Seorang arsitek muda bersedia mengikuti rencana iseng temannya dalam sebuah perjodohan atas dasar peduli teman. Namun siapa sangka, rencana tersebut malah menyebabkan konflik serta membongkar kasus yang melibatkan beberapa oknum pengusaha dan aparat. Bahkan berujung pada terancamnya kerajaan bisnis dari sebuah keluarga keturunan bangsawan di Perancis.
Bagaimana akhir dari rencana mereka? Simak kisah seru mereka di novel ini. (un) Perfect Plan. Semoga terhibur...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 9
Arya sudah selesai berganti pakaian. Dia melihat ponselnya sebentar kemudian tersenyum dan membalas pesan dari Tiara. Pesan ucapan terima kasih atas kiriman peyek. Kemudian dia turun untuk makan.
"Lho, bunda? Sudah pulang?", Arya heran melihat ibunya juga pulang cepat.
"Iya, bunda ada janji. Kebetulan klinik hari ini juga gak terlalu sibuk. Mau ketemu WO, katanya mereka mau ngebahas dekorasi dan hal lainnya yang masih belum fix"
Aisyah kemudian menyuap makan siangnya.
"Ehm.. Tiara gak diajak bun? Siapa tahu dia ada keinginan tertentu. Biasanya cewek kan gitu. Itu loh bun, dream wedding atau apalah istilahnya"
"Sudah bunda ajak berkali-kali, tapi dia cuma bilang semua terserah bunda sama Intan aja. Bunda juga heran sama tuh anak, kok kayaknya gak antusias sama pernikahan ini. Kamu yakin kalau dia gak keberatan nikah sama kamu? Dia gak terpaksa kan?"
Arya terdiam. Terpaksa? Ya jelas lah, orang dia mau menikah hanya agar kakaknya juga mau segera menikah. Bahkan ia rela menikah cepat dengan dirinya yang pada dasarnya tak punya hubungan khusus.
Aisyah masih melihat ke arahnya, seperti menunggu jawaban darinya.
"Terpaksa gimana sih?! Memangnya Arya Datuk Maringgih, sampai-sampai Tiara harus merasa terpaksa menikah seperti Siti Nur Baya? Gini-gini putra bunda yang gantengnya tak terbantahkan ini banyak yang ngejar loh bun"
Arya berlagak sombong seraya ikut duduk di kursi makan dan menjumput sepotong tempe.
"Iya.. ngejar mau ngejewer. Soalnya sering bikin kesel", sahut Aisyah malas, diikuti oleh suara cekikikan dari Ratih.
"Sekarang bunda mau nanya, Tiara termasuk yang ngejar-ngejar kamu atau bukan hah?",
Arya jadi sedikit gugup.
"Ya.. termasuk lah bun. Tapi yang ngejar mau ngejewer..", sahutnya cengengesan.
Ibunya melotot kesal hendak menyahut tapi keburu dipotong Arya.
"Sudah deh bun.. yang penting kami sama-sama bersedia. Memangnya bunda takut apa sih?"
"Takutnya kalau nanti pas kalian sudah menikah, malah jadi sering ribut gara-gara gak cinta"
"Belum tentu juga kali.. Tuh... Yang lagi nangkring depan kompor. Bukannya bunda bilang nikahnya dijodohin. Tapi nyatanya adem ayem terus"
Yang disebut langsung sumringah.
"Alhamdulillah.. Aamiin..",
"Iya.. semoga kamu juga begitu", akhirnya Aisyah tersenyum.
"Nah.. gitu dong bun. Itu namanya optimis", Arya tersenyum puas.
**********
Pagi ini Arya turun untuk sarapan lebih lambat. Ia memutuskan untuk menyelesaikan tugas yang diminta Irwan kemarin di rumah saja supaya bisa lebih fokus. Terdengar bunyi dari ponsel yang ia simpan di kantong celananya. Sambil menuruni anak tangga, ia mengangkat panggilan itu seraya mengusap-usap rambutnya yang masih terlihat basah setelah mandi tadi.
"Assalamualaikum. Kenapa Zack?"
