Annisa memimpikan pernikahan yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya dan mencintainya. Tetapi siapa sangka dirinya harus menikah atas permintaan sang Kakak. Menggantikan peran sang Kakak menjadi istri Damian dan putri mereka. Clara yang berumur 7 tahun.
Bagaimana nasib Annisa setelah pernikahannya dengan Damian?
Mampukah Annisa bertahan menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk Clara?
Temukan kisahnya hanya di sini!^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KARYAWISATA
Malamnya, Annisa tidak bisa menutupi rasa senangnya. Ia sibuk menyiapkan segala kebutuhan Clara untuk karyawisata esok hari. Mulai dari pakaian, perlengkapan pribadi, hingga camilan yang sudah mereka beli tadi siang. Tak lupa, Annisa juga menyiapkan beberapa hal yang mungkin akan mereka butuhkan selama perjalanan.
Sementara itu, Damian datang ke dapur untuk membantu, melihat Annisa yang terlihat sibuk menata tas Clara di meja.
“Masih banyak yang perlu disiapkan?” tanya Damian, menghampiri Annisa dan mengambil camilan-camilan yang belum masuk ke dalam tas.
Annisa tersenyum sekilas, merasa canggung dengan perhatian Damian yang semakin terasa tulus. “Nggak terlalu banyak, Mas. Ini cuma sisa camilan sama beberapa baju ganti. Biasanya Clara suka membawa barang-barang ekstra.”
Damian tertawa kecil mendengar penjelasan Annisa. “Mirip kamu, ya? Cermat dan detail. Tapi ini bagus, Clara pasti bakal punya semua yang dia butuhkan nanti.”
Annisa tersenyum kecil, namun raut wajahnya berubah serius. “Aku cuma pengen dia senang, Mas. Besok harus jadi momen spesial buat Clara… dan mungkin buat kita juga.”
Damian mengangguk, ekspresinya penuh tekad. “Aku mengerti, Nis. Itu juga kenapa aku mau ikut besok. Mungkin aku belum jadi ayah yang cukup baik buat Clara sejak awal, tapi aku ingin memperbaikinya. Dan aku juga ingin… mendekatkan diri sama kamu.”
Perasaan hangat menjalar di hati Annisa. Kata-kata Damian itu menyentuh hatinya. Ia tahu bahwa hubungan mereka yang awalnya hanya sebatas peran formal perlahan mulai berubah.
“Mas,” panggil Annisa pelan. “Aku juga ingin kita lebih dekat… sebagai keluarga. Terima kasih sudah memberikan kesempatan itu.”
Dalam pernikahannya yang tiba-tiba ini, Annisa tidak pernah membayangkan akan seperti sekarang. Semua doa yang selama ini ia panjatkan akhirnya terjawab.
Damian hanya mengangguk sambil tersenyum, tatapan matanya menenangkan. Mereka melanjutkan persiapan dalam keheningan yang nyaman, sama-sama memahami bahwa esok hari akan menjadi awal baru bagi hubungan mereka.
•••
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Annisa dan Damian membangunkan Clara. Gadis kecil itu tampak mengantuk, namun begitu matanya terbuka dan ia menyadari hari yang dinanti sudah tiba, semangatnya langsung bangkit.
“Ayo, Clara! Kita nggak mau terlambat, kan?” Damian mengusap kepala putrinya dengan penuh kasih, senyumnya lebar melihat kegembiraan di wajah Clara.
“Iya, Dad! Aku udah siap! Tante Annisa mana? Kita berangkat sekarang?” Clara bertanya bersemangat.
Annisa muncul dari arah dapur sambil membawa bekal sarapan ringan yang bisa mereka nikmati di jalan. “Ayo, Clara. Semuanya sudah siap. Kita langsung berangkat, ya?”
