Panggilan Emran, sang papa yang meminta Ghani kembali ke Indonesia sebulan yang lalu ternyata untuk membicarakan perihal pernikahan yang sudah direncanakan Emran sejak lama. Ancaman Emran membuat Ghani tak bisa berkutik.
Ghani terpaksa menyembunyikan status pernikahannya dari sang kekasih.
Bagi Khalisa bukan sebuah keberuntungan bertemu dengan Ghani kembali setelah tak pernah bertukar kabar selama tujuh belas tahun.
Bisakah Khalisa bertahan dengan pernikahan tanpa cinta ini, sedang suaminya masih mencintai perempuan lain.
***
"Kamu sendiri yang membuatmu terjebak." Ghani sudah berdiri di depannya, menyalahkan semua yang terjadi pada Khalisa. "Kalau kamu tidak menyetujui lamaran Papa tidak akan terjebak seperti ini." Sangat jelas kekesalan lelaki itu ditujukan padanya.
"Kalau kamu bisa menahan Papamu untuk tidak melamarku semua ini tidak akan terjadi Gha, kamu memanfaatkanku agar masih bisa menikmati kekayaan yang Papamu berikan."
"Benar, aku akan menyiksamu dengan menjadi istriku, Kha." Suara tawa yang menyeramkan keluar dari mulut lelaki itu. Membuat Khalisa bergidik ngeri, berlari ke ranjang menyelimuti seluruh tubuh. Ghani kemudian pergi meninggalkan kamar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilawati_2393, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26
Karena panik Ghani langsung menelpon pamannya untuk melihat kondisi Khalisa. Dia lupa diri melajukan mobilnya, tidak melihat orang yang mau menyebrang. Hampir saja menabrak kalau dia tidak cepat me-rem mobil.
"Kha... apa yang terjadi, kenapa hpmu tidak bisa di hubungi lagi."
Setelah memarkirkan mobilnya Ghani berlari menuju ruangan Khalisa, menemukan istrinya pingsan. Ghani mengambil ponsel istrinya yang berserakan di lantai menatap tajam pada Azhar yang berada di sana.
"Kha tidak akan pingsan kalau tidak ada yang membuatnya tertekan. Semua pasti gara-gara kamu Azhar. Beraninya kamu mengganggu istriku."
Azhar menyeringai tidak mempedulikan Ghani dan orang-orang yang menatapnya.
"Kha bangun, Sayang." Ghani menguncang pelan tubuh Khalisa. Membangunkan istrinya namun tidak bangun-bangun. Digendongnya Khalisa menuju mobil, membawanya pulang ke rumah. Untuk saat ini dia tidak bisa meladeni Azhar. Istrinya butuh pertolongan cepat.
Sesampainya di rumah, Tomi dan dokter sudah menunggunya di dalam. Segera Khalisa dipasangkan infus, karena kondisinya yang lemah.
"Dia harus segera dilakukan tindakan Gha, setiap mendapat tekanan Kha merasakan serangan hebat pada kepalanya. Itu yang menyebabkannya pingsan." Jelas sang dokter yang merupakan pamannya sendiri.
"Jaga kondisinya agar tidak stres Gha." Lanjut dokter itu lagi. Ghani mengangguk pelan.
"Iya Paman, nanti aku bujuk dia." Ghani menggenggap erat tangan istrinya.
Setelah mengantar pamannya ke depan rumah, Tomi kembali ke kamar menemui Ghani.
"Gha, harus hati-hati dengan Azhar. Jauhkan Kha darinya."
"Aku tidak bisa melarangnya ke kampus Tom, apalagi sekarang Kha masih marah padaku, dia tidak akan menuruti ucapanku." Ghani mengacak-acak rambutnya frustasi, pikirannya sekarang sangat kacau.
"Ghaa, tenang."
"Bagaimana bisa tenang Tom, istriku sekarat malah dia ingin aku menceraikannya."