"Apa?! Lo serius?", langkah Arya terhenti, begitu juga gerakan tangannya.
"Kapan?"
"Oke, gue ke sana"
"Wa'alaikumussalam"
Arya mematikan ponselnya dengan wajah yang masih terlihat tegang.
"Kenapa Ar?", tanya Aisyah khawatir.
"Anu bun, teman kantor Arya ada yang kecelakaan. Arya mau lihat dia dulu ya"
"Sarapan dulu Ar.."
"Nanti aja ya bun. Di rumah sakit kan juga ada kantin. Nanti Arya makan di situ aja", sahutnya hendak kembali ke kamarnya tapi tertahan dan berbalik lagi.
"Lho? Ayah kok sudah datang?", Arya baru menyadari dan merasa heran dengan keberadaan ayahnya di rumah.
"Bukannya bunda bilang ayah perginya satu minggu?"
"Iya, seminarnya selesai lebih cepat dari yang direncanakan. Kenapa? Kamu gak suka ayah ada di rumah?", tanya Wira, ayahnya Arya.
"Ya gak gitu lah yah.. Kan cuma mau konfirmasi. Arya malah senang, jadi gak perlu lihat bunda uring-uringan tiap hari gara-gara gak ada Ayah di rumah", Arya tersenyum jahil seraya melirik ke arah Aisyah.
Aisyah hanya manyun, dan ekspresinya cukup untuk membuat orang lain yang ada di situ merasa lucu melihatnya.
Arya kemudian naik ke atas untuk mengambil tas dan jaketnya. Kemudian turun lagi, mengambil tangan Aisyah dan Wira untuk dicium lalu keluar menuju motornya.
**********
"Gimana kejadiannya Zack, kok bisa sampai parah banget gitu", tanya Arya dengan wajah prihatin saat melihat sosok yang terbaring dengan sekujur tubuh penuh perban serta peralatan rumah sakit yang terhubung padanya.
"Gue juga gak ngelihat langsung Ar. Mario yang pas kebetulan ada di halaman kantor waktu itu. Tadi dia diminta ikut ke kantor polisi untuk memberikan kesaksian", sahut Zaki dengan raut yang sama prihatinnya.
"Kalau ngelihat potongan mobilnya sih, banyak yang gak nyangka kalau Hanif masih bertahan hidup. Soalnya benar-benar hancur lebur ditabrak truk tronton"
"Terus, sopir truknya?"
"Sudah di bawa ke kantor polisi juga. Katanya sih, dia nabrak gara-gara rem blong. Tapi anehnya nih..", ucap Zaki menggantung, seolah-olah mempertimbangkan apakah perlu melanjutkan kalimatnya atau tidak.
"Anehnya apa Zack? Lagak lo sok misterius banget"
"Orang sekitar kantor ngomong kalau sopir tronton itu sengaja nabrak mobil Hanif", sahut Zaki pelan.
"Yang bener Zack?! Lo jangan sembarangan ngomong"
"Kan bukan gue yang ngomong Ar.., gue cuman nerusin ke elo"
"Lalu, yang ngomong gitu orangnya dibawa ke kantor polisi juga?"
"Gak tuh, gak tahu juga kenapa. Padahal ada beberapa yang ngelihat kejadian itu lebih jelas"
Arya mengerutkan keningnya. Kemudian mengalihkan kembali pandangannya pada Hanif yang mau tidak mau keadaannya membuat Arya merasa kasihan. Ada sedikit rasa bersalah karena kemaren dia sudah memukul Hanif sebab kesal dengan ucapannya.
Arya dan Zaki kemudian duduk di sebuah bangku panjang. Tiba-tiba seorang wanita paruh baya dan seorang pria muda datang tergopoh-gopoh masuk ke bagian ICU. Begitu melihat keadaan Hanif, wanita itu langsung lemas dan menangis keras.
"Sabar Bu.. sabar.. Kasian Hanif kalau tahu ibu begini. Hanif perlu ibu, jadi ibu harus kuat. Ya Bu..", lelaki itu mencoba menenangkan ibunya.
