Di tengah hujan yang deras, Jane Rydell, melihat seorang pria terkapar, di pinggir jalan penuh dengan luka.
Dengan tanpa ragu, Jane menolong pria itu, karena rasa pedulinya terhadap seseorang yang teraniaya, begitu tinggi.
Hendrik Fernandez, ternyata seorang pria yang dingin dan kaku, yang tidak tahu caranya untuk bersikap ramah.
Membuat Jane, gadis berusia dua puluh tiga tahun itu, dengan sabar menunjukkan perhatiannya, untuk mengajarkan pada pria dingin itu, bagaimana caranya mencintai dan di cintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KGDan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22.
Baru saja Jane melangkah beberapa langkah meninggalkan wanita itu, tiba-tiba ia melihat Hendrik berlari ke arahnya, dengan wajah yang begitu cemas, dan tubuh yang berkeringat.
Jane melihat wajah Hendrik lebam, dan sudut bibirnya berdarah, dengan nafas yang tersengal-sengal.
Apakah dia kalah? pikir Jane.
Hendrik langsung memegang tangan Jane, begitu ia sampai di dekat Jane.
"Kau tidak apa-apa, kan?" tanyanya begitu cemas, lalu memeriksa wajah Jane, dan kemudian tangan Jane, apakah ada yang terluka.
"Aku tidak apa-apa!" jawab Jane menenangkan Hendrik.
Setelah mendengar jawaban Jane, pria bertubuh kekar itu pun, melemparkan pandangannya ke arah wanita, yang tadi memprovokasi Jane.
"Sudah ku katakan padamu, enyahlah dari hidupku! ternyata kau memang keras kepala! tidak mendengarkan apa yang ku katakan, jangan salahkan aku kalau suatu saat nanti, jika kau masih saja terus mengusikku, aku tidak akan sungkan lagi padamu!" sahut Hendrik dengan nada yang tajam kepada wanita itu.
Wanita itu terdiam di tempatnya, memandang Hendrik yang terlihat begitu marah, dan sangat mengkhawatirkan gadis, yang baru saja dinikahinya itu.
Tangan wanita itu terkepal dengan erat, ia sangat marah melihat apa yang dilihatnya.
Ia begitu mendambakan Hendrik, semenjak ia mengenal Hendrik, saat David membawanya ke arena boxing pertama sekali, untuk melihat pertarungan Hendrik.
Dia lupa, kapan tepatnya itu, mungkin dua tahun yang lalu, David tergila-gila dengan pertarungan boxing, dan sering membawanya untuk melihat pertarungan Hendrik.
"Teganya kau padaku, Hendrik!!" teriak wanita itu begitu sakit hati, mendengar apa yang dikatakan Hendrik.
Hendrik tidak memperdulikan teriakan wanita itu, ia menarik tangan Jane untuk pergi dari sana.
Jane di bawa Hendrik ke dalam ruang istirahat, tempat tadi Hendrik beristirahat.
Dengan nafas yang masih memburu, Hendrik menarik Jane, untuk duduk di bangku panjang tanpa sandaran itu.
Setelah mereka duduk, barulah Hendrik melepaskan tangan Jane.
"Kenapa kau pergi?" tanya Hendrik pelan, dengan kepala menuduk, menatap ujung sepatunya.
"Maaf... aku penasaran, dengan seseorang, yang ingin bertemu denganku!" ucap Jane pelan, ia menyesal telah meninggalkan arena boxing, setelah melihat keadaan Hendrik saat ini.
Pasti tadi Hendrik tidak fokus, sehingga ia terluka.
"Apa saja yang ia katakan padamu?" tanya Hendrik, masih dengan nafas yang belum stabil.
Keringat Hendrik tampak terus mengucur dari kepala membasahi wajah, mengalir ke lehr dan turun ke tubuhnya, membuat tubuhnya terlihat licin dan basah.
"Ia mengatakan hal yang tidak penting, dan aku tidak terpengaruh dengan apa yang ia katakan!" jawab Jane pelan, suaranya terdengar tercekat, karena melihat Hendrik yang merasa kecewa padanya.
"Hal tidak penting apa?" tanya Hendrik, ingin mengetahui, apa saja yang telah di katakan wanita itu, untuk membuat Jane berpikiran buruk tentangnya.
"Apakah kau kalah, ada lebam dan luka di sudut bibirmu!" Jane tidak menjawab pertanyaan Hendrik, ia lebih tertarik melihat keadaan Hendrik.
Jane meraih handuk kering, yang tergeletak di atas bangku tersebut, lalu berdiri di hadapan Hendrik.
Dengan lembut ia mengelap rambut Hendrik yang basah, lalu turun ke kening dan leher Hendrik.
Sementara Hendrik diam saja, membiarkan Jane mengelap keringatnya.
Jane mengelap keringat di wajah Hendrik dengan hati-hati, ia melihat luka robek akibat pukulan tinju di sudut bibir Hendrik.
Dengan pelan, Jane mengelap darah yang masih menempel di sana, dan semakin jelas terlihat lukanya, setelah Jane mengelapnya dengan bersih.
Mata Jane memandang sekitar ruang istirahat tersebut, mencari kotak p3k yang seharusnya ada di ruangan itu.
Akhirnya Jane menemukan kotak p3k yang dicarinya, berada di sebuah lemari dalam ruang istirahat itu.
Jane meraih kotak tersebut, lalu mencari obat lebam dan luka, serta plester luka.
Ternyata obat yang ia cari, lengkap di dalam kotak p3k tersebut. Jane pun mengoles luka Hendrik dengan obat, setelah itu menutupnya dengan plester luka.
Selama Jane mengurusnya, Hendrik terus memperhatikan gerak-gerik Jane, tanpa berpaling sedikit pun.
Pertanyaannya belum di jawab Jane, ia akan mencari waktu yang tepat, untuk menanyakannya lagi, sekarang sudah waktunya mereka untuk pulang.
Bersambung.....