Clara mengangguk antusias. Damian segera mengambil tas Clara dan beberapa barang yang lain, memastikan bahwa mereka tidak melewatkan apa pun. Sepanjang perjalanan menuju lokasi karyawisata, Clara duduk di tengah dengan wajah berbinar-binar, sementara Damian dan Annisa sesekali bertukar pandang, menikmati kebersamaan mereka yang pertama kali terasa begitu utuh.
Ketika mereka tiba di lokasi, Clara langsung melonjak kegirangan, bertemu dengan teman-temannya yang sudah berkumpul. Damian dan Annisa berdiri di belakang, mengawasi putri kecil mereka dengan perasaan bahagia.
Damian berbisik pada Annisa, “Aku belum pernah merasa seperti ini sebelumnya. Terima kasih sudah mengajakku, Nis.”
Annisa tersenyum lembut. “Aku juga merasa… berbeda, Mas. Rasanya seperti keluarga sesungguhnya.”
Damian menggenggam tangan Annisa dengan lembut, seakan menguatkan perasaan itu. Hari itu, dalam kehangatan kebersamaan mereka yang baru, Damian dan Annisa menemukan secercah harapan untuk membangun hubungan yang lebih erat. Mereka tahu, mungkin jalan ke depan tak selalu mudah, tetapi mereka berdua ingin berusaha untuk saling mendekat, demi Clara dan demi kebahagiaan mereka sendiri.
Saat mereka berjalan menyusuri area karyawisata yang ramai, Damian sesekali merasa pikirannya melayang. Melihat Clara yang begitu bahagia membuatnya teringat akan Arum, mendiang istrinya, dan bagaimana dahulu mereka pernah membayangkan masa depan Clara bersama-sama. Kenangan itu datang begitu saja, mengingatkannya pada sosok lembut Arum yang selalu memikirkan kebahagiaan Clara dengan penuh kasih sayang.
Damian melirik Annisa di sampingnya, yang sedang sibuk memastikan Clara tak jauh dari mereka. Perasaan Damian bercampur aduk. Di satu sisi, ia bersyukur Annisa hadir sebagai figur ibu bagi Clara, tetapi di sisi lain, bayangan Arum masih melekat. Kehadiran Annisa kerap membuatnya bingung, antara rasa syukur atas kesediaannya menjalani peran ini dan rasa bersalah karena masih mengingat sosok Arum dalam hati.
“Mas, kenapa diam?” tanya Annisa pelan, memecah lamunannya. Ia menatap Damian dengan cemas, khawatir ada yang mengganggu pikirannya.
Damian tersentak sedikit, lalu tersenyum kecil. “Nggak, aku cuma… melihat Clara di sini, entah kenapa teringat Arum. Terkadang aku merasa… belum bisa benar-benar melepaskannya.”
Annisa mengangguk pelan, mencoba mengerti. “Aku tahu, Mas. Mbak Arum pasti selalu ada dalam hati Mas Damian dan Clara. Aku nggak pernah ingin menggantikan posisinya… aku hanya ingin Clara merasa dicintai.”
Damian menatap Annisa, merasakan ketulusan yang terpancar dari kata-katanya. “Aku tahu, Nis. Dan aku sangat menghargai itu. Kehadiran kamu di sini sangat berarti, bukan hanya buat Clara, tapi juga… buat aku. Aku mungkin masih butuh waktu, tapi perlahan, aku ingin lebih menerima keadaan ini.”
Annisa tersenyum, meski ada sedikit keraguan yang tersisa. “Aku mengerti, Mas. Aku nggak akan buru-buru, kita jalani saja pelan-pelan.”
Clara berlari mendekati mereka, menggenggam tangan Damian dan Annisa sambil tersenyum lebar. “Dad, Tante Annisa, lihat! Aku dapat bunga ini dari temanku!” serunya riang sambil menunjukkan setangkai bunga kecil yang ia genggam.