Zaki dan Arya saling menatap seolah masing-masing berkata, itu ibunya Hanif.
Zaki memberi kode pada Arya untuk pergi dari situ.
Dan kini Arya dan Zaki sudah berada di kantin, duduk ditemani menu makan pagi menjelang siang.
"Zack, lo yakin sama omongan lo masalah tronton yang sengaja nabrak Hanif itu?"
"Ck, kan tadi gue udah bilang, bukan gue yong ngomong Ar.. bukan!"
"Lagian kenapa sih lo masih mikirin itu. Awas lo, jangan macem-macem. Jangan sampai masalah yang dulu kejadian lagi. Abang lo kan jadinya yang sampai repot. Lagian kenapa sih lo suka banget ngurusin urusan orang. Mau dia ditabrak sengaja kek, nggak kek, biar polisi yang ngurus. Urusan lo sendiri sudah banyak bro..", omel Zaki panjang.
Arya hanya melengos mendengarnya. Entah mengapa dia selalu merasa penasaran dengan hal semacam ini. Mungkin dia salah ambil jurusan waktu kuliah dulu. Seharusnya dia mengambil jurusan kriminologi, biar insting detektifnya bisa tersalurkan.
*********
Esok harinya suasana di kantor terasa lebih senyap, mungkin karena kejadian yang menimpa Hanif sedikit banyak membuat orang-orang di kantor menjadi prihatin. Sisa-sisa bekas kejadian itu pun sudah tak terlihat. Bagian jalan tempat kecelakaan itu pun kini terlihat sudah dibereskan.
Arya duduk di lobi seraya melihat ponselnya. Dia menunggu Zaki dan Irwan yang rencananya hari ini akan melakukan survei renovasi sebuah gedung bersamanya. Kemudian dilihatnya Mario yang baru datang ke kantor memasuki lobi.
Sontak Arya berdiri menghampiri.
"Yo, lo kemaren katanya diminta keterangan sama polisi masalah Hanif ya? Gimana hasilnya?", tanya Arya antusias.
Mario menatap Arya sebentar, kemudian mendengus kesal lalu berlalu begitu saja dari hadapan Arya. Arya terhenyak, tak mengerti mengapa Mario bersikap seperti itu. Apa karena Tiara?
"Dah lama bro? Sori telat, tadi Chika agak rewel", Zaki ternyata juga baru datang.
"Lo kenapa? Kok bengong?!", ucap Zaki pada Arya yang pandangannya sesekali masih melihat ke arah perginya Mario dengan raut wajah seperti memikirkan sesuatu.
"Gak, gak papa. Kita tunggu Bang Irwan dulu. Dia juga belum datang", Arya kemudian kembali duduk di sofa.
"Oke, gue mau ngambil peralatan tempur dulu. Dan tolong bilangin ke Bang Irwan, gue gak bisa ke medan perang kalau perut masih kosong. Gue gak sempat sarapan tadi gara-gara ngelonin Chika", pinta Zaki seraya berjalan menuju ruang penyimpanan peralatan.
"Siip, ntar gue bilangin"
Arya kembali ke ponselnya dan menggulirkan tampilan layar, kemudian dia menemukan sebuah video berita yang sedari tadi dicarinya. Berita tentang kecelakaan Hanif. Dalam berita itu memang dikatakan kalau truk tronton itu mengalami rem blong hingga menabrak mobil Hanif. Tapi ada yang menarik disitu, setiap warga yang diwawancara sepertinya memiliki redaksi keterangan yang hampir sama. Arya tak bermaksud berprasangka, hanya saja perkataan mereka sepertinya sudah diarahkan.
Arya mengenali salah satunya. Pak Hamid, tukang tambal ban dekat kantor. Arya beranjak dari tempat duduknya tepat saat Irwan datang.
"Mau kemana Ar?"
Arya sedikit kaget mendapati Irwan yang tanpa dia sadari sudah ada di situ.
