Jika tak percaya adanya cinta pada pandangan pertama, Rayyan justru berbeda, karena semenjak melihat Mbak Tyas, dia sudah langsung menjatuhkan hati pada perempuan cantik itu.
Dan dia Rayyan Asgar Miller, yang jika sudah menginginkan sesuatu dia harus mendapatkannya dengan cepat.
"Ngapain masih ngikutin? Kan tadi udah aku bayarin minumannya tah!?"
"Bayarannya kurang Mbak!" Rayyan menyengir lalu menunjukkan sebelah pipinya. "Kiss sepuluh kali dulu, baru aku anggap impas."
"Astaghfirullah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pasha Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DB satu
...Welcome, pembaca ku, karya ini dibuat untuk hiburan semata... Dan eklusif, tidak plagiat......
...PROLOG....
Sebuah langkah buru- buru datang menghampiri ketiga orang yang sedang berdebat panas. Ada Rayyan, Tyas dan Ervan sementara yang mendatangi mereka Dimas.
"Mbak Tyas, Mas Rayyan, Bapak Mbak!"
Tyas mendadak cemas, sebab tiba- tiba saja wajah Dimas sekalut itu. "Kenapa?!"
"Bapak Mbak!" Rayyan, Tyas bahkan Ervan langsung menggeruduk kamar pasien yang ditempati oleh Ridwan sang ayah.
Harapan besarnya Ridwan tidak apa- apa tapi kenyataannya, Tyas harus mendapati sang ayah sudah tidak lagi bernapas. "Pak, Bapak!"
"Bapak!" Pemuda itu berteriak, bagaimana ini bisa terjadi, dia mengharapkan Mbak Tyas segera memenuhi keinginan Bapak dengan harapan Bapak bisa sembuh dari penyakitnya tapi justru memberikan kesan seolah wasiat Ridwan ini sebuah firasat sebelum pergi.
Yah, tugas menjadi saksi bagi pernikahan putri kesayangannya. Juga menitipkan Tyas pada pemuda yang sudah Ridwan yakini akan membahagiakan putrinya.
Ridwan tenang karena Tyas sudah dinikahi oleh Rayyan. Rayyan tidak menangis, tapi dalam tegarnya dia berdiri. Dia berjanji, akan menjadi suami yang baik bagi wanita pertama yang berhasil membuatnya jatuh cinta.
...°^\=~•∆•∆•~\=^°...
°^\=~•∆•∆•~\=^°
^^^°^\=~•∆•∆•~\=^°^^^
...BAB SATU...
^^^Jogjakarta, pukul 13.40 wib.^^^
Pangesti Ning Tyas nama gadis itu, gadis berkhimar hitam dengan baju terusan berwarna senada yang membawa kue ulang tahun untuk tunangannya.
Ada yang berubah darinya. Senyuman yang sedari rumah dia kembangkan, kini meredup layu tiada indah kembali.
Jauh jauh ia datang dari Semarang ke Jogja, tapi meja yang dia datangi telah diisi lima detik lebih awal oleh gadis cantik selain dirinya, mirisnya lagi adalah gadis itu sangat amat dia kenal.
"Mbak Tyas nggak tahu kan kita di sini?"
"Nggak, tenang aja."
Pria itu melakukan cipika cipiki di depan khalayak ramai bahkan di depan mata kepala Tyas sendiri. Padahal baru saja, Ervan menghubungi dirinya untuk menanyakan sudah makan atau belum.
Tyas sengaja membalas dengan chat karena dia tak mau kedatangannya ke sini diketahui Ervan yang sengaja ingin dia berikan kejutan.
Lima tahun menjalani hubungan, Tyas di Semarang dan Ervan di Jogja tapi mereka sudah bertukar cincin serius.
Seharusnya besok Tyas membawa calon suaminya pulang ke Semarang untuk melamar dirinya secara resmi. Tapi lihat, Allah beri unjuk hal yang menyakitkan hati.
"Buat siapa, Mbak?!" Pertanyaan yang membuat Tyas akhirnya mengalihkan pandangan ke sekelilingnya, di mana semua orang seakan menunggu pada siapa dia akan memberikan kejutan kue ulang tahunnya.
Tyas tergagu bisu dengan mata yang kemudian meluapkan kaca-kaca, Tyas bukanlah wanita yang berani membuat malu tunangannya.
Tyas bahkan masih memikirkan perasaan Ervan disaat pria itu justru menorehkan luka di hati lembutnya. Sekali lagi Tyas tak berani mendatangi Ervan, Tyas lebih baik mundur dari pada harus mempermalukan Ervan.
