rini, yang awalnya skeptis, hanya bisa tersenyum tipis. Mungkin, pikirnya, si Arga ini memang punya bakat mengubah hati orang... meskipun sering terlihat seperti anak hilang di mall.
...****************...
Jessica menggeleng pelan, wajahnya terlihat lelah. "Maaf, Pak Arga... saya nggak bisa. Saya cuma mau ini selesai. Saya nggak mau ada masalah lagi. Orang tua Ivan bilang mereka akan bertanggung jawab... secara kekeluargaan saja."
Arga merasa seperti dihantam palu godam. Perutnya mulas mendengar jawaban itu, dan dia hampir tersedak emosinya sendiri. "Mbak Jessica, ini bukan cuma soal tanggung jawab. Apa yang dia lakukan itu salah! Kalau ini nggak dituntaskan, siapa yang jamin dia nggak bakal ngulangin ke mbak lagi atau bahkan ke orang lain?"
Jessica menunduk, memainkan selimut di pangkuannya. "Saya capek, Mas. Tekanan ini terlalu besar. Orang tua saya juga bilang supaya nggak memperpanjang masalah. Mereka takut... takut dengan posisi orang tuanya Ivan."
Arga berusaha menahan gemuruh di dadanya. Dia ingin membantah, ingin meyakinkan Jessica, tapi dia tahu ini bukan sekadar soal hukum—ini soal keberanian, yang sayangnya Jessica belum memilikinya saat ini.
Rini yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Jessica, kami nggak bisa maksa kamu. Tapi kami ada di sini kalau kamu butuh bantuan, kapan pun itu. Yang penting, kamu tahu kamu nggak sendirian."
Jessica menatap Rini, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Bu. Tapi... ini keputusan saya."
Arga mengepalkan tangan, berusaha menahan diri. "Baiklah, Mbak Jessica. Kalau itu keputusan kamu, kami nggak bisa paksa. Tapi tolong ingat, kami ada di pihak kamu. Kalau kamu berubah pikiran, kamu bisa hubungi kami kapan saja."
Jessica mengangguk kecil, lalu menunduk lagi.
Dalam perjalanan pulang, suasana di mobil terasa berat. Arga menatap ke luar jendela, diam saja. Bahkan Rini, yang biasanya suka melempar komentar sarkastis, hanya fokus pada jalan.
Akhirnya, Arga mendesah panjang. "Kenapa orang yang salah selalu punya cara buat lolos, Rin? Kenapa yang kayak Jessica malah harus nyerah? Kenapa keadilan itu terasa mahal di negara kita yang katanya menjunjung tinggi keadilan. Keadilan hanya tumpul keatas dan tajam kebawah."
Rini menatapnya sekilas. "Karena dunia nggak adil, Ga. Tapi bukan berarti kita harus berhenti berjuang buat keadilan. Jessica mungkin nyerah sekarang, tapi setidaknya kita udah kasih dia pilihan. Itu udah cukup."
Arga hanya mengangguk pelan. Dalam hati, dia tahu ini belum selesai—tidak untuknya. Tapi untuk saat ini, dia hanya bisa menerima keputusan Jessica... dengan berat hati.
...****************...