"Eng.. gak kemana-mana kok bang. Ni juga lagi nungguin abang. Zaki juga sudah datang, dia lagi nyiapin peralatannya. Dia minta sampaikan ke abang kalau dia perlu sarapan dulu sebelum kita ke lapangan", Arya akhirnya terpaksa mengurungkan niatnya menemui Pak Hamid.
"Baik, kalian tunggu aja di sini. Saya mau ke ruangan Pak Hermawan dulu, ada yang perlu diomongin sebentar. Eits, bentar. Revisi yang saya minta kemarin sudah siap?"
"Yang restoran bang? Iya, sudah siap. Tunggu saya kirimin ke E-mail Bang Irwan dulu ya", jawab Arya seraya mengambil laptopnya.
"Oke siip. Makasih ya Ar",
Irwan pun berlalu menuju ruangan Hermawan.
Arya kemudian mencari file yang dia maksud dan mengirimkannya pada Irwan. Ia lalu melihat satu E-mail masuk dari alamat yang tak dikenalnya. Pesan yang terbaca di awal adalah "Mungkin itu bukan kecelakaan, tapi memang ada orang yang membencinya dan ingin mencelakainya atau mungkin melenyapkannya". Kemudian terdapat sebuah video yang menampilkan kejadian saat dia menampar Hanif hingga tersungkur.
Arya sontak terkejut dan panik. Dia benar-benar tidak tahu kalau ternyata di ruangan Hanif ada CCTV. Dan siapa yang mengirim E-mail ini? Apakah Hanif? Rasanya tak mungkin. Tapi siapa lagi yang tahu tentang rekaman ini? Arya menjadi semakin panik.
"Bang Irwan masih belum datang Ar?", kini giliran Zaki yang mengejutkan Arya.
"Hah? Eng.. sudah, Bang Irwan nya sudah datang. Cuma.. itu, dia lagi ada perlu sama Pak Hermawan katanya", Arya mencoba menutupi rasa paniknya.
Zaki mengerutkan dahinya. Dia tahu betul gelagat sobat kentalnya dari jaman kuliah ini bila ada sesuatu yang mengganggunya.
"Lo kenapa? Jangan coba-coba ngomong gak ada apa-apa ya. Gue geprek lo"
Arya tersenyum pahit, lalu menunjukkan video tadi. Kini gantian Zaki yang terlihat panik, kemudian menatap ngeri ke arah Arya yang kini sudah terduduk lesu.
"Siapa yang ngirim Ar?", Zaki lalu duduk di samping Arya karena merasa kakinya terasa sedikit lemas.
Arya hanya mengangkat bahu kemudian mengusap kasar wajahnya.
"Kayaknya ini video ancaman Ar, dan lo bakal dijadikan kambing hitam atas kecelakaan Hanif"
"Bisa gak, lo jangan terlalu to the point gitu ngomongnya. Kejam amat sih lo. Bukannya ngasih kata-kata positif atau penyemangat, ni malah menegaskan yang sudah tegas dan jelas. Gue kan jadi tambah panik nih"
"Sst.. Lo kekencangan ngomongnya. Rem dikit bro. Lo mau satu kantor tahu masalah ini? Iya.. sori, sori. Gue tadi salah ngomong. Lo tenang aja Ar, gak bakalan terjadi apa-apa. Lo bakalan aman bro, yakin deh"
"Aman gimana? Lo ngada-ngada Zack. Jelas-jelas gue diancam begini. Itu kan bisa dia jadikan bukti buat menjebak gue supaya jadi tersangka kasus kecelakaan Hanif", Arya mendengus kesal.
Tak ayal Zaki langsung mencekik leher Arya dengan wajah super kesal. Arya terbatuk-batuk saat Zaki sudah melepaskannya.
"Lo gila Zack? Mau bunuh gue?", Arya memegang lehernya dengan wajah memerah menahan sesak akibat ulah Zaki.
"Lo yang gila! Mau lo apa sih? Ditenangin malah protes lagi. Udah, terserah lo aja. Daripada nanti lo gue cekik beneran, malah gue yang jadi tersangka", omel Zaki, kesal dengan kelakuan Arya.
Salam kenal
Terus semangat Author
Jangan lupa mampir ya 💜
Bagus...