Di sebuah kota kecil yang diselimuti kabut tebal sepanjang tahun, Ardan, seorang pemuda pendiam dan penyendiri, menemukan dirinya terjebak dalam lingkaran misteri setelah menerima surat aneh yang berisi frasa, "Kau bukan dirimu yang sebenarnya." Dengan rasa penasaran yang membakar, ia mulai menyelidiki masa lalunya, hanya untuk menemukan pintu menuju dunia paralel yang gelap—dunia di mana bayangan seseorang dapat berbicara, mengkhianati, bahkan mencintai.
Namun, dunia itu tidak ramah. Ardan harus menghadapi versi dirinya yang lebih kuat, lebih kejam, dan tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri. Dalam perjalanan ini, ia belajar bahwa cinta dan pengkhianatan sering kali berjalan beriringan, dan terkadang, untuk menemukan jati diri, ia harus kehilangan segalanya.
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARIRU EFFENDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18:Terjebak dalam dunia yang Tak Terlihat
Ardan membuka matanya perlahan. Apa yang ia rasakan pertama kali bukanlah kehangatan matahari atau udara segar pagi hari. Yang ia rasakan justru kebingungan—suasana yang sangat asing. Di sekelilingnya, langit tampak seperti surga senja, dengan warna ungu gelap yang mencampur dengan oranye keemasan. Pohon-pohon besar menjulang tinggi, namun tak ada suara angin yang berhembus. Seolah dunia ini terdiam, menunggu sesuatu yang belum jelas.
“Apa ini? Dimana aku?” Ardan bergumam, memegangi kepalanya yang terasa pening. Ia mencoba bangkit, namun tubuhnya terasa berat, seolah ada beban tak terlihat yang menahannya.
Di depan matanya, jalan setapak yang pernah ia lewati lenyap, digantikan oleh padang rumput luas dengan semak-semak aneh yang bergoyang tanpa angin. Ardan meraba tubuhnya, mencari bukti apakah ia masih di tempat yang sama atau sudah benar-benar berpindah dunia. Tidak ada yang terasa berbeda selain perasaan tak menentu yang menguasainya.
“Dunia ini... bukan tempat yang aku kenal.” Ardan berbicara pada dirinya sendiri, berusaha mencari tahu apa yang terjadi.
Saat ia melangkah lebih jauh, suara gemerisik samar terdengar dari kejauhan, memecah keheningan yang menyelubungi sekitarnya. Ardan menoleh, tapi hanya melihat bayangan-bayangan yang bergerak di antara pepohonan. Tak ada yang bisa dipastikan.
Langkahnya semakin ragu. Ia mencoba mengingat apakah ia sedang menjalani ujian atau bahkan hanya berhalusinasi setelah semua kejadian yang sebelumnya menimpanya. Tapi semua itu seperti gelap, begitu membingungkan dan sulit untuk dipahami.
Tiba-tiba, sebuah suara memanggilnya, lembut tapi tegas. “Ardan…”
Suara itu terdengar familiar, seperti suara yang pernah ia dengar sebelumnya. Tapi dari mana? Ia tak bisa ingat dengan pasti. Ardan menoleh ke arah sumber suara, hanya untuk melihat seorang perempuan muda berdiri di antara bayangan pohon.
Wanita itu mengenakan pakaian yang tampaknya sudah usang, dengan rambut panjang yang terurai, namun wajahnya tidak tampak jelas—terlalu gelap dan kabur, seolah-olah hanya ada setengah bayangan yang terbentuk. Matanya bersinar dengan cahaya aneh, menatap Ardan dengan tatapan penuh pertanyaan.
“Siapa... siapa kamu?” Ardan bertanya dengan suara bergetar, meskipun ia mencoba terdengar tegas.
Perempuan itu tidak segera menjawab. Sebaliknya, ia mendekat dengan langkah yang tidak berdosa, namun di setiap gerakannya, ada aura misterius yang sulit dijelaskan. Sesampainya di depan Ardan, ia mengulurkan tangan dengan lembut.
