Hujan deras di tengah malam menyatukan langkah dua orang asing, Dasha dan Gavin di bawah payung yang sama. Keduanya terjebak di sebuah kafe kecil, berbagi cerita yang tak pernah mereka bayangkan akan mengubah hidup masing-masing.
Namun hubungan mereka diuji ketika masa lalu Gavin yang kelam kembali menghantui, dan rahasia besar yang disimpan Dasha mulai terkuak. Saat kepercayaan mulai retak, keduanya harus memilih menghadapi kenyataan bersama atau menyerah pada luka lama yang terus menghantui.
Mampukah Dasha dan Gavin melawan badai yang mengancam hubungan mereka? Ataukah hujan hanya akan menjadi saksi bisu sebuah perpisahan?
Sebuah kisah penuh emosi, pengorbanan, dan perjuangan cinta di tengah derasnya hujan. Jangan lewatkan perjalanan mereka yang menggetarkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Seiring waktu berlalu, Clara semakin tidak bisa menerima kenyataan bahwa Gavin telah move on dan membangun kehidupan baru bersama Dasha. Meskipun Gavin berusaha menjaga jarak, Clara mulai merasa bahwa ia masih memiliki hak untuk mengontrol kehidupan Gavin dan keluarganya. Ia merasa bahwa kedekatan Dasha dengan Gavin dan Nathan adalah ancaman bagi keberadaannya dalam kehidupan mereka, dan akhirnya Clara mulai melangkah lebih jauh dengan cara yang lebih manipulatif.
Suatu malam, setelah Dasha selesai bekerja di toko kue dan merasa lelah, ia duduk di ruang tamu sambil menunggu Gavin. Ketika membuka ponselnya, Dasha melihat pesan dari nomor yang tidak dikenalnya. Awalnya, Dasha mengira itu hanya pesan spam, namun ketika ia membuka pesan tersebut, darahnya terasa mengalir lebih cepat.
**"Kamu pikir kamu bisa menggantikan aku, Dasha? Kamu bukan ibu Nathan. Jangan terlalu merasa nyaman, karena kamu tidak akan bisa mengubah kenyataan. Gavin dan Nathan adalah milikku, dan kamu hanya pengganti sementara."**
Dasha terkejut, dan hatinya berdegup kencang. Ia merasa cemas, tidak tahu harus bagaimana. Setelah membaca pesan itu, dia memeriksa nomor pengirim, yang ternyata adalah nomor yang pernah digunakan Clara. Dasha segera menatap pesan itu berulang kali, merasa perasaan cemas dan bingung menyelimutinya.
Dasha tahu Clara tidak akan menyerah begitu saja. Clara selalu memiliki cara untuk membuat dirinya merasa terancam. Namun, tidak ada yang membuat Dasha lebih kecewa selain kenyataan bahwa Clara berani mengirim pesan-pesan seperti ini. Perasaan tidak nyaman itu muncul semakin besar, dan ia merasa pertemuan dengan Gavin yang semula penuh dengan kebahagiaan mulai terasa terganggu oleh ketidakharmonisan yang datang dari masa lalu.
Tidak lama kemudian, Gavin datang ke ruang tamu setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan di toko. Dasha merasa gelisah, mencoba mengatur perasaannya agar tidak terlihat terlalu cemas.
“Ada apa, sayang? Kamu tampak tegang,” tanya Gavin, yang menyadari ada yang berbeda dengan Dasha malam itu.
Dasha menarik napas dalam-dalam dan menunjukkan pesan yang baru saja ia terima. “Gavin, ini... Clara. Dia mengirimkan pesan seperti ini kepadaku. Aku merasa nggak nyaman, dan aku nggak tahu harus bagaimana.”
Gavin terdiam sejenak, wajahnya menunjukkan ekspresi marah dan bingung. “Apa? Kenapa dia berani melakukan ini? Aku sudah berusaha menjaga semuanya, Dasha. Aku tidak ingin kamu merasa terganggu seperti ini.”
Dasha menunduk, merasa cemas. “Aku tahu kamu tidak bisa mengontrol apa yang dilakukan Clara, tapi aku merasa semakin tertekan. Aku nggak ingin hubungan kita terganggu oleh masa lalu, Gavin.”
Gavin mendekat, mencoba menenangkan Dasha. “Aku janji, kita akan selesaikan ini. Aku nggak akan membiarkan Clara mengganggu kebahagiaan kita. Kamu adalah keluargaku sekarang, Dasha, dan aku akan melindungimu.”
