Karina kembali membina rumah tangga setelah empat tahun bercerai. Ia mendapatkan seorang suami yang benar-benar mencintai dan menyayanginya.
Namun, enam bulan setelah menikah dengan Nino, Karina belum juga disentuh oleh sang suami. Karina mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada suaminya dan mulai mencari tahu.
Hingga suatu hari, ia mendapati penyebab yang sebenarnya tentang perceraiannya dengan sang mantan suami. Apakah Karina akan bertahan dengan Nino? Atau ia akan mengalami pahitnya perceraian untuk kedua kalinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fahyana Dea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa Lalu Nino
Karina tidak pernah menyangka jika hidupnya akan seperti ini. Terlibat dalam masa lalu orang lain yang tidak pernah ia tahu. Karina tidak tahu harus menyalahkan siapa. Apa ia harus menyalahkan Nino? Atau menyalahkan dirinya sendiri karena dengan senang hati masuk ke dalam hidup Nino?
Karina mungkin tidak akan pernah tahu cinta yang tulus itu seperti apa. Awalnya, ia merasa begitu sangat spesial, sangat dicintai, sangat disayangi. Tidak ada di dunia ini yang sebahagia dirinya dalam mendapatkan kasih sayang dan cinta dari seorang pria. Bahkan ia sampai tidak takut lagi jika ada pengkhianatan di antara mereka.
Namun, jika ternyata dia mencintai Karina sebab ada orang lain dalam dirinya. Itu apa artinya? Ia ada, tapi sebenarnya tidak ada, dirinya seperti hantu yang tak dapat dilihat oleh mata telanjang. Air mata Karina menetes tanpa sadar.
Sekarang, ia sedang berada di taksi—-sedang menuju tempat bertemu dengan Amira—-Karina merasakan sesuatu yang mengganjal tenggorokan saat menelan ludah. Rasanya sakit hingga ke dada, membuat air matanya semakin deras. Ia berusaha untuk menahan isak tangisnya. Pak sopir sesekali melihatnya di kaca depan. Mungkin dia merasa penasaran melihat Karina menangis.
Ketika taksi berhenti di depan sebuah kafe, Karina tidak menyadarinya. Ia masih larut dalam lamunan yang entah sedang membawanya ke mana.
"Mbak."
Karina tidak menyahut.
"Mbak."
Karina sedikit tersentak saat mendengar seseorang memanggilnya. "Iya, Pak?"
"Sudah sampai," ujar sopir taksi tersebut.
Karina baru menyadari mobilnya sudah berhenti. Kemudian, ia membuka aplikasi, lalu membayarnya dengan dompet digital yang terhubung ke aplikasi penyedia layanan taksi online tersebut.
"Sudah saya bayar lewat aplikasi ya, Pak."
"Iya, Mbak. Terima kasih."
“Sama-sama, Pak.” Karina terpaksa tersenyum.
Setelah itu, Karina keluar dari mobil dan melangkah menuju kafe yang cukup ramai itu. Sebelum itu, ia menuju toilet terlebih dahulu untuk menghilangkan jejak air mata di wajahnya dan memoleskan sedikit make up untuk menyamarkan matanya yang sembab. Ia menerima pesan dari Amira beberapa saat lalu, wanita itu masih dalam perjalanan.
Sekembalinya dari toilet, Karina memilih tempat duduk yang tidak jauh dari pintu masuk, berada di tengah-tengah antara meja tamu di sisi kiri dan kanannya. Hanya di sana tempat duduk yang tersisa.
Suara gitar akustik memenuhi ruangan yang banyak dihiasi oleh lampu gantung . Suasana terkesan hangat, disusul oleh vokal seorang pria yang sudah tidak asing di telinga Karina. Karina terlarut dalam alunan lagu yang menghanyutkan, membuat pikirannya kembali dibawa berkelana.
"Hai, Karina."
Karina tersentak saat mendengar namanya dipanggil. Karina mendongak dan menemukan Amira di depannya. Karina terpaksa tersenyum karena belum mempersiapkan diri sepenuhnya.
"Maaf ya, nunggu lama." Amira menarik kursi, lalu duduk.
"Enggak apa-apa kok, Mbak. Saya juga baru sampe, kok. Mbak mau pesan apa?" tanya Karina berusaha mencairkan suasana terlebih dahulu sebelum ke topik yang ingin ditanyakan. Karina sedikit mengulur waktu untuk meredakan kegugupannya. Karina menyerahkan daftar menunya pada Amira.
Kemudian, Amira memilih minuman yang akan dipesannya.
"Sesi terapi Mas Nino hari ini gimana, Mbak?" Karina kembali bertanya agar tidak terlalu hening di antara mereka.
Amira melirik sekilas sambil tersenyum. "Cukup baik, tapi ini masih tahap awal." Amira memanggil waiters setelah selesai memilih. "Kamu gak usah khawatir, semuanya pasti berjalan lancar."
Karina tersenyum tipis dan sedikit menunduk saat waiters datang untuk menuliskan pesanan. Ada getir dalam senyumannya. Entah kenapa ia merasa bimbang kali ini. Terlalu banyak pertanyaan yang tidak terjawab atas masa lalu Nino dan terlalu banyak kejutan yang datang dari masa lalu pria itu menghampirinya.
"Jadi, apa yang mau kamu tahu dari saya tentang Nino?" tanya Amira setelah ia selesai memesan.