“Jangan khawatir. Kamu hanya perlu menjawab satu pertanyaan.” Suara perempuan itu semakin jelas, tapi tetap ada ketegangan dalam kata-katanya. “Apa yang ingin kamu capai di dunia ini?”
Ardan tercengang. Pertanyaan itu datang begitu tiba-tiba, seolah-olah mengguncang dinding pertahanannya yang selama ini rapuh. Ia berusaha berpikir dengan jernih, namun pikirannya berputar-putar, tidak dapat menemukan jawaban yang tepat.
“Apa yang... aku ingin capai?” Ardan berusaha menyusun kata-kata. “Aku... hanya ingin kembali ke tempat yang aman, kembali ke dunia yang kutinggalkan.”
Perempuan itu terdiam sejenak, lalu menarik tangannya kembali. Matanya yang berkilau menunjukkan ekspresi yang sulit ditafsirkan—sedikit kesedihan, tetapi juga kedamaian yang tidak biasa.
“Dunia ini adalah cermin dari hatimu. Apa yang kamu cari di sini adalah apa yang kamu kejar di dunia yang dulu kamu tinggalkan. Jika kamu mencari kebahagiaan, kamu hanya akan menemukannya jika kamu bisa melepaskan segala yang mengikatmu di masa lalu.”
Ardan terdiam. Kata-kata itu menusuk dalam, lebih dalam daripada yang ia kira. Tapi ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Perempuan itu tampak begitu tahu banyak tentang dirinya, namun wajahnya yang kabur hanya menambah kebingungannya.
“Lalu, apa yang harus aku lakukan?” Ardan akhirnya bertanya, suaranya penuh harapan.
“Menemukan jalan pulang, Ardan. Jalan pulang yang benar.” Perempuan itu mulai mundur, perlahan menghilang ke dalam bayangan pepohonan. “Tapi ingat, tak ada perjalanan yang mudah.”
Ardan terpaku, mencoba untuk menanggapi kata-katanya, namun tubuhnya terasa terikat. Perempuan itu sudah menghilang dalam kegelapan, dan seolah dunia di sekitarnya pun mulai memudar.
Dalam keheningan yang menyelubungi, Ardan merasa ada sesuatu yang merayap dalam dirinya—rasa kehilangan yang begitu dalam, namun juga perasaan bahwa ia tidak sendirian. Sesuatu—entah itu kenangan atau suara—terus mengikutinya.
Di kejauhan, Ardan melihat sebuah cahaya yang mulai menyinari bagian hutan yang gelap. Cahaya itu tampak seperti pintu yang terbuka, sebuah kemungkinan untuk kembali ke dunia yang ia kenal.
Namun, ia tidak bisa melangkah tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa ia bisa berada di sini? Apa arti semua ini? Ardan berusaha mengumpulkan kekuatan, mencoba mengingat potongan-potongan kejadian yang membawanya ke sini. Tapi yang ia temui hanya kehampaan yang semakin mendalam.
"Ini bukan ujian," Ardan akhirnya menyadari dalam hatinya. "Ini bukan hanya sekadar ujian... Ini lebih dari itu."
Perlahan, ia melangkah menuju cahaya itu. Semakin mendekat, ia merasa dunia ini mulai menguji batas kemampuannya—menyudutkan dirinya dalam perasaan yang tidak bisa ia pahami. Dunia ini tidak memberinya jawaban, hanya pertanyaan-pertanyaan yang lebih banyak dan lebih dalam.
Dan saat langkahnya hampir mencapai cahaya itu, ia kembali mendengar suara yang sama—suara perempuan itu. “Ingatlah, Ardan, jalan pulangmu hanya akan terbuka jika kamu melepaskan segala yang mengikatmu.”
Tapi kali ini, suara itu terdengar lebih jauh, lebih teredam. Ardan menoleh, namun tak ada siapa-siapa. Semua terasa semakin kabur. Seakan ia sudah terperangkap dalam dunia yang tak pernah ia pahami sebelumnya—dunia yang sepertinya hanya bisa dipahami ketika ia melepas segala harapan dan rasa takutnya.
Ia melangkah maju, memasuki cahaya itu, dengan harapan bisa menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang menggantung dalam benaknya.
---