Namun, meskipun Gavin berusaha menenangkan Dasha, dia merasa ada sesuatu yang lebih dalam yang harus ia lakukan untuk menanggapi pesan-pesan teror yang semakin sering datang dari Clara. Setiap kali Dasha merasa tenang, Clara selalu datang kembali dengan cara yang lebih halus dan meresahkan. Tidak hanya pesan-pesan seperti itu, tetapi Clara mulai muncul di sekitar rumah mereka, dengan alasan bertemu Nathan atau sekadar "bertemu teman lama."
Pada suatu hari, ketika Gavin sedang tidak ada di rumah, Clara muncul tanpa pemberitahuan dan berdiri di depan pintu. Dasha yang membuka pintu terkejut, melihat Clara berdiri dengan senyum yang tidak bisa Dasha artikan.
“Kamu sedang tidak mengganggu kehidupan kami, kan, Dasha?” tanya Clara dengan nada sinis, sambil memandang Dasha dengan tatapan tajam.
Dasha merasa sedikit terkejut, tetapi ia berusaha tetap tenang. “Clara, aku rasa sudah cukup. Kita sudah berbicara sebelumnya tentang Nathan, dan kamu harus tahu batasan. Aku di sini untuknya, tapi aku juga tidak akan membiarkan kamu merusak hubungan kami.”
Clara tertawa kecil, lalu berkata dengan suara lebih rendah. “Kamu tidak akan bisa mengubah segalanya, Dasha. Kamu mungkin sudah merasa nyaman dengan posisi barumu, tapi ingatlah, kamu bukan ibu kandung Nathan. Suatu saat, kamu akan menyadari itu.”
Dasha menahan napas, merasakan perasaan frustrasi dan cemas yang menggebu. Ia tahu Clara tidak akan pernah berhenti, tapi ia juga tahu bahwa ia harus menjaga batasan. “Aku tidak akan membiarkanmu mengganggu hidupku atau hubungan kami, Clara. Aku akan selalu ada untuk Nathan, dan itu tidak akan berubah.”
Clara menatap Dasha dengan tatapan yang penuh tantangan, kemudian berbalik pergi. Dasha menutup pintu dengan perasaan campur aduk. Meskipun ia merasa sedikit lega, ia juga tahu bahwa ini baru permulaan dari pertempuran yang lebih besar.
Saat Gavin pulang, Dasha segera menceritakan kejadian yang baru saja ia alami. “Clara datang ke rumah lagi, dan kali ini dia berkata hal-hal yang membuat aku semakin merasa terancam. Aku nggak tahu apa yang dia inginkan, Gavin.”
Gavin, yang mendengarkan cerita Dasha dengan serius, merasa marah dan frustasi. “Aku benar-benar nggak habis pikir. Dia terus-menerus membuatmu merasa nggak nyaman, Dasha. Kita harus mengambil langkah tegas sekarang. Aku akan berbicara langsung dengan Clara, dan aku akan minta dia untuk menghentikan semua ini.”
Dasha mengangguk pelan, merasa sedikit tenang dengan dukungan Gavin. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa Clara tidak akan mudah menyerah. Dasha bertekad untuk terus melindungi keluarga kecil mereka dan menunjukkan pada Clara bahwa ia tidak akan pernah mengalah, tidak peduli seberapa keras teror yang ia hadapi.
.
.
.
.
.
.
Suatu sore yang cerah, Dasha dan Nathan memutuskan untuk pergi ke mal untuk membeli perlengkapan sekolah yang Nathan butuhkan. Setelah seminggu penuh dengan rutinitas yang padat, Dasha ingin menghabiskan waktu berkualitas bersama Nathan, mengobrol dan memilih barang-barang yang dia butuhkan. Nathan tampak antusias, menggenggam daftar belanjaan yang sudah ia buat dengan cermat.
Mereka berjalan melewati deretan toko, penuh dengan kebahagiaan kecil mereka yang sederhana. Namun, kebahagiaan itu segera terganggu ketika Dasha merasa seseorang mengawasi mereka. Ia menoleh dan melihat Clara berdiri beberapa langkah dari mereka, dengan tatapan tajam yang membuat perasaan Dasha langsung berubah.
Clara berjalan mendekat dengan langkah cepat, lalu berkata dengan nada sinis, “Kamu pikir kamu bisa menggantikan tempatku, Dasha? Apa kamu rasa kamu bisa mengurus Nathan lebih baik dariku?”
Dasha merasa cemas dan sedikit terkejut dengan sikap Clara yang begitu tiba-tiba. Nathan, yang mendengar percakapan itu, tampak bingung dan cemas. Ia menatap ibunya dengan tatapan bingung, tidak mengerti mengapa Clara harus berbicara seperti itu.