"Cuma Ayah Haris yang bisa membujuknya, Gha. Aku tinggal dulu, sebentar lagi meeting. Kamu urus Kha." Tomi beranjak meninggalkan Ghani yang masih frustasi.
"Kha, maaf tidak bisa merawatmu dengan baik." Ghani menciumi istrinya dengan mesra, mengusap lembut pipi halus itu.
"Ghaa, tolong...!!" Khalisa terbangun saat merasakan ada yang menyentuhnya.
"Ini aku Kha? Siapa yang mau menyakitimu."
"Azhar...!!" Jawabnya spontan, dibukanya mata, dia sudah berada di kamar dengan infus di tangan kanan. Ghani duduk di sisi ranjang menatapnya lekat. Kekhawatiran terpancar dimatanya.
"Apa yang dia lakukan Kha?"
"Dia mau menciumku paksa Gha, aku takut." Ghani menggenggam kuat tangan istrinya.
"Azhar juga yang membuat hpmu rusak Kha?"
Khalisa mengangguk, "Dia merebutnya saat aku menelponmu."
"Tenang yaa Kha, boleh aku memelukmu sekarang." Pinta Ghani, tidak mau Kha menganggapnya kurang ajar lagi.
Khalisa mengangguk lagi, Ghani membangunkan istrinya lalu mendekapnya dengan hangat.
"Tenang Kha, kamu harus rileks. Jangan pikirkan Azhar ada aku di sini, kamu aman sekarang."
"Kamu belum sarapan, makan dulu ya aku ambilkan."
"Nanti aja." Sahut Khalisa, dia masih menikmati pelukan suaminya.
"Kenapa, nanti tambah sakit."
"Masih mau di peluk." Pinta Khalisa manja.
"Aku bisa memelukmu setiap saat Kha kalau kamu mau." Ghani menoel hidung Khalisa.
"Kalau disuruh makan jangan nolak, jadinya lemaskan. Minggu ini kamu sudah beberapa kali pingsan. Kamu harus ke dokter tidak boleh membantah lagi."
"Gha...!!"
"Hmmm."
Khalisa bergidik ngeri mengingat kejadian tadi. Bagaimana dia bisa berhadapan dengan Azhar lagi sekarang.
"Rileks Kha, lupakan dulu kejadian tadi. Kamu harus tenang sekarang." Bujuk Ghani.
"Bolehkah infus ini dilepas Gha, Sakit." Pinta Khalisa lagi dengan memelas, Ghani menggelengkan kepalanya dengan menyeringai.
"Kamu jadi seperti ini karena nakal, tadi pagi tidak pamitankan denganku berangkat ke kampus."
"Maaf Gha."
Khalisa mengangguk malu, dengan suami sendiri tidak izin saat keluar rumah makanya jadi seperti ini. Kalau Ghani selalu menepel dengannya Azhar pasti tidak berani mendekati terang-terangan.
"Aku maafkan, tapi jangan jadi istri nakal lagi." Ghani menggoda Khalisa.
"Janji, akan jadi istri yang baik."
"Istri pintar...!"
"Semua data dan kontak sudah kusalinkan ke hp ini." Ghani memberikan ponsel baru pada istrinya. "Hp lamamu sudah tidak bisa digunakan."
Azhar memang gila membanting dengan kasar ponselnya. Kamu selamat karena tidak ada cctv di sana Azhar.
"Makasih Gha."
"Apapun buat kamu Kha, aku memilihmu untuk menjadi pendampingku." Ucap Ghani tulus, tidak ingin menyakiti istrinya lagi. Walau sulit untuk memberikan hatinya pada Khalisa.
"Walau kamu tidak mencintaiku."
"Bantu aku untuk belajar mencintaimu Kha."
"Aku tidak berani janji Gha."
"Kenapa?"
"Takut."
"Takut apa?"
"Takut kalau aku yang jatuh cinta denganmu." Goda Khalisa, yang mendapat kecupan di pipinya.
"Istri nakal...!"