Pasti setelah ini, video dia melabrak Ervan akan menjadi konsumsi publik yang tertawa di atas penderitaannya. Tidak, Tyas bukan gadis yang mau dijadikan tontonan netizen.
"Mana cowok mu Mbak?"
Satu ibu ibu kembali bertanya, manik polos Tyas kembali menyisir seisi ruangan, hingga ia kemudian stuck pada pria muda yang duduk seorang diri di sudut tempat.
Pria tampan berpakaian sedikit nakal, tapi tak apa, Tyas mendatangi pemuda itu, dia rasa, ini tindakan yang paling aman. Di mana orang orang akan mengira bahwa pemuda itulah kekasihnya, bukan Ervan.
"Assalamualaikum." Tyas tergagap saat mengucap itu. Jujur, tatapan mata pemuda itu membuatnya takut untuk duduk di depannya.
"Waalaikumusalam, Sayang!" Tyas mendelik karena tiba-tiba saja pemuda itu berdiri dan menyambut baik kue ulang tahunnya.
"Terima kasih kuenya." Tyas ternganga, matanya fokus pada senyum manis pria itu.
Sumpah, sebenarnya dia datang ke meja ini asal saja. Tapi kenapa pria ini seperti sudah mengenal dirinya?
Orang-orang memberikan sorakan, juga kata ciye dan bahkan ada yang ikut mengabadikan momen tersebut sekedar untuk dijadikan sweet konten di media sosialnya.
Tyas pura-pura cengengesan, lalu berusaha membelakangi Ervan yang agaknya mulai penasaran dengan sorakan pengunjung.
Tyas juga terpaksa memakan kue suapan dari pemuda kurang ajar yang entah siapa ini. Dia bahkan tak pernah suap suapan dengan Ervan sebelumnya tapi pemuda ini?!
"Enak, Sayang?"
Tyas cengar- cengir, sebagai tanda dia menyukai kuenya. Tapi, tidak dengan pemuda yang semakin lama semakin terlihat tidak waras.
"Mbak!" Dari pada terus dibuat risih, Tyas memanggil waitress yang segera datang, dia menanyakan berapa tagihan minum pemuda yang sudah membantu dirinya berakting.
"Seratus lima puluh ribu," ucap wanita itu.
Angka yang cukup banyak bagi pekerja serabutan seperti dirinya. "Mmh, maaf Mbak, memang Mas ini pesan berapa kopi?" tanyanya.
Pemuda itu tampak menahan tawanya, Tyas jadi semakin keki. Ingin segera pulang ke Semarang sekarang juga.
"Masnya pesan satu amercano ice."
Tyas ternganga, jadi seratus lima puluh ribu hanya untuk secangkir kopi saja? Jiwa miskin seorang Tyas tak menerimanya.
Dia bahkan bisa membuat es kopi yang lebih enak dengan kopi sachet saja. Hanya dua ribu per bungkusnya, kenapa secangkir kopi di sini bisa semahal itu?
"Nggak usah bayarin Mbak." Rayyan Asgar Miller nama pria itu. Mahasiswa semester dua yang baru delapan bulan tinggal di kota ini.
"Enggak, saya berhutang budi. Jadi harus bayar minuman kamu. Makasih ya, mau akting di depan orang."
Tyas merogoh kantong gamisnya, ada lima puluh ribu rupiah yang terlipat di sana, dan dia juga membuka tas selempang miliknya untuk meraih seratus ribuan di sana.
Rela tidak rela Tyas harus menyodorkan uang miliknya pada waitress itu. "Ini Mbak, pas ya."
Tyas lalu mengemasi tasnya, dia bangkit dari duduk, dan ngeluyur pergi tanpa menoleh kembali ke arah Rayyan. Justru, Tyas rajin melirik ke arah di mana Ervan tampak tertawa tawa dengan keponakannya.
Rayyan tersenyum kecil, pria muda itu ikut bangkit dan berjalan mengikuti langkah kaki Tyas keluar dari Cafe. Tyas yang sadar diikuti, gadis itu menoleh sigap dengan lirikan tajam.
"Ngapain masih ngikutin? Kan tadi udah aku bayarin minumannya tah!?"
"Bayarannya kurang Mbak!" Rayyan menyengir lalu menunjukkan sebelah pipinya. "Kiss sepuluh kali dulu, baru aku anggap impas."
"Astaghfirullah!"
itu kata om opik
itu juga yg ak alami
skrg tertawa
bebrapayjam lagi cemberut
lalu g Lma pasti nangis