Karina mengangkat wajahnya. "Semuanya, Mbak. Saya mau tahu semuanya. Dan … saya mau tahu tentang Clarissa juga."
Amira menatap Karina sejenak. Wanita itu tampak memudarkan sedikit senyumannya.
"Clarissa?" Dahi Amira berkerut saat mengulang nama tersebut.
Karina mengangguk. "Mbak sepertinya tahu banyak tentang mereka."
Amira menghela napas pelan. "Clarissa itu adik saya. Kami tiga bersaudara dan dia anak terakhir, sedangkan saya anak pertama. Clarissa paling dekat sama saya, karena kakak keduanya laki-laki, jadi dia lebih nyaman bercerita apa pun pada saya."
Karina kembali menemukan fakta baru, semua yang dikenalnya memang saling berhubungan dekat dengan Clarissa.
"Nino dan Clarissa itu sudah dekat sejak mereka SMA dan mulai pacaran sejak kuliah, tapi ya … hubungan mereka putus-nyambung. Sempat putus lumayan lama selama setahun."
Apa dia cinta pertama Mas Nino? Atau ada perempuan lain sebelum dia? Pertanyaan itu hanya sampai di hatinya saja. Mulut Karina tetap terkunci saat Amira menjeda ceritanya.
Ketika Karina ingin bertanya tentang kemiripan di antara mereka. Amira menyodorkan ponselnya yang menampilkan potret seseorang. Karina menatap Amira bingung.
"Itu foto Clarissa yang masih saya simpan."
Karina dengan ragu-ragu mengambil benda pipih itu untuk melihat potretnya lebih dekat. Mata Karina melebar saat melihat foto seorang wanita dengan rambut sebahu tengah tersenyum ke arah kamera. Karina terperangah menatap potret wanita itu di ponsel milik Amira. Ia merasa melihat dirinya sendiri. Bagaimana bisa mereka semirip itu?
Awalnya, Karina ingin menyangkal jika mempunyai kemiripan seperti ini. Namun, ia tidak bisa lagi menyuarakan hal itu setelah melihatnya sendiri.
“Jujur saja, saya sempat terkejut saat pertama kali melihat kamu.”
Karina tersenyum getir. “Berarti Mas Nino gak benar-benar mencintai saya.” Karina menyimpan ponsel itu dengan perasaan campur aduk.
“Enggak, Karina.” Amira memegang pundak wanita itu. “Nino mencintai kamu. Dia benar-benar mencintai kamu bukan karena kamu mirip dengan Clarissa. Kamu tetap kamu, kamu gak akan bisa jadi orang lain walaupun Nino memaksanya.”
Karina tertegun. Semuanya terasa lebih rumit dari yang ia bayangkan. Terjebak dalam hal-hal seperti ini membuatnya sangat tidak nyaman. Tiba-tiba, Karina teringat sesuatu.
“Mbak, apa tahu tentang seseorang bernama Kevin?”
Amira tampak terkejut mendengar Karina menyebut nama itu.
“Dari mana kamu tahu tentang dia? Apa Nino ….” Amira menggantungkan kalimatnya karena tidak yakin.
Karina menggeleng pelan. “Mas Nino belum pernah cerita apa pun.” Karina menarik napas pelan. “Dia atasan saya kantor.”
Amira semakin terkejut mendengar lebih jelasnya dari Karina.
“Apa benar dia mantan pacar Clarissa? Dan … kenapa dia masuk penjara?” Sebenarnya Karina tidak yakin menanyakan tentang itu pada Amira.
Amira menggeser tempat duduknya lebih dekat pada Karina. Raut wajahnya menyiratkan kekhawatiran sekaligus ketakutan. “Apa yang dia lakukan sama kamu? Apa dia tahu hubungan kamu dengan Nino?”
Karina mengangguk pelan. “Dia tahu, Mbak. Saya … mulai gak nyaman karena kehadiran dia di sekitar saya. Dia selalu berusaha mendekati saya. Apa yang harus saya lakukan, Mbak? Apa Mas Nino perlu tahu tentang ini?”
Amira tampak bingung. “Dia tentu harus tahu, tapi … dengan keadaannya yang seperti ini … itu gak memungkinkan.”
Karina semakin dibuat bingung. Di sisi lain, ia tidak ingin membuat keadaan Nino semakin memburuk, ia tidak ingin emosinya meledak seperti kemarin. Namun, siapa yang melindunginya dari pria itu? Kelemahan Nino sekarang sudah pasti akan dijadikan senjata oleh Kevin.
“Saya gak akan beritahu sekarang. Mungkin suatu hari nanti, dan … semoga saja Kevin gak macam-macam sama saya.” Akhirnya Karina memutuskan walau tampak ragu.
“Karina, kamu harus jaga jarak dari dia. Kamu jangan sendirian ketika kamu berinteraksi dengan dia, kamu harus selalu ada yang menemani. Kenapa Mbak bisa bicara begini? Karena Mbak tahu dia bukan orang baik, terlebih melihat kamu pasti mengingatkannya pada Clarissa. Kamu harus hati-hati.”
Perasaan Karina semakin tidak menentu. Ia menunduk sejenak, lalu kembali menatap Amira. “Mbak, apa saya boleh tahu, apa yang dilakukan Kevin pada Clarissa? Melihat trauma Mas Nino yang seperti ini, pasti bukan sesuatu yang ringan, kan? Aku gak mungkin bertanya hal ini sama Mas Nino.”