Suasana hati Khalisa langsung membaik saat berada dalam pelukan suaminya melupakan kejadian semalam saat Ghani meminta paksa haknya. Hanya karena perempuan itu, Khalisa menolak melayani suaminya yang selama ini sangat diinginkannya.
***
Bangun tidur Khalisa langsung ke dapur untuk memasak karena sedang tidak bisa sholat. Sejak tumbang di kampus kemaren dia harus memiliki energi untuk melawan Azhar kalau lelaki itu berani mendekatinya lagi.
Masak apa hari ini, dia menerka-nerka cara memasak nasi. Lagian pakai rice cooker kenapa repot memikirkannya. Tinggal dicuci sampai bersih lalu dimasukkan air. Bismillah, semoga berhasil lirihnya, tidak lupa untuk memencet tombolnya dan dicolokan ke listrik agar tidak mendapat harapan palsu. Cukup cintanya yang mendapatkan harapan palsu.
Lalu lauknya apa? Sejenak Khalisa berpikir membuka tutup pintu kulkas. Coba ada yang bantu di rumah ini pasti dia gak repot harus masak, nyuci dan makan sendiri. Goreng nugget aja sama telurkan gampang.
Khalisa mulai menggoreng nugget, ah ternyata mudah saja. Buktinya dia berhasil menggorengnya sampai selesai. Sekarang saatnya bikin telor ceplok, katanya sambil tersenyum karena merasa sangat bahagia bisa membuat sarapan sendiri, apalagi saparannya untuk suami.
Sudah disiapkannya dua butir telur yang sudah dicuci bersih sampai kotoran-kotorannya tidak menempel dicangkang lagi.
"Aaaaauuww." Teriaknya nyaring saat minyak letupan telur membuatnya kaget dan mengenai tangan. Sedikit lebay karena memang dia tidak pernah memegang spatula dan bikin telur ceplok. Apalagi kalau disuruh masak rendang, rica-rica, gado-gado bisa menangis berdiri tuh.. huuhh
Ghani datang layaknya super hero menarik tangannya untuk mundur dan mengambil spatulanya. Dibaliknya telur yang hampir gosong karena ditinggalkan melamun. Setelah selesai dimatikannya kompor lalu mencek nasi yang dimasaknya.
"Kena cipratan minyak?"
Ghani memandangi wajahnya yang menunduk sambil menggelengkan kepala, malu kalau mengeluh iya. Ghani membelai lembut rambutnya, hati ini seperti sedang menang taruhan mendapati perlakuan manis Ghani, sangat bahagia.
"Mandi gih sana, siap-siap baru makan." Kata Ghani tersenyum padanya, senyuman langka kalau lagi berduaan begini. Jelas saja membuatnya Khalisa TER-PE-SO-NA.
"Boleh peluk?" Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Ghani tidak menyahut namun langsung membawanya dalam pelukan.
"Apa perlu obat juga?"
"Iya." Sahutnya tak bisa menolak, ditawarin suami sendiri halal kok. Ghani menarik tangannya ke kamar, Khalisa pasrah..haha
"Tidak ada bonuskah untukku?"
"Jangan meminta lebih itu bisa bikin perutmu kembung." Ghani mencubit dagunya sambil tertawa kecil. "Kangen aku?" Tanya Ghani dengan pede.
"Banget."
"Gak ada jaim-jaimnya deh..."
"Suami sendiri, bukan suami orang kok." Baru selesai berucap Ghani sudah membungkam mulutnya, Khalisa mengikuti ritme napasnya yang memburu. Dengan debaran-debaran yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Gha, apa kamu tidak menginginkanku."
Ghani mencium keningnya, setelah selesai memberikan obat pagi ini.
"Jangan tanya yang aneh-aneh, tidak akan aku jawab. Sekarang kamu mandi sudah jam setengah tujuh."
"Terimakasih." Khalisa mengecup pipi suaminya kemudian beranjak ke kamar mandi. Senyumannya mengembang melihat wajah Ghani yang memerah.