Damian dan Annisa tertawa, perasaan canggung yang sempat ada pun sirna sejenak karena kebahagiaan Clara. Hari itu, meskipun Damian masih merasakan kehadiran Arum dalam hatinya, ia perlahan-lahan mulai merasakan kehangatan baru yang tumbuh bersama Annisa. Mereka bertiga menikmati waktu itu bersama, meski dalam hati Damian, rasa itu masih berkembang perlahan.
Setelah beberapa saat bersama Clara dan teman-temannya, Damian dan Annisa akhirnya berjalan menuju area duduk, memberikan waktu bagi Clara untuk bersosialisasi dengan teman-temannya. Mereka duduk di bangku taman, menghadap ke arah anak-anak yang bermain dan tertawa riang.
Damian menatap Clara dari kejauhan. Senyum lembut muncul di wajahnya, namun ia tak bisa sepenuhnya menyembunyikan raut pilu saat mengenang sosok Arum. Dalam bayangannya, ia bisa membayangkan Arum duduk di sampingnya, sama seperti Annisa sekarang, memperhatikan Clara dengan penuh kasih sayang.
Annisa menyadari ekspresi Damian yang sedikit berubah dan memberanikan diri bertanya, “Mas… masih teringat sama Mbak Arum, ya?”
Damian menoleh, sedikit terkejut dengan kepekaan Annisa, namun ia akhirnya mengangguk. “Kadang… ada rasa bersalah, Nis. Seolah aku belum benar-benar siap menerima kenyataan kalau dia sudah nggak ada. Aku mencoba, tapi saat seperti ini… ingatan itu muncul lagi.”
“Tapi itu sudah dua tahun, Mas.”
Annisa menatap Damian dengan penuh pengertian. “Aku mengerti, Mas. Kehilangan seseorang yang begitu berharga itu nggak mudah. Aku nggak berharap bisa menggantikan posisinya di hidup Mas atau Clara, tapi aku ingin… kita sama-sama pelan-pelan, saling mendukung untuk bisa menerima.”
Damian tersenyum kecil, kagum dengan ketulusan Annisa. “Kamu terlalu baik, Nis. Terkadang aku merasa tidak pantas menerima semua kebaikan ini… tapi aku bersyukur, kamu ada di sini, untuk Clara dan… untuk aku.”
Mereka terdiam sejenak, menikmati kebersamaan itu tanpa perlu banyak bicara. Annisa menunduk, sedikit tersenyum, perasaannya bercampur antara harapan dan kehati-hatian. Ia tahu, hubungan ini tidak bisa berjalan terlalu cepat. Ada luka di hati Damian yang membutuhkan waktu untuk sembuh, dan ia bersedia menunggu.
“Jika dua tahun saja aku sanggup. Aku akan bertahan untuk tahun-tahun berikutnya. Asal jangan terlalu lama, Mas. Lihat jugalah aku,” batin Annisa.
Tiba-tiba, Clara berlari ke arah mereka sambil tertawa lebar, mengacungkan tangan kecilnya yang menggenggam bunga lain. “Dad, Tante Annisa! Temanku kasih ini lagi! Katanya biar aku kasih ke orang yang aku sayang.”
Damian tertawa kecil, menatap Annisa yang tak bisa menyembunyikan senyumnya. Clara mendekatkan bunga itu ke arah Annisa, dan dengan polos ia berkata, “Tante Annisa, bunga ini buat Tante. Terima kasih sudah sayang sama aku.”
Annisa menerima bunga itu, matanya berkaca-kaca. “Clara, Tante juga sayang banget sama kamu,” ucapnya dengan lembut.
Damian tertegun, merasa tersentuh dengan kebahagiaan sederhana itu. Momen kecil ini membuatnya sadar, meskipun kenangan tentang Arum akan selalu ada, ia harus mulai melangkah maju. Untuk Clara, dan mungkin, untuk Annisa. Perasaan itu, meski samar, mulai tumbuh perlahan di hatinya.
“Rum, apakah sekarang waktunya aku untuk membuka hati?” tanya Damian dalam hati.