“Clara, ini bukan tempat yang tepat untuk berbicara seperti itu,” jawab Dasha dengan nada tenang namun tegas, mencoba menjaga agar situasi tidak semakin memanas. “Kami hanya sedang berbelanja untuk perlengkapan sekolah Nathan. Jika kamu ingin berbicara dengan kami, mari kita bicara dengan baik-baik.”
Namun, Clara tidak mau mundur. Ia semakin mendekat dan berbicara dengan suara lebih keras, menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka. “Kamu mungkin sudah merasa nyaman di sini, tapi ingat, Nathan adalah anakku. Aku tidak akan membiarkan kamu merusak ikatan kami. Kamu pikir kamu bisa mengambil alih segalanya, tapi aku tidak akan membiarkannya,” kata Clara, suaranya semakin meninggi.
Beberapa orang di sekitar mereka mulai memperhatikan keributan tersebut. Dasha merasa terpojok, tidak tahu harus berbuat apa, sementara Nathan tampak sangat bingung dan tidak nyaman dengan suasana itu. Dia memegang tangan Dasha erat-erat, mencoba menenangkan dirinya.
Dasha berusaha menahan emosinya. “Clara, ini cukup! Kita bisa berbicara dengan tenang di tempat lain, tapi aku tidak akan membiarkanmu mengganggu kebahagiaan kami. Nathan adalah bagian dari hidup kami, dan aku akan selalu ada untuknya. Jangan lakukan ini di depan banyak orang.”
Clara tidak menggubris kata-kata Dasha. Dengan penuh amarah, ia melanjutkan, “Kamu tidak tahu apa yang terbaik untuk Nathan! Kamu bukan ibunya! Jangan pernah berpikir kamu bisa menggantikan tempatku!”
Keributan semakin menarik perhatian. Beberapa pengunjung mal mulai melirik mereka dengan rasa ingin tahu. Dasha merasa sangat cemas dan marah, namun ia tahu ia harus menjaga ketenangannya untuk Nathan.
“Clara, ini sudah cukup. Kamu harus berhenti!” Dasha berkata dengan suara yang lebih tegas, berusaha menunjukkan bahwa ia tidak akan takut. “Aku tidak akan membiarkan kamu merusak hari kami. Kami hanya ingin berbelanja, dan ini bukan tempat untuk berbicara seperti ini!”
Akhirnya, seorang pengelola mal yang mendengar keributan itu datang mendekat dan bertanya, “Apakah ada masalah di sini?”
Clara, yang merasa sedikit terhalang, menatap pengelola itu dengan tatapan tajam. “Tidak ada masalah, saya hanya ingin berbicara dengan wanita ini tentang anak saya,” jawabnya, berusaha terdengar lebih tenang meskipun jelas masih marah.
Pengelola mal itu memandang Clara dengan ragu, lalu menoleh ke Dasha dan Nathan yang terlihat sangat cemas. “Kami mohon untuk menjaga ketenangan di area publik, atau kami akan terpaksa menghubungi pihak keamanan.”
Clara menatap pengelola itu sejenak, lalu dengan penuh kekesalan, ia berbalik dan pergi. “Kamu tidak akan pernah bisa menggantikan aku, Dasha!” teriaknya, sambil berjalan menjauh.
Dasha menghela napas lega, meskipun hatinya masih berdegup kencang. Ia menatap Nathan yang tampak bingung dan cemas. “Nathan, kamu nggak perlu khawatir tentang apa yang terjadi tadi. Itu hanya percakapan antara Bunda dan Mama Clara. Kamu tenang saja, ya.”
Nathan menggenggam tangan Dasha dengan erat. “Aku nggak suka kalau Mama Clara marah-marah seperti itu, Bunda. Aku nggak tahu harus gimana.”
Dasha menatap Nathan dengan lembut dan membelai rambutnya. “Bunda tahu sayang. Tapi jangan khawatir, kita akan selalu bersama. Aku akan melindungimu dan memastikan kamu merasa aman dan nyaman.”
Namun, meskipun Clara pergi, perasaan cemas Dasha masih tersisa. Ia tahu ini bukan akhir dari masalah yang mereka hadapi. Clara semakin nekat dan mencoba menggangu kebahagiaan mereka, bahkan di tempat umum. Dasha merasa bahwa ia harus semakin kuat, untuk tidak hanya melindungi dirinya, tetapi juga Nathan dan hubungan mereka dengan Gavin.
Saat mereka melanjutkan belanja di mal, Dasha tetap berusaha menjaga suasana hati Nathan agar tetap tenang. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah ujian besar bagi hubungan mereka. Clara tidak akan berhenti begitu saja.