Dipinang adiknya, tapi dinikahi kakaknya. Loh!! Kok bisa? Terdengar konyol, tapi hal tersebut benar-benar terjadi pada Alisya Mahira. Gadis cantik berusia 22 tahun itu harus menelan pil pahit lantaran Abimanyu ~ calon suaminya jadi pengecut dan menghilang tepat di hari pernikahan.
Sebenarnya Alisya ikhlas, terlahir sebagai yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan tidak dapat membuatnya berharap lebih. Dia yang sadar siapa dirinya menyimpulkan jika Abimanyu memang hanya bercanda. Siapa sangka, di saat Alisya pasrah, Hudzaifah yang merupakan calon kakak iparnya justru menawarkan diri untuk menggantikan Abimanyu yang mendadak pergi.
*****
"Hanya sementara dan ini demi nama baikmu juga keluargaku. Setelah Abimanyu kembali, kamu bisa pergi jika mau, Alisya." ~ Hudzaifah Malik Abraham.
Follow ig : desh_puspita
******
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11 - Ajak Alisya
Teriakan Hudzai tak hanya berhasil membuat Haura diam, tapi yang lain ikut bubar. Memang pesona pria lembut dan penyayang itu berbeda, tidak pernah marah, tapi sekali marah sukses membuat yang di sekitarnya ketakutan persis diintai mangsa.
Alih-alih meledek atau menjadikan Hudzai sebagai bahan candaan, ketiga bidadari di keluarga Megantara itu memilih ambil aman. Bukan tanpa alasan, tapi sejak dahulu kemarahan Hudzai lebih ditakuti daripada kemarahan Zean, papanya.
Hal itu bukan lagi rahasia, dan juga nyali mereka bertiga tidak sebesar Habil maupun Azkara. Karena itu, untuk perkara panggilan yang sebenarnya akan menarik dijadikan topik pembicaraan sejenak mereka lupakan.
Ketiganya berjalan beriringan dan menunduk sewaktu melewati Hudzai. Tatapan tajam pria itu membuat ketiganya berlalu dengan menunduk saking takutnya.
"Ck, satu saja buat pusing, sekarang tiga digabungin," gumam Hudzai sembari melirik ketiga bidadari beda usia yang semakin lama semakin cepat langkahnya.
Selepas kepergian mereka, pasangan pengantin yang baru saja tertangkap basah sudah memiliki panggilan spesial itu lagi-lagi dicekam kecanggungan. Keduanya Sama-sama malu, terlebih lagi barusan sempat sedekat itu.
Alisya yang tidak tahan jika harus terjebak lebih lama mencoba memberanikan diri untuk bicara lebih dulu. Akan tetapi, anehnya lidah Alisya benar-benar seperti kaku ketika berada di hadapan Hudzai.
Padahal, dia bukan tipe orang-orang yang pemalu. Sikapnya memang lembut, tapi skillnya dalam membangun komunikasi cukup baik, baru di hadapan Hudzai dia sekaku ini.
Dulu dihadapkan dengan Abimanyu dia tidak sebegininya karena pembawaan pria itu agak santai. Berbeda dengan Hudzai yang lebih pendiam dan tidak pandai mencari topik pembicaraan, terlebih lagi jika sifatnya basa-basi. Sebagaimana kata Iqlima, Hudzai tidak suka bicara jika tidak terlalu penting.
"Aa'_"
"Ehm ...."
Sejak tadi Hudzai diam saja, kini sewaktu Alisya hendak bicara dia juga ikutan bicara. Benar-benar di saat yang sama, tidak ada jeda di antaranya.
"Kamu saja yang duluan," ucap Hudzai mempersilakan, dengan tutur kata yang sangat lembut tentu saja.
Jika sedang begini rasanya mustahil bisa marah, terlebih lagi marah dengan suara menggelegar seperti tadi. Alisya yang mendengar saja sampai kagum, secepat itu Hudzai kembali menjaga sikap.
"Aa' haus? Mau Neng ambilin minum?" tanya Alisya basa-basi, saking bingungnya dia sampai bertanya semacam itu padahal di kamar tersedia andai memang Hudzai haus.
"Tidak," jawabnya sembari menggeleng pelan.
Tidak jauh berbeda dari Alisya, jujur saja dia malu juga sebenarnya. Bagaimana tidak? Secara sadar dia menggunjing dan jika Alisya tahu, gugur sudah wibawanya sebagai pria yang tidak suka ikut campur urusan orang itu.
"Laper? Mau sarapan? Iya?"
Tidak juga, belum waktunya sarapan bahkan yang lain juga masih sibuk sendiri. Akan tidak lucu jika dirinya sarapan di luar, begitu pikir Hudzai hingga pada akhirnya menolak tawaran Alisya dengan gelengan kepala.
"Terus apa, A'?
Sungguh Hudzai bingung hendak menjawab apa. Jika jujur karena ingin mendengar pembicaraan mereka tidak mungkin, terlalu memalukan baginya.
Akan tetapi, jika beralasan hanya kebetulan lewat tidak masuk akal. Area dapur bukan tempat persinggahan, hendak ke halaman belakang bukan melewati dapur, apalagi jika teras depan, semakin aneh lagi.
"Hudzaaai ...."
"Iyaaa, Tante," sahut Hudzai cepat manakala terdengar suara Sang Dewi yang agaknya diutus untuk menyelamatkan dia dari situasi ini.
Saat tengah bingung-bingungnya, Umi Zalina datang menghampiri mereka. Entah untuk apa, yang jelas kehadirannya sangat berguna, terlebih bagi Hudzai sendiri.
Tidak hanya mencari, tapi di tangan kanannya terlihat kantong plastik berukuran sedang berwarna putih yang juga tak bisa diterka apa maksudnya.
"Lagi sama Alisya ternyata ... kamu sibuk tidak?" tanya Umi Zalina memastikan keadaan lebih dulu.
"Tidak juga, kenapa, Tan?"
"Alhamdulillah, kalau gitu tolong anterin ini ke Pak Bitoh ya."
"Pak Bitoh siapa, Tante?" Dahi Hudzai berkerut, seumur hidup rasanya baru ini dia mendengar nama itu.
Umi Zalina terkekeh, dia menepuk keningnya kemudian. "Astaghfirullah, maksudnya marbot Masjid At-Taqwa yang di jalan Merdeka ... Hudzai tahu, 'kan?"
"Oh, ini apa memangnya?" tanya Hudzai lagi sembari mencoba menerka dari luar.
"Tambahan mukena buat di sana, biar semakin banyak yang bisa pakai."
Penjelasan wanita itu sudah bisa Hudzai mengerti. Ya, sejak dulu siapapun ketahui bahwa suami istri ini tak henti-hentinya berbuat baik. Tak terhitung sudah berapa kali dia melakukan hal semacam ini, sudah semacam hobi menggunakan sebagian dari hartanya agar bisa bermanfaat bagi Hamba yang lain.
"Baiklah, gampang kalau begini."
"Eh Hudzai bentar!!" Umi Zalina merogoh sakunya hingga Hudzai mengira dia akan diberi upah layaknya remaja.
"Aduh, Tante aku bukan anak kecil lagi."
"Kontak motor, anternya pakai motor biar cepet," ucap Umi Zalina seketika membuat Hudzai tertawa sumbang.
"Oh, kukira apa ... Okay lah, aku pergi kalau git_"
"Eeeh tunggu!!"
Belum juga melangkah, lagi dan lagi Umi Zalina menahan kepergiannya. Sudah pasti pria itu mengerutkan dahi dan berpikir ada yang ketinggalan.
"Ada lagi, Tan?"
"Ajak Alisya mau ya, Zai?" tanya Umi Zalina seketika membuat Alisya terperanjat kaget.
Hudzai menatap ke arah Alisya yang tampak ketar-ketir hanya karena diperintahkan untuk ikut. "Boleh, kebetulan aku sudah lama tidak ke sini ... kurang hapal jalannya, kalau Masjid Al-Ikhlas tahu."
"Nah kebetulan!! Alisya tahu semua Masjid di Bandung, sana anterin, Sya," desak Umi Zalina bahkan mendorong pelan tubuh Alisya untuk mengekor di balik punggung Hudzai.
.
.
- To Be Continued -